Bab 3
Pagi harinya, Larisa sudah sibuk menyiapkan pakaian untuk sang suami. Dia menaruh sepatu pantofel di samping sofa, lalu meletakkan setelan pakaian di atas meja ruang ganti. Setelah semua terlihat beres, Larisa beralih pergi ke kamar mandi.
Sampai di dalam sana, Larisa tidak langsung melucuti pakaiannya. Dia berdiri sambil mencengkeram bibir wastafel lalu menatap dirinya sendiri dari pantulan cermin.
"Sekarang aku sudah dua puluh tahun, apa aku akan hidup seperti ini terus?" gumam Larisa. "Sepuluh tahun aku bersama mereka dan Revan masih tetap membenciku. Memang aku salah apa?"
Tidak kerasa, air mata kembali turun membasahi pipi. Sisa berdebatan semalam kembali teringat membuat isak tangis terasa menyakiti dada.
"Aku harus bagaimana?" Larisa semakin terisak. "Aku juga ingin membuka hati, tapi dia sama sekali nggak peduli."
Larisa menundukkan kepala dan menguatkan cengkeramannya supaya bisa menahan suara tangis yang mulai menggema. Rahangnya yang kecil menguat hingga gigi-gigi di dalam mulut saling menekan. Rasanya sungguh sakit dan terasa sesak.
"Dia menangis?" lirih Revan dari balik pintu.
Revan mendekatkan daun telinga pada papan pintu. Ia sampai sedikit miring karena merasa penasaran. Revan memang selalu acuh, tapi jujur saja hampir tidak pernah melihat saat Larisa menangis. Dulu Larisa termasuk gadis aktif dan manja memang. Dia selalu coba mengganggu Revan meski selalu diabaikan bahkan dibentak.
Waktu itu Larisa masih bisa terlihat ceria meski beberapa kalimat kasar sempat terlontar. Namun, suatu ketika Larisa menjadi gadis yang lebih banyak diam hingga berlanjut sampai sekarang. Jujur saja terkadang Revan merasa rindu dengan tingkah manja itu, hanya saja rasa benci pada Larisa selalu memenangkannya.
"Untuk apa kamu menangis?" Revan beranjak menjauh dari pintu kamar mandi. Dia melenggak kembali duduk di atas ranjang.
Tidak lama setelah itu, Larisa muncul. Dia ke luar dari kamar mandi sudah dalam keadaan bersih, segar dan wangi. Dia sudah memakai baju terusan dengan pita di bagian pinggang. Kini, harum sabun aroma rose bahkan bisa Revan rasakan.
"Aku nggak bisa mengelak kalau memang dia tumbuh dengan sangat sempurna," batin Revan saat diam-diam curi-curi pandang ke arah Larisa.
Larisa melenggak menuju meja rias. Dia tahu Revan sudah bangun, tapi dia memilih acuh saja, toh Revan tidak peduli. Seperti biasanya, Revan juga tetap acuh. Dia kini berdiri dan bergantian masuk ke dalam kamar mandi.
Ketika mendengar pintu kamar mandi sudah tertutup rapat, Larisa menurunkan sisir dari rambutnya lalu menoleh. Dia menghela napas sambil tersenyum tipis.
"Aku harus bagaimana?" lirih Larisa. "Aku ingin terus bertahan dan coba meluluhkan hati kamu, tapi ... kenapa kamu semakin terasa sulit untukku."
Cukup lama Larisa memandangi pintu kamar mandi hingga tiba-tiba berkedip cepat dan sedikit terjungkat saat penghuni di dalamnya ke luar. Larisa buru-buru kembali memutar pandangan ke arah cermin.
"Bereskan pakaian kamu," kata Revan tiba-tiba.
Larisa sontak menoleh ke arah Revan yang kini sedang menggosok-gosok rambutnya dengan handuk. Tidak lama, karena setelah itu Larisa kembali membuang muka begitu menyadari kalau Revan masih bertelanjang dada.
"Apa maksud kamu?" sahut Larisa kemudian.
Revan melenggak menuju ruang ganti. "Bereskan saja semua pakaian kamu dan masukkan ke dalam koper."
"A-apa?" Larisa tertegun dengan mulut terbuka.
Ia seperti manekin berkostum yang sama sekali tidak bisa bergerak. Dua matanya mulai berkedut dan semakin lama terasa perih. Belum lagi berbagai pertanyaan buruk mulai bermunculan di otaknya.
"Nggak usah berpikiran macam-macam." Revan ke luar dari ruang ganti sudah memakai baju lengkap. "Bereskan saja. sore nanti kita mulai tinggal di apartemen."
"O." Larisa masih tertegun dan hanya sedikit membulatkan mulut.
Larisa membiarkan Revan berangkat kerja dan tidak bicara apa pun lagi seperti biasanya. Setelah merasa sang suami sudah benar-benar meninggalkan kamar, perlahan Larisa mundur lalu menjatuhkan diri di atas sofa. Dia menggenggam tangannya sendiri, memangkunya cukup erat. Sementara ekspresi wajahnya masih termenung seperti orang linglung.
"Aku pikir dia ... dia mengusirku," lirih Larisa. "Tapi ... kenapa dia mengajakku pindah?" Larisa menggigit bibir bawahnya.
Tok, tok, tok.
Larisa spontan menoleh. "Ya, siapa?" sahutnya.
Larisa berdiri menghampiri pintu sebelum seseorang di luar sana menjawab.
"Ini mama, Sayang. Boleh masuk?"
Saat suara itu terdengar, Larisa sudah berdiri di balik pintu dan langsung membukanya.
"Mama boleh masuk?" tanya Mama lagi sebelum Larisa buka suara.
Larisa mengangguk lantas bergeser untuk memberi jalan mama mertuanya masuk. Setelah sudah sampai di tengah ruang kamar, Larisa langsung menutup pintu.
"Ada apa, Ma?" tanya Larisa.
Tamara menoleh. "Revan ngajak kamu pindah?" tanyanya.
"Iya, ma." Larisa menunduk merasakan tubuhnya yang sejujurnya sedari tadi sudah gemetaran.
Tamara mungkin tahu bagaimana perasaan Larisa saat ini. Tidak salah jika Larisa merasa takut pindah. Selama ini Revan bersikap cukup buruk, mungkin hal itu yang Larisa khawatirkan.
"Sayang ...." Tamara berdiri tepat di hadapan Larisa, lalu meraih dan menggenggam dua tangan Larisa. "Kamu nggak usah khawatir, Revan akan bersikap baik sama kamu kok."
Larisa tidak langsung menanggapi kalimat itu. Dia menatap ke arah lain beberapa detik sebelum kemudian memberanikan diri menatap ibu mertuanya. Dan sebelum itu juga, Larisa menarik napas dalam-dalam supaya tidak sampai menangis.
"Ma, sebenarnya ada apa? Kenapa Revan begitu membenci aku? Apa karena kita terpaut umut yang jauh?"
Pertanyaan Larisa cukup panjang membuat Tamara menghela napas lalu melempar senyum tipis. Dia angkat satu tangan--mengusap pipi Larisa-- dia juga menyelipkan helaian rambut ke belakang telinga.
"Maaf mama nggak pernah cerita hal ini," kata Tamara. Tatapan itu berubah sendu. "Mama hanya berpikir semua itu akan berlalu sendiri."
Pertanyaan mulai muncul di kepala Larisa, dan rasa penasaran semakin kuat. "Apa maksud mama?"
Tamara kembali mengambil napas dalam-dalam, kemudian mencengkeram kedua pundak Larisa. Senyum itu juga kini terlihat lagi. Mungkin supaya Larisa tetap tenang saat Tamara mengatakan semuanya.
"Sudah lama sekali. Ya, sudah sangat lama," kata Tamara yang masih belum Larisa mengerti. "Kamu tahu Revan punya adik kan?"
Larisa mengangguk.
Tamara berjalan ke arah ranjang, mengajak Larisa duduk di sana. "Dia begitu kehilangan Adiknya waktu itu. Revan yang dulu sangat ceria, berubah jadi pendiam dan lebih banyak menyimpan apa pun sendiri."
Larisa masih menyimak dengan tenang, meski ia ingin sekali bertanya karena merasa bingung dengan hubungannya mengenai Revan yang bisa begitu membencinya.
Tamara mendongak menatap lurus pada Larisa. "Kamu pengen tahu kenapa Revan benci kamu?"
Larisa mengangguk lagi.
"Revan pikir, kamu sudah membuat adiknya tiada."
"Aku?" Larisa merasa tersentak tapi hanya bisa terbengong. "Kenapa dengan aku?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Larisa (TAMAT)
RomanceRate: 21+ Larisa kehilangan kedua orang tuanya di saat umurnya masih kecil. Musibah kecelakaan itu, akhirnya membawa Larisa menemui kehidupan barunya bersama orang asing yang tak lain adalah teman dari kedua orang tuanya. Keluarga barunya begitu men...