Setahun tidak terasa telah berlalu. Jake terlalu menikmati kehidupannya yang lebih rileks dan tentunya terarah semenjak bersama Heeseung. Hubungan keduanya pun tampak mulus dan semakin hari semakin romantis.
Selama berpacaran, Heeseung tidak pernah meninggalkan Jake sendirian barang sedikitpun. Ia masih memegang janjinya untuk terus menemani Jake, mengajarinya untuk menjalani hidup dengan lebih santai namun terus melangkah pasti.
Malam-malam yang mereka habiskan selalu manis, tidak hanya bercinta, mereka pun selalu menuangkan keluh kesah. Ranjang empuk di apartemen milik keduanya selalu jadi pendengar setia di setiap cerita dan tawa mereka.
Tapi, namanya juga manusia, suatu saat Jake akan kembali pada titik rendahnya dan tidak ada yang bisa memprediksi kapan itu terjadi, dan bagaimana akan berakhir. Di suatu malam setelah menyelesaikan pekerjaannya, Jake mendadak terkena serangan panik lagi.
Saat itu Heeseung belum pulang. Selama di Seoul, ia sibuk menjadi dosen tamu, pembicara seputar jazz di beberapa seminar, hingga mentor untuk beberapa musisi di label rekaman. Pekerjaan yang paling banyak menyita waktunya adalah sebagai mentor, karena Heeseung harus bolak balik dari satu label rekaman ke yang lainnya, hingga ia cukup kewalahan untuk membagi waktu dengan Jake.
Nah, sayangnya ketika Jake terkena serangan panik ini, Heeseung sedang tidak ada.
Tidak ada aba-aba, rasanya seperti terkena hantaman mendadak yang langsung menusuk tepat di hati Jake hingga membuat tubuhnya gemetaran. Ketika ia ingin menuangkan air ke dalam gelas pun, gelas itu bergetar di genggamannya.
Pemicunya adalah hal yang selalu ia takutkan bahkan jauh sebelum bertemu dengan Heeseung. Iya, mimpinya yang satu itu, mimpi untuk menjadi penulis lagu, menghasilkan lirik-lirik manis dari sentuhan jarinya lewat instrumen.
Ada satu draf lagu yang selalu Jake revisi bila waktunya sedang senggang. Ia akan mencoret lirik-lirik yang tidak perlu, dan menggantinya dengan frasa yang berbeda, walaupun pada akhirnya hanya akan menciptakan makna yang sama.
Frustasi, Jake pun yang kadang sudah tidak bisa menahan emosinya lagi, merobek kertas yang sudah ditulis lirik itu, lalu menulis ulang lagi dengan kalimat yang serupa namun tanpa coretan, dan hasilnya akan buntu lagi, dan bila ia sudah sampai pada titik ini, tubuhnya akan bereaksi, seperti sekarang.
"Mungkin aku memang nggak akan pernah bisa jadi penulis lagu. Mungkin aku memang nggak pantas. Mungkin semua ini hanya pipe dream." Jake jadi sering mengulang-ulang kalimat itu hingga terdengar seperti mantra untuk menyihirnya sendiri.
Heeseung mungkin mengajarkan Jake untuk hidup dengan lebih tenang, tapi Jake tidak pernah mendengar Heeseung bilang kapan dia harus berhenti, atau lebih tepatnya kapan Jake bisa tahu diri kalau tidak semua hal yang diusahakan itu akan berjalan sesuai kemauannya, atau kemungkinan yang terburuknya adalah, Jake tidak ditakdirkan untuk jadi penulis lagu.
"Aku pulang..."
Suara Heeseung terdengar setelah pintu apartemen mereka terbuka. Jake menoleh sebentar, untuk menyambut kekasihnya itu datang, senyum lebar merekah dari bibir Heeseung karena ia lega melihat Jake sudah kembali, tapi sorot mata Jake yang sendu itu membuat Heeseung jadi cemas.
"Sayang? Kamu sakit?" Heeseung menghampiri Jake dan menangkupkan tangannya di wajah yang lebih muda.
Jake menggeleng dengan lemas, "Aku cuma capek."
"Yakin?" tanya Heeseung sambil mengecup puncak kepala Jake, "Aku gendong ke kasur ya?"
Jake menepis tangan Heeseung perlahan, "Ngga usah, aku bisa kok."
"Oke," Heeseung memperhatikan Jake melangkah perlahan ke kasur hingga pemuda itu kini sudah berbaring. "I'll make you some tea, wait here."
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Upon a Love
Fiksi Penggemar∙ HEEJAKE AREA ∙ Kumpulan one shot, two-three shot, dan cerita pendek lainnya untuk HEEJAKE. ∙ bxb ∙ dominant sfw, slightly nsfw ∙ mostly happy ending, tapi nggak selalu :> ∙ mungkin menyebutkan tentang ciuman, konsumsi alkohol, rokok/vape, terga...