Rahasia yang Mulai Terungkap

4 1 0
                                    

Aku bukanlah orang yang pandai menyimpan perasaanku. Terbukti tiga hari sudah aku mendiamkan Haura. Setelah kejadian tiga malam yang lalu, ada rasa yang bergejolak ketika harus berpapasan dengan Haura. Untungnya jadwal mengajarku di sekolah ini dengan Haura bisa terbilang tidak pernah beririsan. Tiga hari yang lalu, dia ikut masuk pagi karena harus menggantikan Pak Yudha yang izin karena sakit. Walaupun begitu, biasanya aku akan lakukan bersapa ria sebelum pergantian jadwal piket waktu siang hari dengan Haura.

Selama tiga hari berturut-turut, aku memilih langsung pulang tanpa menunggu jam solat Zuhur di sekolah. Hal itu aku lakukan supaya tidak bertemu dengan Haura. Sayangnya hari ini takdir tidak berpihak padaku. Haura datang lebih cepat dari biasanya.

"Fa, kamu kenapa, sih? Ada kesibukan apa selama tiga hari ini? Di telpon Ndak pernah di angkat. Biasanya juga kamu solat Zuhur di sekolah." Katanya menghampiriku yang sudah selesai memasukkan beberapa buku paket ke dalam tas ransel.

"Iya, Ra. Beberapa hari terakhir, aku sibuk mengurus beberapa berkas untuk pendirian Rumah Pelangi," kataku tidak berbohong pada Haura.

Untung kemarin memang aku diminta Bang Athmar untuk mengurus beberapa berkas yang dibutuhkan untuk melengkapi pemberkasan untuk Rumah Pelangi yang telah kami dirikan sembilan bulan yang lalu.

"Tapi kamu beda banget, Fa. Sesibuk apapun, kamu pasti akan tetap menerima panggilanku"

Ternyata memang benar, aku tidak begitu pandai menyembunyikan masalahku pada Haura. Terbukti, dia bisa merasakan suka berbeda yang kutunjukkan padanya. Untungnya ponsel yang kupegang bergetar, ada panggilan dari Bang Athmar. Kemungkinan Bang Athmar sudah menunggu di depan sekolah.

"Sudah dulu ya, Ra. Bang Athmar sudah di depan katanya. Ndak enak kalau dia nunggu lama." Aku buru-buru meninggalkan Haura yang masih mengharapkan jawaban atas pertanyaan yang masih belum aku jawab.

"Ntar malam aku keruma kamu ya, Fa." Haura sedikit berteriak ketika aku sudah menjauh dari hadapannya. Aku tetap berlalu tanpa berbalik arah melihatnya.

Bang Athmar ternyata menjemputku bukan menggunakan motor matic kesayangannya, hari ini dia menjutku dengan mobil kantornya. terlihat dari plat yang berwarna merah.

Sudah dua hari aku nebeng di Bang Athmar, karena motorku masih menginap di bengkel. Alhasil, sudah dua hari berturut-turut Bang Athmar menjemputku di jam Istirahat kantornya. Seperti aturan-aturan sebelumnya, setiap aku nebeng sama dia, aku yang akan menunggunya sampai jam kantor membolehkan para karyawan untuk pulang.

"Kok Abang pakai mobil kantor?" tanyaku padanya ketika tubuhku sempurna berada di kursi samping  kemudi yang sudah diduduki Bang Athmar.

"Iya, pak Bos minta untuk diantarkan berkas-berkas di kantor pajak, Dek. Sekalian aja Abang jemput kamu."

Kantor pajak memang tidak terlalu jauh dari sekolahku, tapi dengan Bang Athmar menjemputku menggunakan mobil kantor, otomatis aku akan ikut ke kantornya untuk mengambil motornya Bang Athmar sesuai perjanjian kami karena Bang Athmar jam segini belum waktunya pulang.

"Berarti Hayfa harus ikut balik ke kantor Bang Athmar, dong?" Tanyaku dengan memanyunkan bibirku.

"Iya iyalah, motor Abang kan masih disana,"

Berkunjung ke kantor tempat Bang Athmar kerja adalah sesuatu yang tidak terlalu aku sukai, karena ketika Bang Athmar belum selesai kerja, aku diharuskan untuk menunggu di mushalla kantor. 'Biar bisa
banyak dapat pahala karena tilawah,' katanya setiap aku mengerucutkan mulut saat menolaknya untuk menunggu jam kantornya pulang.

Menunggu di mushalla sambil tilawah, bukanlah hal yang tidak kusukai dari aktivitas menunggu Bang Athmar. Namun yang tidak kusukai adalah, ketika berada di mushalla kantor Bang Athmar, pasti aku akan bertemu dengan pria yang aku perkirakan seumuran dengan Bang Athmar. Orang yang pernah menegurku ketika tertidur di Mushalla tersebut. "Kalau jam kerja, jangan tidur di kantor, Mbak." Katanya waktu itu.

Sepertinya dia mengira bahwa aku adalah karyawan di kantor ini. Aku tidak menjawabnya dengan kata-kata, hanya langsung membereskan tempat tidur dan hanya berani melihat wajah yang tidak bersahabat itu seperkian detik. Pria itu langsung meninggalkan mushalla setelah membangunkanku dari mimpi-mimpi indah yang tercipta.

"Nah, mulai dah. Kebiasaan banget sih, Dek. Apa sih yang kamu pikirkan sampai tidak mendengar Bang Athmar ngomong dari tadi," protes Bang Athmar yang bisa memecahkan balon ingatanku beberapa pekan yang lalu ketika menunggu Bang Athmar di mushalla kantornya.

"Ehhh,,, itu... Bang." aku masih menimbang-menimbang kalimat yang akan aku laporkan kepadanya.

"Masih mikirin si Rasya?"

Pertanyaan Bang Athmar kembali membuka memory tentang Rasya dan Haura yang akan segera menikah.

"Bukan, Bang. Sepertinya Abang benar, aku harus mengubur semua perasaanku terhadap Rasya."

"Nah itu, bagus dong, Dek. Jadi Abang ndk punya hutang lagi menjelaskan perihal ketidaksetujuan Abang," Katanya dengan senyuman terbaiknya.

Dua puluh menit perjalanan menuju kantor Bang Athmar, berhasil membuatku terlelap di dalam mobil.

****

Ternyata tidak seperti biasanya, hari ini Bang Athmar memintaku menunggunya di tempat parkiran, tumben tidak memintaku menunggu di Mushalla. Tidak berselang sepuluh menit, Bang Athmar membawa tas jinjing yang kutahu berisi laptop itu menggunakan tangan kanan. sementara tangan kirinya masih fokus memegang ponsel yang diletakkan di samping telinganya.

"Ayo, Fa. Abang sudah selesai. Kita ke pantai dulu ya, ada yang Abang ingin ceritakan ke kamu." Katanya setelah jarakku dan dia hanya beberapa jengkal.

"Tumben cepat pulang,  ada angin apa Bang Athmar mengajakku ke pantai?" tanyaku keheranan dengan ajakan Bang Athmar.

"Bonus dari pak Bos, Abang cepat dikasih pulang hari ini karena dari tadi pagi Abang bolak balik juga ke kantor pajak, mungkin dia kasihan sama Abang, " katanya enteng dan memberikanku tas jinjing yang berisi laptop itu kepadaku.

"Ayo buruan, katanya masih penasaran sama Rasya." sambungnya lagi ketika aku belum juga naik ke atas kendaraan yang telah dinyalakannya.

"iya.... ya," kataku langsung menaiki kendaraan tersebut.

*****

"Abang tidak mau melihat kamu menjadi korban Rasya selanjutnya, Fa. Cukup sudah adik sahabat Abang menjadi korbannya." Bang Athmar memulai membuka percakapan setelah dua buah es kelapa muda tersaji pada meja pinggir pantai yang tempat kami pesan beberapa menit lalu.

"Korban apaan sih. Bang?" tanyaku penasaran atas muqoddimah yang diberikannya barusan.

Bang Athmar menceritakan panjang lebar tentang korban yang dimaksud Bang Athmar, sayangnya  dia tidak mau menyebut nama
korban tersebut. Ternyata karena kondisi adik dari sahabatnya hamil karena Rasya, dan Rasya tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya sehingga temannya Bang Athmar memilih pindah keluar kota untuk menyembunyikan aib dari adiknya, dari sanalah Bang Athmar sangat tidak setuju dengan perasaanku terhadap Rasya.

"Kenapa Bang Athmar baru cerita sekarang, Bang? Setidaknya, jika Bang Athmar menceritakan nya dari dulu, Hayfa tidak akan bersuudzhoon sama Abang dan tidak akan menyimpan perasaan yang mendalam untuknya," kataku sedikit malu dengan Bang Athmar.

"Abang mau ngetes aja, apa iya kamu lebih mementingkan ego atau permintaan Abang. Ternyata,,," dia sengaja menggantung kalimatnya yang di iringi dengan kerlipan mata jahilnya.

"Ternyata, aku lebih mementingkan ego, Kak. Maafkan Hayfa ya. Hayfa janji, mulai hari ini akan melupakan Rasya dan Hayfa juga janji tidak akan menjodohkan Haura dengan Bang Athmar lagi," kataku mengiba karena merasa sangat bersalah pada Bang Athmar.

"Dan berita bahagia yang lain, Temannya Abang  sudah di sini sekarang. Rencananya Abang mau jodohin kamu sama dia,  gimana?" katanya dengan sebelah matanya dikedipkan.

House Of HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang