Tujuh

2.8K 120 3
                                    

Bab 7

Ini menjadi malam pertama mereka berdua di apartemen ini. Semangat Larisa yang berniat meluluhkan hati Revan, saat ini sedikit terganggu dan hilang semangat. Larisa tidak menyangka kalau kamar yang tadi dibersihkan Revan tidaklah untuk tempat tidur berdua melainkan hanya untuk Larisa seorang.

Di atas ranjang, Larisa hanya berguling-guling karena gelisah. Dia terus memikirkan semua yang terjadi hari ini hingga erangan cukup keras mencuat dari bibirnya. Larisa bukan bermaksud ingin tidur bermesraan, hal itu masih belum terpikirkan saat ini. Larisa hanya berharap bisa tidur seranjang seperti waktu di rumah. Ya, walaupun hanya satu tempat tidur dengan pembatas guling di tengahnya.

"Aaargh!" Larisa kembali menggeram dan  terduduk sambil menendang-nendang kakinya. "Kenapa jadi begini? Hiks!"

Larisa mengacak-acak rambutnya frustrasi. Dia mulai berpikir kenapa Revan mengajaknya pindah ke tempat ini. Ternyata tidak lain karena supaya bisa pisah ranjang tanpa sepengetahuan papa dan mama.

"Keterlaluan!" kesal Larisa sambil memukul-mukul ranjang membuat seprei tersingkap dan berantakan.

Apa yang dipikirkan Larisa sedikit ada benarnya. Saat ini Revan memang berniat tidur terpisah, tapi bukan karena rasa benci seperti yang Larisa pikirkan. Revan hanya belum siap dalam situasi seperti saat ini. Cukup lama Revan memendamnya dan Larisa tentu tidak tahu akan hal itu.

"Sampai detik ini aku bisa menahannya," desah Revan sambil menyugar rambut ke belakang.

Revan beralih duduk di kursi putar, menghadap ke layar ponselnya yang kini sudah menyala. Revan duduk sembari mengangkat satu kakinya, menyangga lengannya yang menyiku. Dia lantas menggeser layar ponselnya menuju menu pesan masuk dari orang asing.

Ibu jari Revan kemudian menekan satu rekaman yang dikirim dari nomor asing tersebut. Entah sudah berapa kali Revan memutar rekaman tersebut yang pada akhirnya membuat hatinya mendidih.

"Kupikir memang semua wanita sama!" sungut Revan begitu adegan dalam video tersebut terputar kembali.

Ada rasa jijik, muak, marah dan kecewa. Dua tahun hubungan berjalan dan ada sesuatu di baliknya. Sungguh biadab!

Revan menurunkan kaki lalu berdiri dengan cepat. Dia mencengkaram ponsel itu kuat-kuat sebelum akhirnya melemparnya hingga remuk menjadi tiga bagian. Larisa yang kala itu hendak menuju dapur, tidak sengaja mendengar suara pecahan itu.

"Re, kamu nggak apa-apa?" Larisa mengetuk pintu dab bertanya.

Di dalam sana, Revan menatap pintu dengan tatapan tajam. Kedua pundaknya naik turun sementara napasnya terasa memburu.

"Re," panggil Larisa lagi karena tak kunjung mendapat sahutan dari kamar.

Saking penasarannya, Larisa perlahan memutar knop pintu dan pintu terbuka. Larisa perlahan memasukkan kepala dan satu kakinya. Kini seluruh tubuhnya pelahan masuk dan Larisa terbengong saat mendapati apa yang sedang terjadi di dalam sini.

"Kamu kenapa?" tanya Larisa lirih.

Revan yang masih memanas, menutat pandangan dengan cepat. "Siapa yang nyuruh kamu masuk?"

Susah payah Larisa menelan ludah dan mulai gemetaran. "Aku, aku hanya ... aku ..."

"Keluar!" hardik Revan saat itu juga. Jelas sekali napasnya naik turun membuat Larisa semakin bergidik ngeri.

"Aku kan, aku hanya kha ..."

"Aku bilang, keluar!" Suara Revan lebih meninggi sampai membuat Larisa terjungkat.

Larisa menahan napas kemudian berlari ke luar meninggalkan kamar Revan. Dia langsung masuk ke kamarnya sendiri dan  dan menjatuhkan diri di atas kasur. Larisa pikir Revan sudah mulai tidak marah-marah lagi padanya, tapi ternyata salah. Tetap saja saat sedang emosi, Larisa yang akan menjadi pelampiasan.

"Aaargh!" Revan menggeram lalu menendang kursi putarnya hingga terpental. Dia kemudian mengacak-acak rambutnya sendiri.

Revan kini mencondongkan badan, mencengkeram kuat pada sandaran sofa lalu coba mengatur napasnya yang masih naik turun. Sudah tidak tahan lagi, Revan menjambret jaket dan kontak mobilnya lalu pergi begitu saja meninggalkan apartemen.

Brak!

Pintu itu tertutup dengan keras membuat Larisa yang tengah tersungkur di atas ranjang mendongak. Larisa kemudian mengusap wajahnya yang basah dan buru-buru turun untuk memeriksa keadaan.

"Apa dia pergi?" gumam Larisa.

Larisa menyapu pandangan, memeriksa keadaan. Meraya yakin Revan memang pergi, Larisa berlari ke arah pintu ke luar.

"Ck, dikunci!" geturunya kesal. "Aku nggak tahu sandinya apa. Sial!" Larisa mencak-mencak lalu menendak pintu itu cukup kuat. Pada akhirnya ia meringis karena jarinya terasa sakit.

"Shit!" Kalira selimpungan berjalan mundur lalu mendarat di sofa ruang tamu.

***

Revan kini sudah berada di rumah seseorang. Dia duduk di tepian kolam renang disuguhi teh hangat dan di sampingnya terlihat wanita cantik yang duduk menemaninya.

"Masih tahan?" tanyanya dengan nada menyindir. Dia ikut duduk seraya menyesap teh hangatnya.

Revan mendengkus lalu menggesek ujung hidung dengan siku jari telunjuk. "Kamu tahu aku belum bisa kan?"

Revan memandangi air kolam yang berkelip-kelip karena pantulan cahaya lampu. Di sampingnya, Grace masih diam dan kembali menyesap tehnya. Cukup lama mereka terdiam, hingga Grace kembali buka suara.

"Kamu sebenarnya cinta atau nggak sama Julia?" tanya Grace.

Revan mengangguk. "Dia wanita mandiri dan pekerka keras menurutku."

Grace tersenyum lalu metelakkan cangkir di samping ia duduk. "Aku tahu, tapi menurut kamu Larisa nggak mandiri?"

Revan tidak menjawab. Dia hanya mendengkus menunjukkan bahwa semua tidak mudah jika menyangkut tentang Larisa.

"Ayolah, Re. Apa hanya karena dia memiki mata adikmu lalu kamu membenci dia?" Kedua alis Grace terangkat.

Cukup tahu banyak Grace tentang kehidupan Revan karena memang sudah mengenal sejak kecil. Hanya saja mereka terpisah saat Grace harus ikut orang tuanya ke Singapura saat masih SMP. Namun, seberapa lama mereka sempat terpisah, ternyata hubungan masih erat. Ya, hanya sebatas sahabat semata. Dan lagi Grace sudah menikah dan mempunyai anak.

"Aku masih belum bisa menerima semuanya, Grace," salak Revan. "Dia membuatku terus teringat dengan Sely. Dan ... karena seperti itu, rasanya berat untuk mengakui kalau dia istriku." Suara Revan melambat di bagian akhir kalimat.

"Omong kosong!" sembur Grace tiba-tiba. Grace berdiri lalu bersandar pada tiang pondasi sambil melipat kedua tangan.

Revan meletakkan cangkirnya lalu ikut berdiri. "Apa maksud kamu?"

Grace berdecak lalu mengibas kepala sekilas dengan cepat. "Aku masih bingung sama kamu, Re. Sudah belasan tahun kamu hidup satu rumah dengan Larisa, dan kamu masih dingin padanya. Itu aneh, Re!"

"Yeah, I know!" seru Revan. "But ... aku, aku juga nggah paham, Grace." Revan mengibas tangan seraya membuang napas kasar ke udara.

"So, kamu masih mau lanjut sama Julia?" cibir Grace.

"No! Tentu saja enggak!" tampik Revan lantang.

"Kamu yakin?" Grace menaikkan satu ujung bibirnya. "Kamu mencintai wanita yang salah tapi nggak kunjung kamu lepaskan. Think smart!"

Setelah berkata begitu, Grace membungkuk mersih cangkirnya kemudian meninggalkan Revan.

"Ini nggak mudah, Grace," lirih Revan sembari memejamkan mata.
***

Larisa (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang