"Semoga jodoh, Ya Mbak Haifa sama tuan muda. Cocok deh kalau memang Tuan muda nikah sama Mbak Haifa yang cantik, Solehah dan pintar lagi." Pak Joko ternyata melanjutkan godaannya padaku.
'Iya kali, aku nikah sama suami orang, sudah punya anak lagi,' Monologgu dalam hati, yang jelas aku menganggap Pak Joko hanya memberikan guyonan untuk mengakrabkan diri padaku.
"Kalau gitu, saya masuk dulu ya, Pak. Takut Shafa menunggu terlalu lama." Aku berpamitan dengan sopan pada Pak Joko, walaupun dia satpam, dia lebih tua dariku dan harus aku hormati.
"Assalamualaikum,"
Salamku langsung terjawab oleh suara imut milik Hayfa yang sudah menunggu di ruang tamu, tempat kami biasa menghabiskan waktu untuk menyelesaikan beberapa tugas Shafa. Kami memilih duduk lesehan dengan beralas karpet tebal di sekitar sofa merah dalam ruangan ini. Terkadang Shafa juga memilih kamarnya sebagai tempat kami menghabiskan waktu satu jam setengah untuk membantunya menjelaskan materi yang belum atau yang akan dia pelajari di sekolahnya, tergantung moodnya memilih ruangan mana.
"Bagaimana kabarnya, Sayang?" Tanyaku sebelum memulai pembelajaran, hal yang wajib kutanyakan pada siswa-siswaku sebelum memulai pembelajaran.
"Alhamdulillah, baik Mbak. Eh iya, Mbak telat beberapa menit, coba Mbak datang lebih cepat tadi, pasti ketemu Ayah."
"Oh iya, sayang sekali ya. Ngomong-ngomong, Bunda kamu bagaimana keadaannya?" Tanyaku mengalihkan topik tentang tuan muda yang dipanggil Ayah oleh Shafa.
Selama aku ngajar di sini, aku belum pernah ketemu langsung dengan Ayah ataupun Bundanya Shafa. Kami bertukar informasi tentang Shafa hanya melalui via aplikasi hijau yang bergambar telepon. Jangankan melihat wajah Ayahnya, foto profil Ayahnya saja terpampang wajahnya Shafa, aku mengenali Ayah dan bundanya melalui curhatan Shafa setelah selesai belajar, sayangnya melihat fisik mereka belum pernah sama sekali.
"Bunda masih belum ada perubahan, Mbak. Jadinya Ayah bolak-balik ke rumah sakit kalau sudah pulang kerja untuk nemenin Bunda. Aku jadinya sering ditinggal sendiri di rumah bersama bi Ijah, kakek dan nenek masih di luar negeri, katanya bulan depan mereka pulang." Kata gadis kecil yang sudah menjadi muridku baru tiga bulan ini.
Shafa memiliki Bunda yang kutahu sedang dirawat di rumah sakit karena kecelakaan dan koma selama tiga bulan terakhir. Walaupun baru mengajar Shafa tiga bulan, aku sudah mulai merasa dekat dengannya, apalagi dia selalu curhat tentang Bunda dan Ayahnya di sela-sela kegiatan belajar mengajar setiap sore seperti ini. Sungguh keluarga yang sangat harmonis menurutku, sungguh beruntung bundanya Shafa memiliki suami seperti ayahnya Shafa.
"Mbak, Tugas Shafa hari ini banyak banget," katanya berhasil memecahkan balon bayangan tentang keluarga Shafa.
"Kalau gitu, kita mulai saja ya mengerjakan tugasnya," kataku untuk bisa lebih cepat menyelesaikan tugas-tugasnya.
Satu jam setengah sudah kami habiskan untuk menyelesaikan semua tugas Shafa di sekolah. Tapi Bang Athmar belum juga datang menjemputku. Jarum pendek di jam tangan yang kugunakan sudah berada di antara angka lima dan enam, jadinya aku menunggu Bang Athmar di teras depan ditemani Shafa. Shafa meninggalkan beberapa menit untuk mengambil sesuatu katanya.
"Mbak, ini ada titipan dari Ayah. Awalnya Ayah yang mau ngasih ke Mbak sebelum Ayah berangkat ke rumah sakit, tapi Ayah buru-buru karena di telpon dari rumah sakit jadinya Ayah nitipin di Shafa," katanya menyodorkan amplop putih kepadaku, yang kutahu amplop gaji bulan ini.
"Terima kasih, sayang. Insya Allah di lain waktu, Mbak bisa ketemu sama Ayah kamu, Salamin sama Ayah kamu ya, terima kasih banyak," kataku menerima amplop tersebut dengan seulas senyum yang kuberikan kepada Shafa.
"Mbak Hayfa belum waktunya mau nikah, ya?"
Tiba-tiba gadis imut yang baru kelas tiga sekolah dasar ini menyakan perihal yang sangat sensitif jika ditanyakan orang lain padaku.
"Mmm... Sudah siap, sih. Tapi calonnya belum ada," jawabku sekenanya.
"Bagaimana kalau Mbak Hayfa nikah sama Ayah saja?" Dengan spontan dia meminta sesuatu yang menurutku sangat tabu.
Aku terdiam cukup lama. Lebih tepatnya bengong dengan pertanyaan gadis yang baru berusia delapan tahun setengah ini. Pertanyaan macam apa ini, apa iya ini karena Shafa merindukan kasih sayang seorang Bunda karena tiga bulan terakhir tidak bisa merasakan kehangatan sang Bunda. Apa iya gadis sekecil ini belum paham apa namanya memiliki ibu tiri. Aku yang membayangkan menjadi ibu tiri saja sangat susah menerimanya dengan akal sehat, walaupun memiliki anak tiri secantik dan penurut seperti Shafa.
"Mbak, bagaimana?" Dia menepuk halus tangan kiriku yang berada di atas meja teras depan. Ternyata dia masih menunggu jawabanku.
"Shafa sayang, menikah bukan seperti main petak umpat, nikah tidak semudah yang kamu bayangkan. Kamu kan masih punya Bunda dan Ayah yang masih menyayangi kamu, walaupun beberapa bulan terakhir, kamu memang jarang menghabiskan waktu bersama mereka, tapi yakinlah, sayang. Kamu akan tetap memiliki keluarga yang utuh seperti beberapa bulan sebelum Bunda koma," Kataku menguatkan Shafa, sepertinya memang dia sangat merindukan quality time dengan keluarga lengkapnya.
"Tapi ini Bunda sempat minta kok ke Ayah Mbak, untuk segera menikah." Sinar matanya sedikit berbinar ketika mengatakan kalimat tersebut, tapi dia tidak tahu ada beribu daftar pertanyaan yang ingin kutanyakan padanya.
Suara klakson motor di depan gerbang berhasil membantuku untuk tidak melanjutkan obrolan yang ingin kuhindari dari Shafa. Bang Athmar ternyata sudah datang menjemputku, telat tujuh menit dari waktu yang seharusnya. Segera aku berpamitan dengan Shafa dan dia langsung ikut mengantarkanku ke depan gerbang.
"Katanya belum punya calon?" Kata Shafa berbisik sambil menyikut lenganku setelah melihat Bang Athmar membuka kaca helm dan tersenyum ramah padanya.
Aku tidak menggubrisnya, sepertinya Bang Athmar bisa kujadikan alasan untuk tidak menerima tawaran Shafa barusan. Setelah berpamitan dengan dia dan Pak Joko, aku menaiki motor matic Bang Athmar.
"Besok ketemu lagi ya, sayang," kataku sebelum meninggalkan Shafa yang berdiri dengan wajah yang sedikit kecewa melihatku dibonceng Bang Athmar.
Hari ini memang aku sengaja nebeng dengan Bang Athmar yang sekalian mau ke rumah temannya yang searah dengan rumah Shafa. Untungnya aku belum pernah cerita ke Shafa tentang Bang Athmar, jadi biarkanlah dia berpikiran tentang Bang Athmar adalah pasanganku, paling tidak dia tidak lagi membahas tentang perjodohan Ayahnya di depanku.
Aku harus menceritakan semua yang ditanyakan Shafa barusan ke Bang Athmar. Siapa tau dia bisa menenangkan pikiranku. Kalau aku, sih, maunya berhenti dari les di rumah Shafa, supaya bisa terbebas dari tawaran Shafa dan godaan Pak Joko. Bisa-bisanya dua orang itu membahas permasalahan yang sama, atau jangan-jangan memang mereka bersekongkol untuk membuatku bisa nikah dengan Ayahnya Shafa.

KAMU SEDANG MEMBACA
House Of Hope
Genç KurguRumah adalah tempat tinggal ternyaman bagi semua orang, namun bagaimana seandainya di dalam rumah yang menjadi tempat tinggal kita berubah menjadi sebuah penjara karena kehadiran orang yang tidak pernah diharapkan kehadirannya.