Tawaran itu lagi

0 0 0
                                    

Dua hari setelah kejadian di cafe waktu itu, Bang Athmar masih belum sehangat dulu padaku. Bang Athmar masih marah kepadaku, bahkan hari ini aku sengaja tidak membawa motor supaya bisa diajak nebeng di mobilnya, tapi dia tidak membalas pesanku untuk minta tolong dijemput sepulang sekolah, akhirnya aku memilih memesan taxi online untuk pulang.

"Bun, tolong bujuk Bang Athmar dong. Hayfa padahal sudah minta maaf, tapi dia masih mendiamkan Hayfa sampai hari ini." Aku membujuk bunda untuk bisa menjadi perantara menyelesaikan masalah dengan Bang Athmar.

"Kamu tau sendiri kan, Fa. Kalau Abangmu sudah marah seperti itu, Bunda pun tidak akan bisa membujuknya."

Pupus sudah harapanku, ternyata Bang Athmar semarah itu padaku. Tiba-tiba ponselku bergetar, ada notifikasi pesan masuk di aplikasi yang berwarna hijau.

[Besok, kamu jangan bawa motor ya ke sekolah, Abang yang akan ngantar kamu, sekalian ketemu sama temannya Abang sepulang sekolah]

Segera kuketik balasan untuk Bang Athmar.

[Oke, Bang]

[Bang Athmar sudah Ndak marah lagi kan sama Hayfa?]

Kembali kukirimkan pesan kedua yang langsung terbaca oleh Bang Athmar.

[Siapa juga yang marah, kemaren itu Abang sengaja mendiamkan kamu. Bagaimana akting Abang? Sudah cocokkan jadi artis?]

Dia mengirimkan pesan kemudian dan mengirimkan emoticon ketawa lebar di akhir pesannya.

[Bukan cocok lagi, tapi akting Abang seratus persen buat Hayfa jantungan.] Aku mengirimkan balasan secepat mungkin yang kemudian di akhir pesan itu kukirimkan emoticon marah.

Pesanku tidak terbalas lagi, mungkin Bang Athmar melanjutkan kerjanya. Setidaknya aku sudah sedikit lega dengan chat bang Athmar barusan.

*****
"Mbak Hayfa, tambah cantik saja sekarang," goda Pak Joko yang menyambutku di rumah Hayfa.

"Assalamualaikum,"

"Wa'alaikumussalam, eh jadi lupa ucap salam," katanya menggaruk kepala yang kutebak tidak gatal.

'Aku jadi bingung, yang seharusnya mengucap salam kan memang aku, bukan dia yang disini?' Monologku melihat Pak Joko yang masih senyum-senyum di depanku.

Aku menaruh motorku disamping mobil yang dua hari aku lihat di cafe saat ketemu Rasya. Ternyata mobil ayahnya Hayfa, gumamku.

"Hari ini, Mbak Hayfa berjodoh sama Tuan muda. Dia baru pulang kerja, jadi masih ada di rumah. Dia ganteng kan, Mbak?"

Ternyata Pak Joko masih berdiri di tempatnya sambil memperhatikanku yang memarkir motor.

"Saya kedalam dulu Pak Joko, takut Shafa menunggu saya," Kataku berusaha menghindar dari kalimat godaan Pak Joko tentang orang yang dia sebut Tuan Muda.

"Mbak Hayfa, kenalkan ini nenek dan yang sedang nonton disana, beliau kakeknya Shafa."

Setelah menjawab salamku, Hayfa memperkenalkan Ibu yang duduk di sampingnya dan menunjuk seorang bapak yang kutaksir seusia Ayah yang sedang menonton televisi di rua h tengah yang bisa aku lihat dari ruang tamu. Aku menyalami neneknya Hayfa, kemudian menganggukkan kepala ketika pandanganku bertemu dengan Bapak ya g dipanggil kakek oleh Hayfa.

"Mbak Hayfa, kan? Ternyata lebih cantik dari ceritanya Shafa,"

"Panggil Hayfa saja Bu." Aku merasa canggung di depan nenek Hayfa. Sepertinya gadis kecil ini sudah banyak cerita kepada neneknya tentangku.

"Sampai lupa, mari duduk, Nak. Ibu tinggal dulu ke belakang ya," katanya mempersilahkanku duduk.

Waktu satu setengah jam terasa lebih lambat hari ini. Pasalnya, dari jauh aku melihat beberapa pasang mata yang masih berada di ruang tengah sesekali memperhatikanmu mengajari Shafa. Seperti sedang di supervisi pengawas waktu di sekolah.

Jam telah telah menunjukkan pukul setengah enam setelah Shafa menyelesaikan tugasnya. Seperti sudah ada alarm, Neneknya Hayfa kemudian bergabung bersama aku dan Shafa. Ada satu paperbag yang diberikannya padaku.

"Ini oleh-oleh buat kamu ya, Nak."

"Ya Allah, Bu. Jadi repot segala seperti ini," kataku sungkan menerimanya.

"Nilainya tidak seberapa sayang dengan ilmu yang kamu ajarkan pada Hayfa,"

"Terima kasih, Bu. Kalau gitu, Hayfa pamit dulu ya. Lusa kesini lagi," kataku berpamitan, canggung rasanya berlama-lama dengan beliau yang masih memperhatikanku dengan seksama.

"Cepat sekali, Nak. Padahal Ibu masih pengen ngobrol lama-lama sama kamu."

"Hayfa takut pulang kemalaman, Bu. Karena habis dari sini, rencananya Hayfa mau ke toko buku,"

Untungnya aku mempunyai alasan untuk segera berpamitan. Neneknya Hayfa yang kutahu bernama Ibu Lastri pun mengantarkanku sampai depan.

"Kamu belum nikah, kan? Bagaimana kalau kamu nikah sama Haydar saja, Nak. Sepertinya chemistry kamu dengan Hayfa sudah klop." Katanya berbisik ketika aku menyalaminya.

"Hayfa pamit dulu nggih, Bu. Assalamualaikum." Aku tidak menjawab kalimat yang kurasa meminta persetujuanku untuk menikah dengan Mas Haydar.

Sepanjang perjalanan pulang, aku masih terngiang-ngiang dengan pemikiran Bu Lastri. Setahuku, Bundanya Shafa sudah siuman beberapa hari yang lalu. Artinya, Shafa sebentar lagi akan merasakan kehangatan kasih sayang seorang ibu. Apa iya, Bu Lastri adalah tipe mertua yang tidak menyukai menantunya? Sampai-sampai menantunya masih hidup saja, dia menawarkan gadis lain untuk menikah dengan putranya.

Aku membatalkan niat untuk ke toko buku. Kejadian dirumah Shafa barusan masih mengganggu pikiranku. Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke kamar Bang Athmar yang terlebih dahulu aku izin untuk masuk.

"Terus, kamu maunya apa?" Tanyanya setelah aku menceritakan kejadian di rumah Shafa selama mengajar hari ini. Termasuk tentang tawaran Bu Lastri untuk mau menikah dengan putranya.

"Hayfa minta berhenti aja ya Bang dari sana. Kalau masih disana, takutnya Hayfa akan diteror terus sama mereka."

"Kamu harus tegas caranya, Fa. Kamu jelasin ke neneknya Shafa bahwa kamu tidak bisa menjadi istri kedua. Jangan diam-diam aja dan menghindar dari pertanyaan itu. Kecuali kalau kamu mau jadi istri kedua."

"Tapi dia Sholeh, Bang. Bukannya Ndak boleh ya menolak orang Sholeh?"

"Iya Sholeh, tapi masalahnya dia sudah punya anak dan istrinya masih hidup. Kamu mau menjadi perusak rumah tangga orang? Intinya Abang tidak terima kalau kamu nikah dan jadi istri kedua," katanya mengingatkanku.

"Oke, Hayfa akan tegas besok lusa ketika Pak Joko atau Bu Lastri masih membahas ayahnya Shafa di depanku."

****
Hari ini aku dijemput Bang Athmar selepas sholat Zuhur. Seperti janjinya kemaren, dia mengajakku makan di rumah makan yang lebih dekat dengan rumah. Supaya Bang Athmar tidak terlalu jauh mengantarkanku selepas makan siang, karena dia sendiri akan balik ke kantornya.

"Jadi gini, Fa. Teman Abang ini, mau minta bantuan kamu terkait Rasya. Minimal dia bisa ketemu dengan Rasya  untuk menyelesaikan masalah masa lalunya. Karena adiknya itu dari kemarin nyebut-nyebut nama Rasya gitu. Kamu aku bantu, kan?" Bang Athmar membuka percakapan setelah kami duduk di bangku pojok."

"Nanti kejadiannya kayak tiga hari yang lalu, Bang Athmar marahin Hayfa ngobrol sama dia,"

"Iya endaklah, kalau yang sekarang kan Abang sendiri yang meminta kamu. Tapi tetap, jangan berduaan sama dia, minimal kamu bawa Haura waktu kalian ngobrol," katanya mengingatkanku untuk tidak i'tilat (berduaan) dengan Rasya.

Beberapa menit kemudian, beberapa makanan sudah tersedia di meja kami. Sepertinya Bang Athmar sudah memesannya sebelum kami datang.

"Teman Abang belum datang juga? Perut Hayfa sudah demo dari tadi Bang," kataku protes ketika teman Bang Athmar belum datang juga.

"Assalamualaikum," Suara yang tidak asing mengucapkan salam di belakangku.

House Of HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang