Bab 2
Membenci Larisa bukan berarti Revan begitu menyukai Julia. Tidak sedikit yang tahu mengenai hubungan bagai salju itu terjalin. Hampir dua tahun mereka berpacaran, tapi tidak terlihat ada kemesraan sedikit pun. Seberapa kekeh Julia merayu, lebih banyak dibalas acuhan dari Revan.
Lalu apa yang mereka lakukan selama dua tahun ini? Boleh dijawab, mereka sebatas pergi bersama, makan, ngobrol atau apa pun itu selain bermesraan.
"Aku sudah bilang kan, dia itu gay!" seloroh Talia dengan sangat yakin.
Saat itu juga Julia melempar sedotan yang semula berada di dalam gelas. Air yang berada di dalam sedotan pun terciprat mengenai baju Talia.
"Apaan sih!" serunya kesal. "Bajuku kan jadi kotor." Ia mendesis sambil menepuk-nepuk bajunya.
"Aku lagi kesal, kamu jangan nambahin dong!" sahut Julia.
Talia menjulingkan mata jengah kemudian mendaratkan dua tangan di atas meja. Dia memandangi wajah masam Julia sambil menggeleng pelan dan berdecak-decak lirih.
"Aku kan sudah bilang, putus saja dari dia. Dia itu pria bongkahan es. Terlalu menyebalkan," seloroh Talia lagi. "Aku heran kenapa kamu bisa betah sama dia?"
Julia mengacuhkan tatapan mata Talia yang aneh itu. Lalu Julia menghela napas dan meneguk habis minumannya hingga gelas sampai terbalik membuat wajahnya mendongak ke atas.
Setelahnya, Julia bersendawa cukup keras lalu meletakkan gelasnya di atas meja. Dia tidak lagi peduli tatapan beberapa pengunjung meski Talia sudah berkedip dan menendang kakinya untuk menegurnya.
"Aku pergi dulu," kata Julia. "Aku sebaiknya menemui Revan lagi." Julia mencangklong tas dan melenggak pergi.
Orang yang hendak Julia temui, saat ini sedang berada di rumah. Tepatnya dia baru saja sampai karena hari ini pekerjaan kantor cukup menyita waktu.
"Kamu mau makan malam sama apa?" tanya Larisa.
Revan melempar baju kotornya ke dalam keranjang pakaian di dekat pintu menuju kamar mandi. "Aku sudah makan," katanya.
Larisa masih berdiri di tempat sambil memilin-milin jemarinya. Dia seperti sedang mengumpulkan keberanian untuk bicara pada sang suami menyangkut apa yang selama ini mengganjal di hatinya.
Saat Revan berbalik, ia hanya mendengkus lirih dan menjulingkan mata. Saking bencinya dengan Larisa, berdekatan pun sepertinya tidak sudi.
"Aku mau bicara," kata Larisa lirih.
Revan lantas menoleh sekilas, tapi kemudian buang muka dan duduk di atas ranjang.
Larisa sudah tidak tahan lagi jika terus berdiam dengan dipenuhi rasa penasaran seperti ini. Puluhan tahun hidup bersama keluarga ini dan sedikit pun Larisa tidak tahu mengenai hal apa yang ada dalam kehidupan Revan.
"Kamu kenapa nggak pernah mengajakku bicara?" tanya Larisa gugup.
Revan menyeringai hingga ujung bibirnya terangkat. Ekspresi itu sungguh terlihat begitu mengerikan.
"Selama aku tinggal di sini, kamu bahkan nggak pernah sedikit pun bicara sama aku. Dan sampai kita menikah pun kamu masih tetap acuh padaku."
Revan terdiam hingga terlihat mulutnya sedikit bergerak seperti menahan rasa kesal. Berikutnya ia mendesis lalu berdiri dan menghampiri Larisa.
Rasanya ingin mundur atau lari saja, tapi sialnya Larisa tetap mematung seperti ada sesuatu yang membuat kedua kakinya begitu berat untuk digerakkan. Dan langkah itu semakin mendekat, Larisa akhirnya hanya bisa membisu sambil mencengkeram ujung bajunya kuat-kuat.
Kini, Revan sudah berdiri tepat di hadapan Larisa sambil melipat kedua tangan di depan dada. "Kamu tahu aku benci kamu, lalu kenapa kamu mau jadi istriku?"
Larisa menelan ludah susah payah. "Bukan aku mau, aku hanya nggak enak sama papa dan mama. Aku harus patuh sama mereka."
Revan memutar bola mata jengah lalu mendur kemudian duduk di bibir ranjang. Dia tidak bicara apa pun saat ini, yang ia lakukan sebatas mengamati Larisa dari ujung kaki hingga kepala.
Tidak ada yang kurang dari Larisa. Revan mengakui bahwa Larisa sangat sempurna. Tubuhnya indah dan sesuai kriteria para pria pastinya. Pernah sekali, Revan tidak sengaja melihat Larisa tanpa busana saat mandi. Meski hanya bagian belakang, tak bisa dipungkiri kalau tubuh itu sangat menggoda. Sayangnya meski begitu kagum, Revan masih bisa menahan diri karena rasa benci yang amat dalam.
"Dengar ...." Revan kembali bicara. "Aku masih bisa diam, tapi aku hanya khawatir jika tiba-tiba aku bisa lebih menyakiti kamu."
Kening Larisa berkerut. Dia menatap Revan dengan tatapan bingung. Pria itu seperti bicara dengan penuh teka-teki di dalamnya.
"Aku nggak tahu kenapa kamu begitu membenci aku, tapi ... apa nggak bisa kita coba perbaiki hubungan ini?"
Tiba-tiba Revan menepuk dipan ranjang cukup keras sampai membuat Larisa terlonjak kaget. Dua tangan yang semula mencengkeram ujung baju, kini beralih saling mengepal di depan dada.
"Kamu mau buat aku marah?" Revan sudah mendongak, tetapi tidak berdiri. "Aku sudah menahannya selama ini supaya nggak sampai emosi seperti sekarang."
Larisa masih belum paham. Pembicaraan ini, membuat ia harus menebak-nebak kesalahannya sampai-sampai membuat Revan marah.
"Kalau kamu terus bicara, aku bisa saja menampar kamu!" Kali ini tatapan itu semakin tajam dan jari telunjuk mengeras ke arah Larisa.
Larisa tidak tahu lagi harus berbuat apa saat ini. Begitu Revan sudah pergi meninggalkan kamar, saat itu juga Larisa ambruk tersungkur di atas lantai dan menangis.
"Kenapa kamu?" tanya Tamara saat Revan sampai di ruang tengah. Kebetulan saat itu Tamara sedang duduk menonton tv di sana.
Revan enggan duduk dan dia membelok ke arah dapur. Karena penasaran, Tamara sampai memutar badan menunggu putranya itu muncul lagi.
Setelah beberapa menit berlalu, Revan muncul sambil membawa minuman kaleng. Dia menjatuhkan diri di sofa lalu meneguk minuman itu langsung habis tak bersisa.
"Larisa lagi?" tanya Tamara lirih.
Revan meletakkan kaleng kosong di atas meja kaca cukup keras. Cengkeramannya yang kuat, sampai membuat kaleng itu terlihat sedikit penyok. Itu menandakan kalau Revan sedang marah.
"Plis, Re, kamu jangan begini terus," lirih Tamara. "Larisa sudah sepuluh tahun tinggal di sini. Apa kamu nggak ada niatan untuk berubah? Pernikahan kalian bahkan sudah berlangsung satu tahun lebih. Hal ini pasti menyiksa Larisa."
"Aku nggak peduli," acuh Revan. Dia menyugar kasar rambutnya ke belakang lalu lalu bersandar pada dinding sofa. "Sampai kapan pun aku nggak akan memaafkan dia."
"Jangan gitu, Re." Tamara mengusap lengan Revan. "Larisa nggak tahu apa-apa. Dan kejadian itu sudah sangat lama. Dan juga ... nggak ada unsur kesengajaan. Semua karena kecelakaan semata."
"Aku nggak peduli, Ma!" Revan terduduk lalu mengibas tangan hingga Tamara bergeser. "Aku sungguh nggak peduli dan rasa benci aku malah semakin bertambah kalau dia terus berada di dekat aku."
Revan menggeram lalu berdiri dengan cepat membuat suara cukup keras saat kakinya menapak di atas lantai. Tamara yang tidak tahu lagi bagaimana cara membujuk Revan, hanya menghela napas dan memejamkan mata sesaat.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Larisa (TAMAT)
RomanceRate: 21+ Larisa kehilangan kedua orang tuanya di saat umurnya masih kecil. Musibah kecelakaan itu, akhirnya membawa Larisa menemui kehidupan barunya bersama orang asing yang tak lain adalah teman dari kedua orang tuanya. Keluarga barunya begitu men...