Sepuluh

2.6K 114 1
                                    

Bab 10

Sampai siang, Larisa tak kunjung mendapatkan pesan dari Revan. Sepertinya pria itu memang sengaja mengurung Larisa di apartemen ini.

Aaaaargh!

Sekali lagi Larisa menggeram dan menendang-nendang kedua kakinya di atas ranjang. Kenyataan dalam otaknya waktu itu ternyata nyata. Pindah ke sini bukan hal yang baik, baru dua hari saja rasanya seperti sedang menjadi wanita tawanan.

Mungkin memang benar Revan berniat mengurung Larisa. Tepatnya hanya karena tak ingin Larisa kembali bekerja di toko roti itu. Alasanya tak lain adalah tak suka jika Larisa berdekatan dengan teman kerjanya. Cukup meresahkan menurut Revan.

"Silakan saja menunggu, karena aku nggak akan memberi tahu apa sandinya," decit Revan saat melihat ponselnya berkedip-kedip karena panggilan dari Larisa.

Revan melonggarkan dasinya lalu berdiri tanpa membawa ponselnya. Ia ingat hari ini ada jatah makan siang dengan Julia. Mungkin juga saat ini adalah waktu yang tepat untuk menghakhiri hubungannya.

Sampai di restoran yang tidak jauh dari kantor, Revan melihat Julia melambaikan satu tangan. Senyum sumringah tergambar jelas di wajahnya, tapi hal itu membuat Revan ingin segera memberi tamparan yang cukup keras.

"Akhirnya kamu datang," katanya dengan nada manja. "Sini duduk." Julia menarik tangan Revan hingga terduduk.

"Aku sudah memesankan makanan. Nah, itu dia." Julia membelalak saat makanan pesanannya datang.

Makanan itu sudah tertata rapi di atas meja, lantas pelayan melenggak kembali ke belakang.

"Aku pesan ayam bakar kesukaan kamu," kata  Julia sambil menyodorkan bagian Revan lebih dekat. "Kamu suka pasti," lanjutnya.

Revan tidak bicara apa pun selain berdehem kecil dan mulai menikmati makanannya. Pun dengan Julia yang sudah begitu lapar.

"Oh iya," Julia mendongak masih sambil mengunyah makanan. "Sore nanti ada waktu?"

Revan menelan makanannya lalu meneguk minumannya lebih dulu sebelum menjawab. "Aku nggak bisa. Banyak kerjaan yang harus aku selesaikan malam ini."

Julia menjatuhkan dua sendok cukup keras membuat benturan dengan piring berbunyi nyaring.

"Kamu kenapa, sih!" kesanya. "Akhir-akhir ini kamu semakin cuek."

Revan mengelap bibirnya kemudian menghela napas.  Dia terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menatap Julia dalam-dalam. "Kita akhiri hubungan kita," katanya kemudian.

"A-apa?" Julia ternganga tidak percaya. "Kamu jangan bercanda, Re!"

Revan memejamkan matanya sesaat. Dia menarik napas dalam-dalam lantas mengembuskannya perlahan. Memandamg ekspresi Julia, Revan heran kenapa wanita itu begitu pandai berdrama. Jelas-jelas dia memiliki pria lain, lalu untuk apa mempertahankan hubungan ini?

"Apa kamu nggak mau mengakui sesuatu?" Revan mendaratkan kedua tangan di atas meja hingga tatapannya lebih dekat pada Julia. "Aku ingin kamu mengakuinya."

Julia mengerutkan dahi. "Mengakui apa?"

Revan tersenyum getir dan menundukkan kepala beberapa detik. Setelah kembali mengangkat wajah, Revan melihat Julia masih berekspresi sama. Seolah tidak tahu apa-apa.

"Aku tahu bagaimana kamu di luar sama dengan pria lain ..."

"Aku ..."

Kalimat itu terhenti saat Revan dengan cepat mengangkat tangan dan mengatupkan jemari meminta Julia untuk diam lebih dulu tanpa memotong pembicaraan.

"Kamu sudah memiliki kekasih di luar sana. Jadi untuk apa hubungan ini dilanjut?"

"Aku ..."

Revan kembali melakukan hal yang sama seperti tadi saat Julia terus coba memotong perkataannya.

"Dengarkan aku, dan jangan bicara," tekan Revan.

Julia mendengkus kesal, tapi coba diam membiarkan Revan bicara.

"Aku bukan pria yang bisa memuaskan kamu, jadi aku nggak nyalahin kamu melakukan apa pun dengan pria itu. Dan sekarang, kita sudah hubungan ini."

Revan berdiri, hingga kursi yang ia duduki terdorong ke belakang. "Aku pergi."

Revan kini berbalik badan dan mulai melangkah ke depan menuju pintu ke luar.

"Revan!"

Di saat Revan tinggal satu langkah sampai ke pintu, Julia menyerukan namanya membuat para pengunjung langsung memutar pandangan ke arah mereka. Bisik-bisik pun mulai terlihat dan suasana nampak sedikit menegang.

Di sana, Revan berhenti saat mendengar seruan itu, tapi dia sama sekali tidak menoleh. Sementara Julia, dia sudah berdiri dengan kedua tangan mengepal kuat.

"Aku tahu kamu mencintai wanita itu kan? Aku di sini cuma pelampiasan buat kamu. Ya, pelampiasan selama dua tahu. Jadi kamu nggak usah merasa paling benar kalau aku selingkuh!"

Ketika kalimat lantang itu berhenti, Revan tidaklah menoleh melainkan kembali melangkah dan pergi dari tempat tersebut. Reaksi itu, tentu membuat Julia marah hingga memukul meja. Beberapa makanan di atas meja bahkan sampai tumpah, dan Julia sungguh tidak peduli.

"Apa kalian lihat-lihat!" hardik Julia pada orang-orang yang menatapnya aneh. "Shit!" maki Julia sekali lagi sebelum pergi juga dari tempat tersebut.

Revan sudah kembali lagi ke kantornya, tidak untuk kembali melanjutkan pekerjaannya, melainkan hanya mengambil jas dan ponselnya lalu pergi. Dia mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, tak peduli bahaya besar di jalan raya yang ramai. Untungnya Revan ahli dalam mengendarai mobil hingga selamat sampai di apartemen.

Entah apa yang membuat rasa kesalnya saat ini membawa diri kembali ke apartemen. Hanya saja Revan merasa bahwa di sinilah dia mungkin akan merasa tenang.

Ceklek!

Suara itu membuat Larisa yang sedang bersandar sembari nonton tv terkesiap. Dia memiringkan badan ke arah kiri untuk melihat siapa yang datang. Ketika sosok itu terlihat, segera Larisa berdiri dan sigap.

"Kamu sudah pulang?" tanyanya lirih. Sebesar apa pun rasa jengkel yang sedari tadi Larisa rasakan menghilang begitu saja saat melihat wajah Revan.

"Hm." Revan membungkuk dan coba melepaskan kedua sepatunya, tapi sepertinya kesusahan karena tangannya masih memegang tas, jas dan juga ponsel.

"Mau aku bantu?" Larisa mendekat. Tidak menunggu jawaban dari Revan, Larisa langsung jongkok dan membantu melepaskan sepatu itu.

Revan diam saja saat Larisa berjongkok dan membantunya. Meski jarak tidak terlalu dekat, Revan bisa merasakan aroma sampo yang begitu wangi dari rambut Larisa. Tidak ada yang berubah, aroma ini sering Revan nikmati diam-diam tanpa Larisa ketahui.  Ya, tidak ada yang pernah tahu kalau diam-diam Revan selalu mencium rambut wangi itu di pagi hari.

"Sudah," kata Larisa.

Segera, Revan berdehem lalu berdiri tegak. "Buatkan aku jus," katanya seraya melenggak pergi.

Larisa mengangguk.

Diam-diam Revan tersenyum saat berjalan menuju kamarnya. Sesungguhnya hal inilah yang Revan kagumi dari Larisa. Seberapa Revan membuat kesal dan marah, Larisa bisa bersikap biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa. Dia akan tetap bersikap manis dan melayani dengan baik.

"Huh, mungkin benar. Aku hanya sebatas mencintai Julia untuk sesaat. Aku hanya terlalu bingung dan frustrasi menghadapi perasaanku untuk Larisa.

"Aku masih belum sanggup menatap mata itu lama-lama. Aku hanya merasa ..." Revan terdiam menatap dirinya pada pantulan cermin. "Aish, sudahlah. Aku semakin gila rasanya!"

Kedua tangan Revan mengibas ke udara sebelum kemudian melucuti pakaiannya menuju kamar mandi.
***

Larisa (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang