Empat

3.5K 154 0
                                    

Bab 4

Sementara baju-baju dan barang-barang penting lainnya sudah masuk koper, otak Larisa masih betah memikirkan pembicaraan tadi. Hal itu tidak bisa Larisa abaikan begitu saja. Sekarang Larisa sudah berumur dua puluh tahun, itu artinya kejadian yang baru ia ketahui sudah begitu sangat lama. Tepatnya sekitar Larisa berumur lima tahun.

Larisa tidak tahu menahu mengenai donor mata itu ternyata dari adik Revan. Tamara bilang, Adik Revan sudah tidak bisa ditolong lagi karena sakit yang diderita sudah semakin parah.

Larisa masih tidak mengerti mengapa Revan begitu membencinya hanya karena hal itu. Maksudnya, Revan jelas tahu kalau adiknya memang  sudah tidak bisa ditolong lagi. Anehnya, hanya karena sang adik mendonorkan dua matanya, membuat timbul rasa benci pada diri Revan.

Larisa berkedip dengan cepat. Dia coba melupakan lamunannya hari ini yang membuat pikirannya kacau. Dua koper besar di samping ranjang, kini mengalihkan perhatian Larisa. Dia menatap benda besar itu cukup lama lalu tidak lama kemudian Larisa menghela napas.

"Aku harus berusaha," lirih Larisa. "Aku ingat waktu pertama datang ke rumah ini, Revan lah yang membuatku ingin tinggal."

Mulanya Larisa memanggil pria itu dengan sebutan kak, tapi sikapnya yang angkuh membuat Larisa jarang bicara atau coba bermanja dengannya lagi. Toh meski Larisa begitu mengagumi Revan dari dulu, tetap saja pria itu dingin dan acuh.

Larisa kembali menghela napas kemudian menepuk pahanya lalu berdiri. "Mungkin aku harus berusaha lagi."

Larisa ke luar meninggalkan kamar sambil membawa tas jinjing. Hari ini Larisa masuk siang seperti biasanya, asal persiapan sudah beres itu tidak akan jadi masalah meski ditinggal kerja lebih dulu.

"Kamu mau kerja?" tanya Tamara saat berpapasan di lantai satu.

Larisa membenarkan posisi tasnya yang hampir merosot dari lengannya lantas mengangguk. "Iya, Ma. Aku masuk siang lagi hari ini."

"Kamu nggak mau berhenti kerja saja?" tanya Tamara.

Larisa tersenyum tipis. "Nggak, Ma. Aku masih belum siap kalau nggak kerja."

Tamara membalas senyuman itu. "Mama ngerti maksud kamu. Ya, sudah, kamu hati-hati. Mama akan bantu beresin sisa barang yang perlu di bawa."

Mungkin Larisa akan memilih pergi jauh jika keluarga ini tidak berlaku baik padanya. Semenjak tinggal, mereka begitu menyayangi Larisa seperti anak kandungnya sendiri. Ya, hanya itu yang menguatkan Larisa untuk tetap tinggal sampai saat ini.

Sampai di halte, Larisa menunggu bus yang kemungkinan akan muncul sekitar lima menit lagi. Baru saja Larisa duduk, ponsel yang berada di dalam tas berdering. Larisa buru-buru mengambil ponselnya untuk memastikan siapa yang menelepon.

"Nomor siapa ini?" Kening Larisa berkerut saat mendapati nomor asing di layar ponselnya.

Larisa membiarkan ponsel itu berdering karena ragu untuk menjawab. Hingga bus datang, Larisa masih tidak menggubris dan memilih mensenyapkan lalu memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.

Larisa menaiki dua anak tangga bus, kemudian berjalan ke belakang mencari jok yang masih kosong. Baru saja menemukan jok dan hampir duduk, ponselnya bergetar tanpa suara. Getaran itu tidak berlangsung lama, mungkin berhenti tepat setelah Larisa mendaratkan pantatnya di atas jok.

Larisa meletakkan tas di atas pangkuan, kemudian kembali merogoh ponselnya. "Siapa, sih!" gerutunya pelan.

Larisa menggeser layar ponselnya dan terpampang nomor asing yang tadi sempat memanggil. Kali ini bukan panggilan lagi, melainkan dua pesan masuk dari nomor yang sama.

Segera Larisa membuka pesan tersebut dan mulai membacanya.
***

Hari ini terpaksa Larisa ijin dari pekerjaannya. Harusnya Larisa tidak perlu menanggapi pesan itu, tapi memang sepertinya perlu juga.

Begitu masuk ke sebuah kafe, Larisa sudah ditunggu oleh seorang wanita berbadan sintal dan seksi. Terlihat jelas, pakaiannya begitu terbuka sampai dua belahan dada itu terlihat.

"Kupikir kamu nggak akan datang," kata Julia dengan nada cibiran.

Larisa duduk kemudian meletakkan tasnya di kursi kosong di sebelahnya. "Ada perlu apa?" tanyanya tak kalah acuh.

Julia mendengkus kecil seraya menyeringai. Dia menatap Larisa dengan tatapan benci sementara jarinya sibuk mengaduk minuman menggunakan sedotan cukup kuat.

"Kenapa kamu masih bertahan sama Revan?" tanya Julia. "Kamu tahu dia punya pacar kan?"

Larisa mengangguk santai. "Lalu?"

Terlihat Julia mengeraskan rahang dan menghentikan gerakan jemarinya di atas gelas. "Apa kamu nggak punya harga diri?  Revan itu sudah punya kekasih, harusnya kamu mundur."

Larisa meletakkan kedua tangan di atas meja dan melipatnya dengan pelan. "Yang nggak punya harga diri itu aku atau kamu?"

Julia menarik posisi sedikit menegak dan tertegun sesaat. "Apa maksud kamu!" celetuknya kuat.

Larisa berdecak. Dia tidak akan takut pada siapa pun yang ingin menindasnya. Adu kekuatan bahkan mungkin akan Larisa jabanin. Asalkan hal itu bukan di hadapan Revan.

Larisa melepas lipatan dan mengalihkan satu tangan lebih ke samping. Di sana jari tekunjuknya terlihat mengetuk-ngetuk meja pelan. "Dengar, aku nggak mau buat masalah sama kamu. Jadi aku sarankan kamu jangan ganggu aku."

"Hei!" Julia melotot. Kini jari telunjuknya mengacung ke arah wajah Larisa. "Harusnya aku yang bilang begitu. Revan itu kekasihku!"

"Tapi aku istrinya."

"Kau!"

Julia mengepal tangan kemudian berdesis lantas terdengar decakan. Saat tangan sudah turun, Julia berdehem kemudian bicara lagi, "Aku nggak peduli kamu istri Revan, tapi yang jelas, aku adalah wanita yang dia cintai."

Brak!

Julia memukul meja kemudian berdiri. Hal itu, membuat para pengunjung sempat menatap aneh. Ketika Julia sudah melenggak pergi, saat itu juga Larisa duduk bersandar sambil menghela napas.

Setelah beberapa kali mengatur napas dan mengusap dada, kini Larisa menangkup wajah dengan kedua tangan yang bersiku di atas meja. Kemudian, Larisa meraup wajah dan memilih pergi juga dari tempat tersebut.

Drt, drt, drt.

Ponselnya kembali bergetar. Sambil terus berjalan menyusuri trotoar, Larisa mengangkat panggilan tersebut.

"Iya, Roy, ada apa?" tanyanya.

"Kamu nggak kerja?"

Larisa berjalan perlahan sambil menunduk. Ia sempat menendang kerikil kecil hingga mengenai tiang listrik bagian bawah.

"Aku ijin cuti hari ini," sahutnya.

"Kenapa?"

"Nggak apa-apa. Aku cuma ...." suara Larisa perlahan menghilang saat melihat sosok tak asing berdiri tidak jauh dari hadapannya. "Roy, sudah dulu ya." Panggilan terputus begitu saja.

Larisa menjatuhkan tangan masih sambil menggenggam ponsel dengan erat. Pria yang berdiri di sana membuat tubuhnya terasa kaku dan merinding.

"Kenapa dia ada di sini?" batinnya.

Orang itu semakin dekat dan tatapannya begitu menyala seperti hendak membunuh mangsanya.

"Ngapain kamu di sini?" tanyanya dengan suara bentakan.

Genggaman pada ponsel semakin kuat, pun dengan satu tangan lagi yang memegang selempang tas. "Aku, aku baru menemui seseorang," katanya terbata-bata.

"Aku coba menelepon kamu. Kenapa nggak kamu angkat?"

Larisa mengangkat ponselnya dan segera memeriksanya. Terlihat jelas betapa gugup dan gemetaran kedua tangan mungilnya itu. Ketika layar ponsel menyala, terlihat tiga panggilan masuk dari kontak bernama pria dingin.

"Oh, ini ... ini mungkin tadi ...."

"Nggak usah banyak bicara. Ikut aku!" Revan menarik tangan Larisa dan menyeret menuju mobil yang menepi di ujung jalan.
***

Larisa (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang