Bumerang

5 2 5
                                    


"Abang punya sahabat, dia soleh  Dek. Orangnya humoris, penghafal Qur'an, dan dia sedang mencari pendamping hidup. Mau ta'aruf ndak sama dia, nanti Bang Athmar yang akan jadi perantara kalian, gimana?" Tanyanya dengan menggerakkan alisnya naik turun sambil memamerkan gigi ginsulnya, membuat dirinya menjadi tambah tampan.

'Ini mah senjata makan tuan namanya,' batinku.

"Tuh, kan. Giliran dia yang ditawarkan, malah diam membisu. Makanya, kalau nawarin orang, ngaca dulu, Adek cantik." Katanya sambil mengacak rambutku yang tergerai tanpa mengenakan jilbab.

"Bodo amat, Hayfa mau istirahat dulu di kamar. Nanti sore mau ngeles ke rumah Shafa, Abang istikharahkan saja Haura ya, siapa tau berjodoh" Kataku tak mau kalah, kemudian aku meninggalkan Bang Athmar di dapur sendirian.

Lama-lama berada di dekat  Bang Athmar yang tidak peka akan kebutuhanku untuk memiliki saudara cewek memang membuatku jengah. Terlebih ketika dia mengirimkan bumerang itu kepadaku, sok-sokan niat untuk menjadi perantara lagi, aku kan belum siap nikah, eits sebenarnya sudah siap sih, tapi karena masih mengharapkan seseorang yang pernah hadir di masa lalu membuatku susah membuka kembali hatiku.

Terlahir dari keluarga yang lebih paham sedikit tentang agama, membuatku harus memutuskan hubungan dengan seseorang yang selalu setia menemaniku belajar di perpustakaan saat masih berseragam abu-abu dulu. Hubunganku dengannya diketahui oleh Bang Athmar, jelas saja Bang Athmar memarahiku dan mengancam untuk melaporkannya ke Ayah jika aku tidak memutuskan hubungan tersebut. Karena takut Bang Athmar akan membocorkannya ke Ayah, mau tidak mau aku memutuskan hubungan tersebut.

Bang Athmar takut kejadian adik sahabatnya yang mengalami sesuatu yang membuat malu keluarga bisa terjadi padaku juga. Dia sangat ketat menjagaku setelah mendapatkan cerita dari sahabatnya itu. Ada rasa lelah dibuntuti kemana pun pergi, termasuk belajar kelompok di rumah Nindia pada masa putih abu-abu dulu.

"Katanya mau istirahat, kok malah melamun?" Tiba-tiba Bang Athmar masuk tanpa mengetuk pintu kamarku, memecah balon ingatanku tentang masa-masa saat dia selalu mengikuti kemanapun aku pergi.

"Ihhh, Abang, sudah berapa kali Hayfa harus mengingatkan sama Abang, sih. Kalau masuk, ketuk pintu dulu. Ini kamar cewek, Bang." Selalu aku mengingatkan hal ini ketika Bang Athmar masuk ke dalam kamarku.

"Abang sudah ketuk pintu kali, kamu aja yang terlalu fokus melamun. Kamu lagi mikirin apa, Sih? Jangan bilang lagi mikirin mantan,"

"Tuh kan mulai, jangan suudzon. Memangnya selain mantan, tidak ada hal penting yang harus Hayfa pikirin?" Jawabku mengelak, memang ya Abangku ini kayak Cenayang gitu, bisa membaca pikiran.

"Terus kalau bukan mantan, kamu mikirin apa coba? Atau mikirin tawaran Abang yang barusan? Sahabat Abang sudah mapan Lo dek, mending kamu sama dia aja. Sudah alim, punya pekerjaan, dan Insya Allah bertanggung jawab," Katanya setelah berhasil duduk di ranjang bersebelahan denganku, kali ini tampak lebih serius daripada waktu di dapur.

"Sudahlah, Bang, jangan maksain Hayfa terus. Lagian memangnya Abang mau punya ipar yang sekaligus ngerangkap jadi sahabatnya Abang?" Aku membuat pertanyaan yang bisa mengecoh Bang Athmar supaya dia menarik permintaannya kepadaku untuk mau menerima tawarannya.

"Kalau dia yang jadi ipar Abang, sih, senangnya dalam hati pastinya. Sudah-sudah, kamu istirahat saja, akhir pekan kita bahas ini lagi..."

Ternyata dugaanku meleset jauh. Dia malah senang ternyata memiliki ipar yang sekaligus merangkap jadi sahabat, sama halnya denganku.

"Abang ndak mau lihat kamu ngantuk di rumah orang waktu ngeles, bisa-bisa kamu terhitung makan gaji buta, lho." Nasihat Bang Athmar sebelum meninggalkan ruangan yang bercat biru muda ini.

Selang beberapa menit, Bang Athmar kembali lagi masuk ke kamarku dengan mengetuk pintu tentunya sebelum masuk. Takut mendapatkan ceramah tujuh detik dariku seperti saat pertama masuk.

"Katanya nyuruh aku istirahat. Kalau Abang mondar mandir terus kayak setrikaan, kapan Hayfa istirahat, Bang," protesku setelah dia masuk dan mengambil sebuah buku dari meja belajarku.

"Abang lupa ambil ini barusan, gara-gara kamu yang ngajak Abang bahas perjodohan, sih. Ingat ya, kalau kamu masih bahas-bahas jodoh di depan Abang, Abang akan minta kamu dinikahin sama sahabat Abang ke Ayah," Ancamnya setelah mengambil buku di atas meja belajarku.

"Iya bawel, ndk lagi deh. Sekarang buruan keluar, aku mau istirahat..."

"Oh ya, jangan lupa tutup pintu," sambungku lagi.

"Iya adik manis, yang sebentar lagi mau nikah sama sahabat Abang," Katanya sedikit mengolok.

"Abang!" Teriakku sambil melemparnya dengan bantal. Bang Athmar sudah berlari kecil mendengarkan teriakanku.

******

"Jadi, nih mau dianter Abang? Mumpung Abang lewat rumah tempat kamu les privat," Kata Abang Athmar yang sudah siap dengan jaket levis andalannya, membuat ketampanannya naik satu level.

"Iya, tunggu sebentar, Bang. Hayfa masih menggunakan kaos kaki," jawabku sedikit berteriak karena masih di dalam kamar.

"Nanti Bang Athmar jemputnya jangan telat, ya. Ndak enak nunggu lama di rumah orang," kataku mendekte Bang Athmar setelah berada di atas motor matic kesayangannya.

"Iya, Hayfa sayang. Oh ya, ingat dua hari lagi jadwal kamu ngajar di rumah Jendela ilmu.  Pekan lalu mereka nyariin kamu." Suara Bang Athmar samar-samar terdengar karena berlomba dengan suara kendaraan yang lain di jalan.

"Insya Allah, pekan ini Hayfa hadir, Bang," kataku sedikit berteriak supaya suaraku bisa terdengar jelas olehnya.

Bang Athmar mengingatkanku kembali tentang jadwal pekanan untuk mengajar di jendela ilmu, komunitas yang kubuat berdua dengan Bang Athmar untuk anak-anak di kampung yang bersebelahan dengan komplek tempatku tinggal. Anak-anak yang selalu bersemangat ketika melihat kehadiranku dan Bang Athmar di bangunan semi permanen yang telah dibangun beberapa bulan lalu dari dana proposal yang telah kami ajukan di pemerintahan daerah.

Mereka adalah salah satu alasanku untuk menghasilkan cuan yang lebih banyak. Bisa membelikan mereka perlengkapan belajar yang memadai itulah tujuanku dengan bang Athmar, karena rata-rata penghasilan orang tua mereka dibilang di bawah rata-rata hanya cukup untuk memenuhi biaya makan sehari-hari, apalagi dengan musim pandemi yang cukup lama sehingga mereka banyak yang mendapat Phk dari beberapa tempat mereka bekerja.

Kami berdua memiliki cita-cita untuk membuat mereka bisa menimba ilmu seperti yang pernah kami rasakan dulu, karena di musim pandemi ini, paling tidak mereka hanya mendapatkan kurang dari lima puluh persen pelajaran di sekolah, sisanya Aku dan Bang Athmar yang akan mengajarkannya di jendela ilmu.

"Bang, sepulang dari tempat les, kita mampir di toko buku ya. Kebetulan hari ini Hayfa gajian, pasti anak-anak senang kalau ada buku baru," kataku sebelum turun dari motor Bang Athmar.

"Oke, Abang juga kebetulan dapat bantuan kemaren dari teman-teman kantor."

Setelah turun dari motor, aku menyalami punggung tangan Bang Athmar, dia pun membalas dengan mengusap lembut kepalaku.

"Hati-hati ya, Bang," kataku melambaikan tangan padanya.

Sebuah mobil yang keluar dari rumah Shafana, murid les private ku hari ini. Sepertinya pengemudi mobil itu sempat melihatku bercengkrama dengan Bang Athmar sebelum memasuki rumah Shafana. Mobil itu belok kanan, tidak searah dengan jalur yang dilalui Bang Athmar.

Aku melangkahkan kaki dengan santai ketika Pak Joko, satpam rumah Shafana menyapaku.

"Eh, Mbak Hayfa sudah datang. Mbak telat  beberapa detik saja, coba lebih cepat datang, bisa ketemu sama tuan muda," katanya menggodaku.

"Belum jodoh kali, Pak. Eits, tujuanku kesini kan untuk ngajarin Shafa, Pak. Bukan ketemu tuan muda," kataku sambil sedikit menyunggingkan senyuman yang diikuti tawa renyah Pak Joko.

"Semoga jodoh ya Mbak Haifa sama tuan muda. Cocok deh kalau memang Tuan muda nikah sama Mbak Haifa yang cantik, Solehah dan pintar lagi terus tuan mudanya ganteng, tampan, Soleh pula." Pak Joko ternyata melanjutkan godaannya padaku.

'Iya kali, aku nikah sama suami orang, sudah punya anak lagi,' Monologku dalam hati, yang jelas aku menganggap Pak Joko hanya memberikan guyonan untuk mengakrabkan diri padaku.

House Of HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang