Aku sudah tidak mendengar lagi kabar tentang Haura. Sudah tiga hari aku tidak bertukar kabar lagi dengannya, malu rasanya aku menanyakan tentang keadaannya. Bisa jadi karena laporanku malam itu, pernikahannya yang sangat diimpikan menjadi batal.
Siang ini aku kembali mengajar Syafa. Bundanya sudah siuman katanya dua hari yang lalu, artinya sebentar lagi Bundanya bisa pulang membersamainya untuk belajar seperti sebelum Bundanya koma.
"Mbak, karena besok tanggal merah, Dahaga izin ya. Ayah mau ajak Syafa jemput Kakek dan nenek di bandara."
"Kakek dan neneknya sudah mau pulang, sayang?"
"Iya, Mbak. Karena kakek dan nenek sudah tidak sabar lagi pengen lihat bunda," katanya dengan wajah yang berbinar.
"Kalau Mbak Hayfa ndk ada kegiatan, bisa kok ikut besok. Sekalian Syafa kenalin sama kakaek nenek"
"Sayangnya, Mbak sudah ada janji sama anak-anak rumah pelangi. Lain kali aja ya mbak ketemu kakek dan neneknya Shafa."
Aku memang sudah memiliki janji dengan anak-anak rumah pelangi untuk mengajak mereka refreshing. Untungnya aku sudah membuat janji dengan mereka, kalau tidak bisa-bisa aku dipaksa ikut oleh Shafa.
Satu setengah jam telah berlalu, saatnya aku berpamitan pada Shafa. Tinggal dua langkah menuju pintu utama, aku mendengar suara seseorang mengucapkan salam. Ternyata seseorang pria yang kutaksir usianya seperti Bang Athmar.
"Wa'alaikumussalam," jawabku bersamaan dengan Shafa yang langsung memeluk pria itu.
"Tumben Ayah pulang cepat," katanya masih menggandeng manja tangan kanan pria itu.
Aku masih berdiri mematung ditempatku tanpa beranjak sedikit pun. Bagaimana mungkin bisa beranjak, mau keluar langkahku terhenti karena pria tampan itu masih berdiri di depan pintu.
"Mbak Hayfa, ya?" Tanyanya ramah padaku.
Aku yang sedari tadi sudah bisa mengontrol diriku supaya tidak menatapnya hanya bisa mengangguk. 'Ternyata tampan. Ayahnya Shafa masih sangat muda' tentu saja kalimat itu hanya terucap dalam hatiku.
"Kenalin, Mbak. Ayahnya Shafa." Shafa yang sudah berjalan lebih dekat kearahku mengambil tanganku untuk diajak berjabat tangan dengan ayahnya. Sepertinya Shafa kecewa karena tidak menyambut tangannya, biarkanlah ayahnya yang akan menjelaskannya nanti, atau aku akan menjelaskan tentang interaksi lawan jenis pada Shafa suatu hari nanti.
Aku tentu saja menolaknya, aku mendekatkan kedua tanganku di depan dada, pria itupun melakukan hal yang sama. Pandangan kami hanya bertemu pada garis yang sejajar dalam waktu beberapa detik, selebihnya kami memilih menunduk.
"Kalau begitu, Mbak pamit dulu ya, Sayang, Assalamualaikum," kataku berpamitan kepada Shafa. Tentu saja aku melakukannya untuk membunuh rasa kecanggunganku. Pria itu langsung berjalan ke samping untuk memberikanku jalan lewat.
"Hati-hati, Mbak Hayfa," katanya setelah melihatku berhasil keluar dari pintu rumah tersebut.
Di depan gerbang, Pak Joko sudah setia membukakan gerbang untuk jalanku keluar dari halaman besar rumah ini.
"Cie.... Pucuk dicinta ulam pun tiba. Akhirnya, Mbak Hayfa ketemu juga sama Tuan Muda."
Ternyata Pak Joko sudah bersiap-siap berdiri di samping gerbang hanya untuk mengucapkan kalimat barusan padaku.
"Ndak baik Pak, menjodohkan orang kayak gitu," jawabku yang baru saja menghidupkan kendaraan yang kutitipkan di samping posko Pak Joko.
"Memangnya Mbak Hayfa Ndak tertarik sama Tuan Muda?" Katanya masih bertanya sebelum menutup gerbang.
KAMU SEDANG MEMBACA
House Of Hope
Teen FictionRumah adalah tempat tinggal ternyaman bagi semua orang, namun bagaimana seandainya di dalam rumah yang menjadi tempat tinggal kita berubah menjadi sebuah penjara karena kehadiran orang yang tidak pernah diharapkan kehadirannya.