Bab 6
Panggilan itu belum berakhir sampai membuat Larisa harus menunggu di lobi beberapa saat.
"Dia itu telepon siapa?" sungut Larisa. "Apa kekasihnya yang menyebalkan itu?"
Kedua kaki Larisa bahkan mulai terasa pegal karena sedari tadi berdiri bersama dua koper besar. Dia ingin duduk, tapi rasanya enggan karena merasa kesal. Beberapa kali Larisa menunduk seraya mengamati kakinya yang menggesek-gesek lantai. Bibirnya ya ranum, ia buat mengerucut dan gedumel tidak jelas.
"Ngapain kamu?" tanya Revan tiba-tiba.
Larisa yang terkejut sampai melompat kecil dan mendongak.
"Ayo masuk!" ajaknya dan nyelonong begitu saja.
Larisa menarik dua koper besar sementara tiga kardus ia tinggal. Dua tangannya tentu hanya cukup membawa dua barang kan? Jika ditanya kenapa barang-barang bisa terkumpul semua di sini, itu karena Larisa mengambilnya sampai bolak-balik sementara Revan hanya sibuk dengan ponselnya.
Sampai di depan lift, Revan baru menyadari seperti ada yang kurang di sini. Revan memiringkan kepala ke arah Larisa dan menaikkan satu alisnya.
"Di mana kardus-kardusnya?" tanya Revan.
"Aku tinggal," jawab Larisa santai.
Saat itu juga Revan membulatkan dua bola matanya dan mencondongkan badan. Setelag berdecak, Revan mengacungkan lengan dengab jari menunjuk ke arah lorong jalan ke luar.
"Ambil sekarang," perintahnya dengan nada menekan.
Napas Larisa sudah ngos-ngosan, kedua kaki terasa pegal, sementara tangan terasa kebas. Dia mendengkus lalu melepas kasar gagang koper, lalu berjalan dengan cepat hingga membuat satu koper ambruk karena tersenggol.
Revan terdiam memandangi dua koper yang berdiri dan ambruk itu. Sekian detik dia memandangi hingga kemudian menepuk cukup keras.
"Astaga!" Katanya kemudian. Usai berdecak, Revan langsung berlari menyusul Larisa tak peduli saat itu pintu lift sudah terbuka.
"Dia menyebalkan!" gerutu Larisa sambil menumpuk tiga koper itu menjadi satu. "Kakiku bahkan sudah pegal sekali."
"Biar aku yang bawa."
"Eh!"
Larisa spontan berdiri dan melihat Revan sudah ada di hadapannya. Revan tidak bicara apa pun lagi dan langsung mengangkat semua kardus itu menuju para koper yang sudah menanti.
Larisa memanyunkan bibir dengan sedikit kepala meneleng. Dia berkedip-kedip memandangi punggung Revan penuh rasa keheranan.
"Kamu mau berdiam diri di situ?" kata Revan masih sambil berjalan.
Larisa langsung bergidik cepat dan menyusul.
Kaki Larisa benar-benar terasa pegal sekali. Tadi tidak begitu kerasa saat bolak balik mengangkat koper dan membawa Koper, tapi sekarang sungguh tidak tertahan lagi. Sampai di dalam apartemen, Larisa bahkan tidak sadar dirinya sudah ambruk di atas lantai usai melepas koper saling berdampingan.
Revan yang baru saja meletakkan kardus di lantai, melihat Larisa yang kelelahan diam-diam menyungging senyum. "Cuci kaki dulu, setelah itu istirahat," katanya.
Larisa mengangkat wajah. Dia tidak menyahut, tapi malah memandangi Revan yang sedang menata ranjang. Larisa sungguh merasa aneh karena sikap Revan yang berbeda. Pria tampan itu memang masih acuh, tapi rasanya ada yang sedikit berbeda.
"Mau sampai kapan kamu bengong?"
Larisa kembali bergidik dan berkedip cepat. Larisa langsung memutar bola mata ke arah lain dan perlahan berdiri. Ketika sudah berdiri, Larisa, menyapu pandangan mencari di mana letak kamar mandi atau toilet.
"Em ... di mana kamar mandinya?" tanya Larisa lirih.
Revan berhenti menyapu ranjang lalu menegak. Setelah itu dia sedikit memutar badan lantas menunjuk sebuah pintu berwarna putih. Tidak bicara apa pun dan dia kembali acuh.
"Dia itu kenapa sebenarnya!" dengus Larisa sambil menghentakkan kaki di dalam toilet. "Apa hanya karena aku menerima donor mata dia saking bencinya? Atas dasar apa sampai membenciku?"
Larisa masih gedumel sambil menatap dirinya sendiri dari pantulan cermin. Dia mengambil napas dalam-dalam, mengusal dada supaya hatinya kembali tenang. Dia teringat obrolan waktu itu dengan ibu mertuanya dan sudah bertekad akan coba meluluhkan hati Revan bagaimana pun caranya.
"Aish! Apa aku benar-benar menyukai bongkahan es itu?" Larisa kembali menghentak-hentakkan kedua kakinya bergantian.
Meski tidak menyadari tentang perasannya sendiri, nyatanya Larisa memang selalu mengagumi sosok Revan sedari dulu. Seberapa acuhnya pria itu, Larisa dulu tetap coba bermanja layaknya bocah pada umumnya. Ya, walaupun pada akhirnya tetap bentakan yang Larisa terima hingga saat ini.
Di luar, Revan kembali terfokus pada ponselnya. Dia membawanya menuju balkon menikmati udara malam yang semakin terasa dingin.
"Aku akan berkunjung besok," kata seseorang di balik ponsel.
Revan memasukkan satu tangannya ke dalam kantong saku celana. "Terserah kamu saja."
"Revan!" Suara di sana memekik gendang telinga, membuat Revan sesaat menjauhkan ponsel.
Setelah bergidik dan berdecak kecil, Revan kembali menempelkan ponsel pada daun telinga.
"Kenapa kamu acuh begitu, sih!" gerutunya dari seberang sana. "Aku ini pacar kamu, bisa nggak, sih, sekali saja kamu perhatian. Dulu kamu nggak terlalu seperti ini, Revan!"
Suara ocehan panjang itu sungguh membuat Revan merasa jengah. Siapa pun tahu bagaimana sifat dingin Revan pada siapa pun. Mungkin Julia saja yang kurang sabar dan mengerti.
Tut, tut, tut.
Panggilan terputus begitu saja dan Revan hanya menghela napas dan langsung mencengkeram ponsel itu cukup erat lalu satu tangan lagi ke luar beralih memegang teralis besi. Dalam posisi ini, dara dingin dan angin yang berembus semakin terasa menyapu wajah hingga tatanan rambut yang semula rapi sedikit berantakan.
"Kenapa dia terus saja menelepon?" gumam Larisa. "Aku yakin dia menelepon wanita itu. Cih! Menyebalkan!"
Larisa menjulingkan mata lalu tiba-tiba mendesis dan meringis. Ia berjalan setengah membungkuk sambil menyeret kakinya menuju sofa.
"Astaga, pegal sekali kakiku," keluhnya masih sambil meringis. Rasa pegal itu sudah terasa menjalar sampai di bagian lutut. "Apa ada minyak urut di sini?" gumamnya lagi.
Larisa tidak sadar kalau saat ini Revan sudah berdiri di sampingnya sambil memandangi dengan senyum tipis.
"Hwaaa! Pegal seka ... li." Suara itu melambat ketika Larisa menyadari tatapan Revan saat wajahnya mendongak. Seketika Larisa langsung kembali menunduk. "Maaf," katanya lirih.
Revan menjulingkan mata kemudian melenggak menjauh. Dalam posisi masih duduk, Larisa diam-diam menoleh memastikan keberadaan Revan. Pria itu saat ini sedang berdiri di depan lemari yang menempel pada dinding di dekat dapur. Ketika Revan hendak berbalik, dengan cepat Larisa memutar pandangan dan terduduk dengan tenang lagi.
Larisa mendadak gugup saat Revan tiba-tiba ikut duduk di sofa yang sama. Namun, Larisa cukup diam saja karena bingung harus bereaksi bagaimana.
"Angkat kaki kamu," perintahnya.
Larisa tertegun, lalu sedikit mengangkat wajah mengamati posisi dirinya saat ini yang begitu dekat dengan Revan.
"Angkat? Angkat ke mana?" batin Larisa sambil menggigit bibir.
"Kamu budek ya!" seloroh Revan.
"A-apa?" Larisa ternganga. Ketika tatapan Revan terasa menusuk, Larisa buru-buru menunduk lagi.
"Aku bilang angkat!" tekan Revan dan kali ini ia meraih kedua kaki Larisa dan menaruh di atas pangkuannya."
"Eh, tapi ... aku ..."
"Diam!" salak Revan.
Larisa mengatupkan bibir lalu kembali menunduk.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Larisa (TAMAT)
RomanceRate: 21+ Larisa kehilangan kedua orang tuanya di saat umurnya masih kecil. Musibah kecelakaan itu, akhirnya membawa Larisa menemui kehidupan barunya bersama orang asing yang tak lain adalah teman dari kedua orang tuanya. Keluarga barunya begitu men...