Simalakama

1 1 0
                                    

Aku dan Bang Athmar masih betah berlama-lama di pantai, mumpung weekend kataku padanya. Tentang tawarannya untuk menjodohkanku dengan temannya, aku masih mempertimbangkannya. Bukan karena aku telah mampu menggeser nama Rasya dalam hatiku, aku tidak mungkin segampang itu menerima tawaran Bang Athmar.

"Bang Athmar beneran belum pengen nikah?" Kataku untuk mencoba mengalihkan pembicaraan tentang perjodohanku dengan temannya.

"Sebenarnya sudah, Dek. Abang masih mengkhawatirkan kamu. Trauma yang dialami teman Abang itu tanpa sadar membuat Bang Athmar juga khawatir,"

"Bang, insya Allah Hayfa bisa jaga diri. Hayfa bukan anak kecil lagi, Bang. Dulu memang Hayfa pernah pacaran dengan Rasya, tapi Alhamdulillahnya Rasya sedikitpun tidak melampaui batas. Mungkin hanya pegangan tangan dan dibonceng saja yang paling melanggar batas interaksi lawan jenis yang Hayfa lakukan. Setelah putus dari dia, Bang Athmar tau sendiri kan pergaulan Hayfa di luar," kataku yang mencoba meyakinkan Bang Athmar.

Bang Athmar masih terdiam, pandangannya lurus  ke depan sejajar dengan arah matahari yang mulai beranjak meninggalkan sore.

"Abang sudah punya calon?" tanyaku penasaran dengan diamnya Bang Athmar.

"Dia gadis yang begitu bersahaja, sangat menyayangi dunia anak-anak. Sayang, dia belum mau menikah. Itu info yang Abang dapatkan dari Mas Jihad, teman Abang di kantor. Kebetulan, Mas Jihad adalah kakak misan dari gadis itu."

"Perlu Hayfa tanyain ndk alasan gadis itu Bang?"

"Sudahlah Fa, Abang juga sudah tau alasannya dari Bang Jihad, hati memang tidak bisa dipaksakan. Sama seperti dirimu." Bang Athmar mencubit hidung mancungku untuk mencoba mengalihkan lagi topik tentangku.

Kami melaksanakan solat magrib di Masjid yang tidak jauh dari pantai tempat kami menghabiskan waktu sore hari ini. Bang Athmar sudah meminta izin kepada Ayah dan Ibu untuk pulang telat.

*****
"Assalamualaikum," kataku serempak dengan Bang Athmar ketika sudah di depan pintu yang terbuka, sepertinya ada tamu pikirku.

Terdengar beberapa orang menjawab salam kami. Aku terkejut dengan adanya Haura yang sudah duduk manis bersama Ayah dan Ibu. Aku lupa bahwa Haura mau berkunjung malam ini. Bang Athmar hanya menyapa Haura sebentar, kemudian bergegas menuju kamarnya.

"Eh Haura, maaf ya. Aku lupa kalau kamu mau datang malam ini," aku berjabat tangan kemudian duduk disampingnya, "sudah lama, Ra?" Tanyaku setelah posisiku sudah sangat dekat dengannya.

"Ndak lama kok, Fa. Baru beberapa menit, air teh buatan Ibu juga masih panas, tuh," katanya sambil menunjuk gelas yang masih mengepulkan asap di atasnya.

"Oh iya, aku mandi dulu ya sekalian ganti baju."

"Dari pulang sekolah belum mandi sampai sekarang," bisikku supaya tidak di dengar Bunda yang masih berada di dapur untuk menyelesaikan menu makan malam kami.

"Oke, Fa."

*****

"Kamu nginap aja ya, sayang. Kasihan tuh Hayfa, sepertinya lagi kangen sama kamu."

Aku tersenyum terpaksa dengan tawaran Bunda pada Haura. Bukannya ingin menjauh darinya, kalau dia nginap, bisa-bisa aku akan tambah illfeel dengannya, karena bisa jadi sepanjang malam dia akan curhatan tentang Rasya, cowok yang pernah membuatku melayang karena pesonanya dulu, namun saat mengetahui cerita tentang dirinya dari Bang Athmar, kekagumanku berubah dengan sendirinya menjadi sangat membencinya.

Tawaran bunda tentu disambut gembira sama Haura. Sepertinya Bunda berusaha untuk memberikan kesempatan Haura dan aku untuk bisa memperbaiki hubungan ini. Haura sudah dianggap seperti anak kandung sendiri oleh Ayah dan Bunda. Aku bersahabat dengannya semenjak kelas tiga di dunia putih abu-abu. Haura juga sangat sering menginap dirumahku dan membantu Bunda di dapur ketika dia menginap, wajar saja dia begitu dekat dengan Ayah dan Bunda.

"Haura kasih tau Ibu dulu ya, Bun." katanya ketika tawaran menginap itu ditujukan padanya.

"Alhamdulillah, Ibu mengizinkan Haura nginap, Bun." Haura sangat antusias ketika Ibunya mengizinkan dia menginap dirumahku.

Tak sengaja tatapanku bertemu dengan Bang Athmar. Dia memberikan senyuman yang seolah-olah mengisyaratkan kode untukku bisa lebih tenang. 'Mungkin ini saatnya, Aku bisa menyelamatkan sahabatku dari si Rasya itu,' monologku dalam hati.

Aku dan Haura sudah selesai membantu Bunda membersihkan beberapa gelas dan piring yang kami pakai makan malam.

"Fa, kamu kenapa, sih? Akhir-akhir ini kamu tak seceria dulu. Kamu marah sama aku?" Haura yang sudah mengikutiku menuju kamar langsung bertanya perihal perubahan sikapku beberapa hari yang lalu.

"Ra, sekarang kamu jujur, deh. Siapa calon yang akan nikah sama kamu?" Kataku to do point.

"Jadi karena aku ngerahasiain si dia, kamu jadi marah sama aku? ha..ha..ha..."

"Ndak lucu, Ra. Apa coba tujuan kamu merahasiakan namanya? Supaya aku tidak marah? Sepintar-pintar kamu nyembunyiin bangkai, suatu saat pasti akan tercium juga!" Kataku mulai meninggikan nada suara.

"Ampun deh," katanya dengan masih bisa memunculkan senyum lesung pipinya, sepertinya Haura masih belum nyadar kalau aku benar-benar marah.

"Kamu sendiri kan yang bilang, kalau tunangan dirahasiakan, tapi kalau nikah baru diumumkan, gimana?" katanya masih berusaha membuatku untuk tertawa, sayangnya rasa marah karena dia tidak jujur denganku membuat hatiku masih belum bisa memaafkannya.

"Ra, seandainya calon kamu itu pernah menghamili anak orang, gimana?" Tanyaku akhirnya tidak tahan langsung menekankan pada pokok permasalahan yang ada dalam hatiku.

"Maksud kamu?" Dia mulai lebih serius setelah mendengarkan kalimat terakhir yang aku tekankan.

"Iya, aku tau kalau calon kamu itu pernah menghamili anak orang, dan parahnya, dia tidakau bertanggung jawab, Ra. Kamu mau jadi korban selanjutnya?"

"Fa, pliss. Jangan hanya karena aku merahasiakan siapa dia, kamu sebegitu marahnya sama aku sampai-sampai kamu tega memfitnah dia, aku kecewa sama kamu, Fa." Mata bulatnya mulai berembun, aku bingung jadinya dengan keadaan yang ada di depanku, bukankah aku yang ahrus marah, tapi kenapa sebaliknya.

"Kalau kamu tidak percaya, Bang Athmar bisa menceritakan semuanya pada kamu, Ra." Aku memeluknya untuk mentransfer energiku untuk membuatnya bisa menerima kenyataan yang pahit ini.

"Memangnya kamu tahu siapa calonku, Fa?"

"Iya, Kak Rasya kan? Aku pernah melihat kamu jalan berduaan sama dia di cafe depan Apotek Rahayu, sekitar satu pekan yang lalu.

"Apa? Kak Rasya menghamili anak orang? Kamu tau orangnya, Fa?" Akhirnya, Haura percaya denganku tentang calon tunangannya.

"Fa, jawab. Siapa orangnya? Aku harus kasih tau Ibu, Ibu pasti marah besar kalau tau Kak Rasya pernah menghamili orang."

Kini, Haura menangis sejadi-jadinya. Aku merasa serba salah dengan ceritaku padanya. Ibarat buah simalakama, kalau jujur berarti bisa jadi Haura akan membatalkan pernikahannya, kalau tidak cerita, takutnya Haura tahunya setelah mereka nikah dan Haura bisa jadi meminta cerai. Tapi ini tentu demi kebahagiaannya, bukan maksud untuk merusak kebahagiaannya. Bisa jadi setelah malam ini, Ibunya Haura akan membatalkan pernikahannya dengan Kak Rasya.

"Fa, bisa minta tolong anterin aku pulang malam ini juga? Aku harus bertemu Kak Rasya malam ini juga,"

Haura membatalkan niatnya menginap dirumahku. Bang Athmar mengemudikan mobil untuk mengantar Haura, tentu dengan aku ikut dan masih memeluknya di jok belakang. Haura masih menangis tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Aku serba salah saat ini, mungkin malam ini akan menjadi malam pertengkaran antara Kak Rasya dan Haura.

Aku dan Bang Athmar pamit terlebih dahulu pada Ibunya Haura. Kami tidak perlu menunggu Kak Rasya datang, biarlah mereka menyelesaikan masalahnya dulu tanpa campur tangan kami berdua. Jika Haura dan Ibunya membutuhkan bukti, Bang Athmar siap membantu mereka dengan mendatangkan teman dan adiknya Bang Athmar yang menjadi korban Rasya beberapa tahun yang lalu.

House Of HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang