Selang beberapa menit, aku kembali melihat jalanan, tepatnya melihat sebuah cafe yang tepat bersebelahan dengan apotek tempatku menunggu. Bukan cafe itu yang membuatku fokus melihat kedepan, tetapi penampakan dua orang yang baru keluar dari cafe tersebut. Aku pura-pura serius membaca novel yang baru kubeli, tepatnya menutup sebagian wajahku dengan novel yang sedang kupegang supaya dua orang tersebut tidak melihat keberadaan ku yang sedang duduk di depan apotek.
"Ayo, Dek. Abang sudah selesai. Bunda sama Ayah sudah nunggu katanya di rumah."
Aku mengikuti langkah Bang Athmar menuju parkiran, mode diam masih kupakai saat ini. Melihat dua orang yang sedang jalan berduaan keluar dari cafe barusan membuat moodku tambah tidak bersahabat.
"Kamu masih marah sama Abang, Fa?"
Suara Bang Athmar terdengar jelas walaupun kami masih di jalan raya, karena dia melajukan motornya dengan kecepatan di bawah rata-rata, mungkin untuk menghindari udara malam yang bisa menimbulkan masuk angin.
"Suatu saat, kamu pasti tahu alasan Abang tidak setuju kalau kamu sama Rasya. Ini semua demi kebaikan kamu, Fa."
Aku masih diam, sepertinya beberapa memori hari ini masih manari-nari dalam pikiranku. Dari permintaan Shafa, penolakan Bang Athmar dan pemandangan di depan apotek beberapa menit yang lalu.
Bang Athmar memasukkan motornya ke dalam garasi sedangkan aku langsung memilih masuk. Biasanya aku akan menunggu dia sampai selesai mengunci pintu garasi dan gerbang. Hatiku masih belum ingin berdamai dengannya, setidaknya untuk malam ini, entahlah besok, semoga gelapnya malam bisa menghapus sisa kejadian malam ini.
Benar kata Bang Athmar, Bunda dan Ayah ternyata sudah pulang. Sayup-sayup terdengar suara gemericik air dan suara piring di dalam dapur.
"Bunda, Hayfa kangen," kataku memeluk cinta pertama setelah cintaku pada Allah dan rasulku, Bunda baru menyelesaikan aktivitasnya dengan beberapa peralatan makan yang sudah bersih di samping wastafel.
"Kangen Bunda atau kangen masakan Bunda?" Bunda masih membelakangiku dan kemudian mengelap tangannya yang masih basah pada kain lap yang menggantung di atas wastafel.
"Kangen dua-duanya dong, Bun. Selama Bunda pergi, kalau ndak telur ceplok, mie rebus, pasti pesan makanan online." Aku merenggangkan pelukanku ketika bunda berbalik dan melihat ke arahku.
"Katanya mau nikah, masak aja belum bisa."
Tiba-tiba Bang Athmar sudah berada di belakangku. Dia langsung menggulung jarak dengan bunda, menyalami punggung tangannya. Aku diam tidak menanggapi kalimat Bang Athmar.
"Kalian lagi berantem, ya? Tumben ndak ada perlawanan dari kamu, Fa." Bunda sepertinya paham dengan kejanggalan yang kuciptakan.
"Hayfa ke kamar dulu ya, Bun. Besok masuk pagi di sekolah," kataku mengelak untuk menjawab pertanyaan Bunda. Sempat aku melihat Bang Athmar mengangkat bahu ketika ditanya Bunda dan melirik sedikit padaku.
Tanpa sepengetahuanku, ternyata Bunda mengikuti langkahku menuju kamar. Bunda ikut duduk di tepi ranjang ketika pintu kamar sempurna tertutup.
"Kamu ada masalah apa sama Abang kamu, Fa?"
"Ndak ada, Bun. Hayfa hanya sedikit capek karena jadwal hari ini lumayan padat Bun. Pagi sampai siang ngajar di SMP, siangnya makan sama Bang Athmar, sorenya ngajar di Shafa, terus beli buku, makan di taman dan terakhir ke apotek," laporku pada Bunda untuk menghilangkan kecurigaannya.
"Hayfa, sayang. Bunda paham dengan sikap kamu kalau lagi punya masalah, termasuk jika marah dengan seseorang. Kamu tidak bisa berbohong dengan Bunda, sayang. Kamu sudah dewasa, Fa. Sebaiknya kamu bisa mengomunikasikannya dengan Bang Athmar. Bunda yakin, maksud Bang Athmar pasti baik, sayang."
Ternyata aku tidak pernah pandai menyimpan rahasia di depan Bunda. Termasuk rahasia tentang rasa yang masih menyimpan nama seorang Rasya di dalam hatiku. Untungnya Bunda belum pernah melihat Rasya, sehingga beliau hanya tau orangnya dari setiap cerita yang kucurhatkan padanya, tentu curhat tanpa diketahui Ayah dan Bang Athmar.
"Bang Athmar sampai sekarang tidak setuju kalau Hayfa bersama Rasya, Bun. Katanya, dia minta Hayfa nikah, giliran Hayfa siap dan sudah menunjuk orang ya, Bang Athmar sampai sekarang belum memberikan restu pada Hayfa, Bun." Akhirnya, seperti biasa, aku tidak pernah menyimpan rahasia lama di depan Bunda.
Bunda tersenyum. Memberikan banyak nasihat sebelum meninggalkan kamarku, mengingatkan kembali bahwa Bang Athmar sangat menyayangiku. Bunda menyimpulkan bahwa Bang Athmar mempunyai alasan yang mendasar kenapa dia belum memberikan lampu hijau untukku dan Rasya.
***
"Pagi, Fa. Wajah kamu lupa disetrika ya tadi sebelum berangkat? Masih pagi, Fa. Udah cemberut aja tuh wajah."
Haura sudah duduk di sebuah kursi yang bersebelahan denganku menyapa dengan ekspresi yang sangat berbanding seratus delapan puluh derajat dengan perasaanku pagi ini.
"Assalamualaikum," kataku dengan memaksakan sebuah senyum untuknya. Beberapa buku paket yang kutenteng dari tadi telah berada di atas meja yang bertaplak bunga-bunga berwarna biru di depanku.
"Kamu bahagia banget, Ra. Kayaknya baru dapat undian seratus juta, nih." Sengaja aku menekankan kata bahagia untuk mendengar pengakuannya.
Aku masih merapikan beberapa lembaran ulangan yang akan kubagikan pada murid-muridku pagi ini. Selang beberapa menit tak ada suara dari Haura, aku kembali memastikan apa yang kulihat tadi malam memang benar adalah dia.
"Oh, tadi malam. Aku diajak kencan sama pacarku Fa di cafe dekat taman kota."
Sudah kuduga, dia pasti akan menceritakan kejadian semalam. Tetapi aku tidak yakin kalau dia akan jujur kepadaku tentang orang yang berkencan dengannya semalam.
"Pacar baru? Dalam semester ini aja, kamu sudah berapa kali ganti pacar, sih, Ra?" Tanyaku sedikit mengintrogasi.
"Sebenarnya dia pacarku yang paling kusayang Ra. Kami jadian malahan setahun yang lalu. Iya begitulah, aku kan ndak tahan LDR-an, Fa. Jadi untuk mengusir kegalauan ditinggal sama dia, ya aku cari pengganti lah kemarin. Tapi percaya, deh. semuanya sudah putus, kecuali dia." katanya menjawab dengan wajah berbinar-binar.
Aku sedikit menarik napas untuk memberikan oksigen lebih leluasa masuk kedalam paru-paruku. Mendengar pengakuan Haura tentang hubungannya setahun yang lalu sedikit membuatku tegang, namun aku berhasil menyembunyikan keteganganku di depannya. Aku masih berpura-pura belum tau siapa orang yang dimaksud Haura.
"Cukup sudah mempermainkan perasaan orang, Ra. Seandainya dia tahu kamu selingkuh, apa iya dia akan tetap bersamamu?"
"Iya jangan sampai dia tahu lah, Fa. Aku mohon, kalau kamu ketemu dia, jangan kasih tau ya," katanya merapalkan kedua tangannya di depan dada tanda memohon.
"Lebih baik kamu jujur aja, daripada kamu tahu dari orang lain, pasti akan lebih menyakitkan. Dibohongi itu tidak enak, Ra!"
Aku sengaja memberikan penekanan pada kalimat terakhir. Tapi entahlah, kenapa Haura masih senyum-senyum sendiri tanpa merasa bersalah telah membohongiku.
"Oke, Fa. Terima kasih nasihatnya, aku akan mencoba jujur padanya. Dia pasti akan menerima alasanku."
"Baguslah kalau begitu, semoga kamu dengan dia bisa bersatu ke pelaminan, ya.
"Aamiin, rencananya kami akan menikah dalam waktu dekat, Fa."
Ada rasa sakit ketika mendengar kalimat Haura barusan. Itu artinya Haura tidak akan bisa menjadi saudara iparku. Bukan hanya itu yang membuat dadaku sedikit sesak, ada rasa yang entah kenapa aku sangat membenci kalimat yang terkahir diucapkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
House Of Hope
Fiksi RemajaRumah adalah tempat tinggal ternyaman bagi semua orang, namun bagaimana seandainya di dalam rumah yang menjadi tempat tinggal kita berubah menjadi sebuah penjara karena kehadiran orang yang tidak pernah diharapkan kehadirannya.