Sudah Siap Nikah?

0 1 0
                                    

"Bang, ini undangan pernikahan dari Hayfa. Abang, Ayah dan Bunda diundang semua."

Aku memberikan sebuah undangan yang berwarna emas kepada Bang Athmar yang sudah duduk samping pedagang es kelapa depan sekolahku. Aku ikut duduk di sampingnya.

"Saya satu ya, Mas. Biasa, ndk pakai susu dan ndk pakai sirup." Aku ikut memesan es kelapa muda, siang ini memang terasa sangat terik. Tadi di kantin aku hanya minum air putih dingin saja, es kelapa muda depan sekolah memang terlihat sangat menggoda di jam-jam siang seperti ini.

"Bu guru Hayfa kapan terus nyusul?" Mas Edi yang sudah selesai membuatkan minuman yang kupesan langsung menanyakan kalimat itu.

"Makasih, Mas." Jawabku setelah memegang gelas yang diberikan Mas Edi.

"Tuh ditanya sama Masnya, kamu kapan nikah?"

Aku sengaja tidak menjawab pertanyaan Mas Edi, tapi Bang Athmar menyambung pertanyaan tersebut.

"Tunggu Bang Athmar nikah dulu, Mas."

"Lebih baik cewek itu disegerakan, Bu guru. Kalau Abangnya Bu guru mah bebas, karena dia cowok tidak terlalu masalah dengan usia. La ... kalau cewek, udah usia tiga puluh tahun lebih susah dapat keturunan, Bu Guru."

Aku sudah terlalu sering mendengar bahasan seperti ini, ujung-ujungnya yang disalahin adalah usia. Padahal kalau dipikir-pikir, menikah muda juga belum tentu akan cepat diberikan amanah berupa keturunan oleh Allah. Memang sih, dalam dunia kesehatan memang sangat rentang ketika perempuan melahirkan dengan usia diatas tiga puluh tahunan. Tapi, kembali lagi kalau memang Allah berkehendak, tidak ada yang tidak mungkin. Termasuk tentang jodoh.

"Insya Allah Hayfa akan segera nikah kok, Mas. Tenang aja, nanti kalau Hayfa nikah, kita pesan es kelapa Mas Edi untuk minuman para tamu undangan." Bang Athmar mungkin sengaja menjawab Mas Edi seperti itu untuk menghentikan pembahasan tentang pernikahan yang sering membuat moodku tidak baik. Sayangya, moodku sering tidak baik ketika membahas pernikahan dan meminta persetujuan Bang Athmar untuk menerima Kak Rasya sebagai iparnya. Sekarang, sepertinya aku harus mulai membuka hati untuk orang lain.

Air kelapa yang ada di kelasku sudah tandas seperkian menit. Bang Athmar kemudian pamit pada Mas Edi dan langsung mengajakku pulang.

"Ngomong-ngomong,  beneran Haura nikah sama Rasya, Fa?"

"Menurut Abang?"

"Dia ditanya, malah nanya balik. Maksudnya, kan Haura tahu si Rasya seperti apa orangnya. Besar hati banget ya dia menerima Rasya,"

"Awalnya aku mikir seperti itu, Bang. Tapi setelah tahu calonnya Haura bukan Kak Rasya, jadinya aku sedikit lega."

"Maksud kamu, Rasya itu bukan pacarnya Haura? Bukannya kamu pernah melihat mereka di depan cafe itu?"

"Kak Rasya itu sepupunya Haura, Bang. Nah kebetulan kita lagi bahas dia, kab kata Bang Athmar, temannya Bang Athmar itu sudah balik kesini. Apa gadis yang dihamili Kak Rasya ikut juga sama teman Abang itu?"

"Iya, terus...?"

"Seandainya Kak Rasya mau memperbaiki hubungannya, misal nih, Kak Rasya mau menikahi gadis itu, apa temannya Bang Athmar mau menerima gitu adiknya menikah sama orang yang pernah buat adiknya hamil?"

Bang Athmar terdiam mendengar pertanyaanku. Matanya masih fokus ke depan. Pertanyaanku mungkin salah menurut Bang Athmar, namun aku memang butuh jawaban itu. Bukan karena aku mau masih berharap sama Kak Rasya, namun ini tentu pertanyaan yang diajukan Haura padaku di kantin tadi.

"Sepertinya teman Abang itu sudah trauma jika bertemu dengan Rasya, Dek. Dulu saja, dia hampir mau membunuh Rasya, untung saja dia masih ingat yang namanya dosa. Tapi mungkin itu dulu ketika hatinya sedang sangat kalut menerima keadaan bahwa adiknya hamil. Besok dia ngajak Kakak ketemuan di cafe dekat kantor Kakak, kamu mau ikut? Sekalian kenalan, siapa tahu jodoh."

"Tuh, kannnn.... ujung-ujungnya jodoh," kataku menghembuskan nafas dan langsung bersandar di sandaran kursi mobil.

"Ayahnya Shafa ternyata ganteng, Bang. Kemungkinan dia juga Hanif. Waktu Shafa meraih tangan Hayfa untuk salaman, dia langsung menangkupkan kedua tangannya di depan dada, Bang. Dia juga menjaga pandangan."

"Maksud kamu, kamu mau nikah sama dia?" Bang Athmar meminggirkan mobilnya, sepertinya kalimat panjangku barusan mengganggu fokusnya meneyetir.

"Seandainya dia belum nikah, Hayfa mau sih Bang, sayangnya dia masih punya istri punya anak lagi,"

"Istighfar, Fa. Ndak, pokoknya Abang adalah orang yang pertama tidak setuju kalau kamu nikah sama dia, masih punya istri sama anak lagi satu. Mau kamu dijadikan istri kedua?"

"Iya enggaklah, Bang. Tadi kan Hayfa bilang, kalau seandainya dia belum nikah, Hayfa mau, kalau sekarang ya beda cerita."

"Abang ndk mau tahu, pokoknya besok kamu ikut ketemu sama temannya Abang ya. Lama-lama menunggu kamu belum nikah, Abang yang tidak tenang." Katanya yang telah melajukan kembali mobil yang kami tumpangi.

"Besok kamu ndk usah bawa motor ya, bee angkatnya sama Abang, pulangnya pakai tadi online dari sekolah menuju kantor Abang."

Aku hanya terdiam mendengar Bang Athmar. Bisa-bisanya dia seperti memaksaku untuk menerima temannya menjadi pasanganku.

*****

"Tok...tokk...tok.."

"Fa, Bunda boleh masuk?" Terdengar suara bunda yang mengetuk pintu di depan kamarku.

Aku langsung berdiri dan membuka kamar yang sedari tadi ku kunci, biar lebih aman tanpa harus bertengkar dengan Bang Athmar yang kadang masuk tanpa mengetuk pintu.

"Fa, bener kamu sudah siap nikah?" Bunda ya g sudah duduk di tepi ranjang langsung mengajukan pertanyaan yang membuatku bingung untuk menjawabnya.

"Bunda dan Ayah memberikan keputusannya sama kamu, Nak. Kata Athmar, Rifqi orangnya baik. Dia Soleh, solat lima waktu selalu disempatkan ke masjid. Penyayang juga sama keluarga, buktinya kamu tahu sendiri tentang bagaimana dia menyayangi adiknya. Kalau ayah sama Bunda, sudah setuju seandainya kamu memilih dia. Tapi kami kembalikan lagi pada kamu, Nak. Apakah kamu mau menerima Rifqi?"

Aku hanya mendengar kalimat panjang Bunda tanpa mengiyakan atau menolak. Bang Athmar ternyata telah melangkah terlalu jauh. Seingatku, waktu pulang tadi sore, tidak pernah aku mengatakan iya perihal perjodohan yang dia tawarkan padaku.

"Kamu butuh solat istikharah untuk menentukan yang terbaik menurut Allah, Nak."

"Bunda, apalagi yang diceritakan Bang Athmar pada Bunda? Hayfa tidak pernah sama sekali mengiyakan tawarannya Bang Athmar pada Hayfa."

"Bang Athmar hanya cerita terkait Rifqi yang ingin dijodohkan sama kamu, Fa. Keputusan tetap ada di tangan kamu, sayang.

Tanganku sudah beralih keatas pangkuan Bunda dan kemudian tanganku tergenggam lembut oleh Bunda.

****

"Fa, bagaimana hasil istikharahnya tadi malam." Bang Athmar menggodaku ketika sarapan, tentu Ayah dan Bunda sudah paham maksud Bang Athmar.

"Mungkin Rifqi yang diajak ke sini, Mar." Kata bunda menimpali.

Lama-lama diruang makan dengan pembahasan seperti ini membuatku menjadi ingin cepat-cepat menyelesaikan sarapanku, sayangnya hari ini aku nebeng di Bang Athmar, mau tidak mau aku harus standby disini dan menunggu sampai dia benar-benar siap berangkat ke kantor.

Seusai mengajar, aku memesan taksi online menuju cafe yang dekat dengan kantor Bang Athmar. Cafe ini lumayan rame pengunjungnya, terlihat dari banyaknya motor bahkan mobil yang terparkir di halaman caffe ini. Pandanganku tertuju pada sebuah mobil yang sangat tidak asing menurut penglihatanku.

House Of HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang