Dua puluh Satu

780 31 0
                                    

Bab 21

Hampir semalaman Revan tidak tidur karena rasa bersalah terus menghantuinya. Wajah Larisa yang penuh dengan air mata, rasanya terus saja membuat Revan merasa seolah sedang ditampar beberapa kali. Mungkin benar kata Grace, sekuat Larisa bertahan, pasti akan ada titik di mana merasa lelah dan tidak dihargai. Mungkin begitulah yang Larisa saat ini.

"Bodoh!" maki Revan sambil menoyor kepalanya sendiri. "Kamu bodoh, Revan!"

Saat ini pun, Revan tidak akan tahu kalau Larisa menangis semalaman hingga membuat matanya bengkak dan memerah. Lingkaran mata panda pun terlihat jelas karena susah tidur.

"Aku jadi jelek," celetuk Larisa saat berdiri di depan cermin. Dia sudah mandi dan berharap akan lebih merasa segar, tapi tetap saja masih merasa sedih bercampur kecewa.

Tok, tok, tok!

Larisa spontan memutar pandangan. Tidak ada orang lain di apartemen selain dirinya dan Revan, dan sudah pasti itu Revan yang mengetuk pintu.

"Aku harus gimana?" Larisa mendadak panik sendiri.

Larisa ingat semalam sudah marah-marah yang berlebihan. Maksudnya lebih dari yang biasanya. Biasanya Larisa banyak diam dan memilih memaafkan, tapi semalam Larisa benar-benar sakit karena Revan hanya menyalahkannya.

"Larisa!" Panggilan itu membuat Larisa terkesiap.

"Aku harus gimana sekarang?" Larisa mulai ketar-ketir hingga membuatnya mondar-mandir sambil menggigit ujung kuku.

Ketukan itu terdengar lagi, Larisa terdiam menatap pintu yang masih tertutup itu. Seingatnya, semalam pintu itu tidak terkunci. Bisa jadi setelah ini Revan akan masuk. Sebelum itu terjadi, Larisa coba bersikap biasa saja, ia berdehem dan mengusap dada barulah kemudian perlahan mendekati pintu.

"Ada apa?" tanya Larisa saat pintu terbuka.

Revan langsung meraih tangan Larisa. "Aku mau bicara. Kumohon ..."

Larisa menatap wajah memelas itu, dan bohong kalau Larisa tidak mulai luluh. Begitu tulus dan besar cinta Larisa untuk Revan hingga beberapa kali menangis tetap saja tidak akan bisa berlama-lama marah dalam waktu lama.

Larisa menghela napas dan masih memasang wajah cemberut. Lantas, dia mundur membiarkan Revan masuk.

"Kamu masih marah?" tanya Revan.

"Menurut kamu?" Larisa menoleh dengan tatapan kesal.

"Oke, aku minta maaf." Revan maju lagi hingga berhasil meraih dan menggenggam satu tangan Larisa. "Aku sungguh minta maaf."

Larisa masih tetap acuh dan pura-pura tidak peduli. Ia ingin tahu sampai mana Revan berusaha mengakui kesalahannya.

"Aku harus bagaimana supaya kamu memaafkan aku?" Revan sudah menangkup kedua tangan Larisa dengan tatapan memohon.

Larisa menunduk sesaat seraya memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam. Berikutnya, Larisa mengangkat wajah dan menatap Revan. "Aku bingung. Maksudku ... aku nggak tahu kenapa kamu selalu menyalahkan aku. Aku bertahan sama kamu, tapi tatap saja kamu begini. Kamu ... kamu seperti nggak punya perasaan."

Revan merasakan tubuhnya begitu lemas. Suara parau itu membuat hatinya hancur. Dulu, dia hampir tidak pernah peduli dengan tangisan atau rengekan Larisa, tapi kini entah kenapa isak itu begitu menusuk hatinya.

Satu tangan Revan melepas genggaman, lalu berpindah mengusap pipi Larisa. "Maaf." Setelahnya, Revan memeluk Larisa dengan erat, membuat tangis Larisa semakin deras.

"Aku sunggu minta maaf." Revan kembali mengeratkan pelukan dan menciumi pucuk kepala Larisa. Aroma wangi itu, membuat Revan tidak mau lepas.

Baru saja Revan memejamkan mata dan menikmati lebih aroma itu, tiba-tiba Larisa mendorong tubuh Revan hinga pelukan terlepas. Usah mundur selangkah, terlihat Larisa mengusap kasar wajahnya yang basah karena air mata.

"Aku nggak mau percaya omongan itu lagi. Kamu selalu berbohong," seloroh Larisa. "Aku tahu kamu nggak pernah cinta sama aku. Berhentilah minta maaf kalau cuma main-main."

Revan sudah tidak tahan melihat Larisa yang kini mulai menjauh dan merengek. Bagi Revan, hal itu justru mengundang sesuatu yang harusnya terus ia tahan. Dari yang ia tahu dari hasil browsing di internet, ada yang mengatakan wanita akan luluh dengan sentuhan atau cumbuan.

"Temui saja wanita itu, karena aku nggak mau dianggap perusak hubungan orang lagi," kata Larisa lagi tanpa menoleh.

Revan maju, kemudian menangkup wajah Larisa dengan cepat. Satu tangan beralih meraih tengkuk hingga wajah Larisa terangkat. Berikutnya, Revan mendaratkan ciuman pada bibir Larisa cukup kuat. Larisa yang kaget, hanya bisa meringik dan coba melepaskan diri.

Seberapa kuat Larisa berontak, Revan masih kekeh pada apa yang sedang dilakukan saat ini. Dia sampai tidak peduli Larisa sudah hampir kehabisan napas.

Plak!

Hingga detik berikutnya, Larisa mendorong cepat dan memberi satu tamparan kuat pada Revan. Itu sungguh tidak baik. Ya, Larisa tahu, tapi Revan sudah berbuat kasar. Larisa berhak melindungi diri.

"Kamu!" Larisa mengacungkan jari telunjuk dengan wajah merah padam. "Apa yang kamu lakukan?" Dada Larisa terlihat kembang kempis lebih cepat.

"Aku, aku hanya ..."

"Nggak usah mendekat." Larisa memeluk tubuhnya sendiri dan menyingkir. "Aku istri kamu, bukan pacar kamu."

Oh astaga! Saat itu juga Revan membuang napas kasar dan meraup wajah frustrasi. Dia  lantas menyugar rambut ke belakang dan kembali mendekati Larisa.

"Aku minta maaf, aku nggak bermaksud kasar," kata Revan. "Plis, aku hanya bingung dan takut kamu nggak memaafkan aku, Larisa."

Larisa tersenyum miring seolah pertanda tidak percaya dengan kalimat Revan. "Kalaupun aku nggak maafin kamu, itu nggak penting buat kamu kan? Kamu itu suami aku, tapi hati kamu milik orang lain."

"Kata siapa!" seru Revan seketika. Larisa sampai terlonjak kaget.

"Kamu nggak tahu bagaimana aku menahannya selama ini kan?" Revan sudah menajamkan mata dan sungguh itu membuat Larisa merinding.

Revan maju lagi, kemudian menggunjang tubuh Larisa. "Aku menahan semuanya sepuluh tahun ini. Menahan bagaimana aku yang sebenarnya jatuh cinta sama kamu, tapi nggak tahu harus berbuat apa!"

Guncangan itu berhenti, Larisa hanya tertegun seperti orang linglung. Sementara Revan, dia seperti menahan amarah, rasa cinta atau apa pun itu yang membut tubuhnya memanas.

Setelah satu menit berlalu untuk mengatur napas, Revan kembali menatap Larisa dalam-dalam. "Aku ..." Revan menunjuk dadanya sendiri. "Menyimpan perasaan sama kamu sudah lama." Telunjuk itu beralih mengarah pada Larisa.

"Omong kosong!" sahut Larisa kuat. "Kamu selalu acuh, kamu seperti bongkahan es yang sangan sulit digenggam. Kamu mengabaikan aku tidak peduli bagaimana aku yang selalu merengek seperti orang bodoh. Kamu menjalin cinta dengan siapapun dan itu terus berlanjut meski kita sudah menikah."

Revan sekali lagi meraup wajah lalu meraih tangan Larisa. "Aku minta maaf. Aku sungguh minta maaf. Semua juga nggak mudah untuk aku. Aku selalu berpikir kamu adalah adikku, mana mungkin aku bisa mencintai kamu. Aku menahannya selama ini, Larisa."

Larisa terdiam dan tidak berontak seperti tadi lagi. Larisa menelusuri wajah Revan yang berkeringat dan menanpakkan otot-otot kecil di area pelipis.

"Dengar, kamu boleh marah sama aku, tapi aku mohon ... percaya sama aku. Aku juga sama seperti kamu, menahan perasaan selama ini."

Larisa menggeleng tanda belum percaya sepenuhnya. "Aku takut kamu berbohong. Di luar sana, kamu bahkan masih menyimpan satu wanita. Kamu sampai mengurung aku di sini, hanya supaya kamu bisa leluasa bertemu dengan dia."
***

Larisa (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang