Bismillah
✾ ꙳٭꙳ ❉ ꙳٭꙳ ✾
Arfan mengusap jidatnya yang kembali berkeringat. Bukan karena grogi, tapi dia bingung bagaimana harus menjelaskan tentang rencana transplantasi itu kepada Humaira. Di satu sisi, Arfan tidak ingin mengecewakan gadis itu dengan informasi yang akan dia berikan. Tapi di sisi lain, dia juga tidak tega melihat wajah Humaira yang memelas seperti saat ini.
"Bagaimana Dok? Apa prosesnya bisa disegerakan?" tanya Humaira kesekian kali.
"Sebenarnya bisa saja Mai, tapi ..."
"Tapi apa?"
"Harus ada persetujuan dari keluarga, dan kondisi pasien yang akan menjalankan transplantasi itu harus baik. Selain itu, kami juga belum menemukan pendonor yang cocok dengan sumsum tulang kamu," jelas Arfan dengan wajah menyesal. Sangat berat untuk mengatakan hal yang ingin dia sembunyikan untuk beberapa hari, tapi gadis itu memaksanya untuk menjelaskan hal itu.
"Apa Yazid sudah mengizinkan kamu untuk melakukan transplantasi?"
Humaira menggeleng pelan. Dia juga belum membicarakan hal ini lebih lanjut dengan Yazid, bunda dan keluarga yang lain. Sepertinya, gadis itu ingin mengambil keputusan sepihak.
"Aku paham dengan perasaan kamu, Maira. Tapi semua ini tidak semudah yang kamu bayangkan. Sebelum melakukan transplantasi, kamu harus melewati berbagai macam pemeriksaan, dan itu butuh waktu yang tidak sedikit. Jadi, aku harap kamu bisa bersabar sedikit lagi. Oke?" Arfan mencoba memberi penjelasan kepada gadis itu dengan intonasi selembut mungkin, berharap Humaira bisa memahami setiap perkataannya.
Meskipun sedikit kecewa karena keinginannya belum bisa terwujud, Humaira tetap menerima keputusan dokter muda itu. Senyum tipis perlahan membias di wajahnya, pertanda kalau dia akan bersabar dan setia dengan jarum yang akan menyentuh kulitnya lagi.
"Kamu nggak sendirian, Mai. Banyak orang yang menginginkan kamu sembuh, jadi tetap semangat ya!"
"Terima kasih banyak sudah membantu saya, Dok," ujarnya dengan senyum yang semakin mengembang.
"Sudah tugas saya, Mai."
Gadis dengan jilbab instan panjang warna biru muda itu menghela napasnya panjang, mencoba memahami situasi dan kondisi, pun juga berusaha menjaga rasa husnuzonnya kepada sang Ilahi.
Karena sejak dulu, papanya senantiasa mengajarkan dirinya agar jangan sampai menyalahkan Allah atas setiap takdir yang Dia hadirkan. Semua pasti ada hikmahnya. Meskipun seringnya, hikmah tersebut selalu datang setelah banyaknya deraian air mata dan sesaknya dada.
"Kuliahnya udah mulai senggang ya?" tebak Arfan yang sudah paham dengan dunia perkampusan.
"Alhamdulillah, udah nggak seribet pas awal semester Dok. Sekarang, tinggal nunggu hasil UAS."
Arfan tak kalah menghela napas lega. Dengan begitu, dia tidak terlalu mengkhawatirkan gadis itu jika harus menghabiskan waktu untuk belajar dan mengerjakan tugas. "Aku harap, kamu bisa memanfaatkan waktu ini untuk banyak istirahat."
"Iya, Dok. Saya akan usahakan," balas Humaira menganggukkan kepala. Dia mengambil handphone di dalam tas dan menghidupkannya. Helaan napasnya terdengar berat ketika melihat tidak ada balasan dari suaminya.
Entah apa yang sedang dikerjakan laki-laki itu sampai saat ini belum mengabari keberadaannya. Dia berjanji untuk menjemputnya di rumah sakit tepat waktu, tapi laki-laki itu sudah terlambat datang belasan menit. Meskipun urusannya baru saja selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surgaku Kamu [PRE-ORDER]
Teen Fiction"Sungguh menyenangkan bukan, ketika melihat orang lain bahagia? Namun jika kebahagiaanmu yang harus dikorbankan, bagaimana?" ... Tentang Humaira, gadis yang terpaksa dikuatkan oleh keadaan yang selalu menuntutnya untuk ikhlas. Kehilangan demi kehila...