Part 32 : Sebuah Tawaran

384 41 1
                                    

Bismillah

✾ ꙳٭꙳ ❉ ꙳٭꙳ ✾

"Kenapa masih berdiri di situ, Kak?" Pertanyaan Humaira berhasil membuatnya tersadar. Laki-laki dengan plastik di tangannya segera melihat ke arah dua wanita di depannya.

Melihat guratan tidak suka dari wajah itu, Alika langsung sadar diri. Dia meletakkan kembali bubur ayam yang belum tersentuh di atas nakas. "Mai, aku mau cari Mama dulu ya," pamit Alika memakai tas selempangnya.

"Apa nggak ditunggu di sini saja, Kak?" balas Humaira seperti mencegah wanita itu pergi.

Alika lantas menggeleng. "Takutnya nanti Mama nyasar," candanya kembali memeluk gadis itu, kemudian pergi. Tepat ketika berpapasan dengan Yazid, pandangan mereka sempat bertemu. Laki-laki itu segera memalingkan wajahnya ke arah lain.

Begitu Alika menutup pintu, Yazid baru melangkahkan kakinya. Dia meletakkan plastik tadi di dalam nakas tanpa melihat ke arah Humaira. Merasa ada sesuatu yang aneh, gadis itu meraih tangan Yazid namun laki-laki itu segera menepisnya. Meski tidak kasar, tapi tepisan itu semakin membuat Humaira merasa heran.

"Kak Yazid kenapa?" tanya Humaira. Takut kalau dia pernah membuat kesalahan yang tidak disengaja.

Laki-laki itu tidak menjawab. Melihat hal itu, Humaira menarik lengan suaminya hingga Yazid duduk di depannya. "Kakak nggak bisa bohong sama aku," tegasnya menatap manik itu dalam. "Ada apa?"

"Aku nggak apa-apa Ai. Hanya saja, hatiku sedikit terganggu." Humaira mengernyitkan dahinya, mewakilkan ketidakpahamannya. "Apa maksud perkataan tadi itu?"

"Yang mana?"

"Kalau kita menjadi keluarga. Aku, kamu dan Alika. Maksudnya apa?" selidik Yazid dengan ekspresi yang tidak enak dipandang.

Humaira bergeming, mengingat percakapan tadi sekaligus mencernanya. Dia juga tidak paham maksud dari ucapannya tadi. Kalimat itu keluar begitu saja.

"Itu ..."

"Aku harap, kamu tidak merencanakan sesuatu yang akan melukai kita, Ai. Bagaimanapun keadaannya, aku tidak akan pernah mengikat janji dengan siapapun lagi." Yazid melepas tangan Humaira dan pergi begitu saja.

Gadis itu memandang punggung yang perlahan menjauh, kemudian menghilang. Dengan kepala yang tertunduk, matanya melirik tangannya yang terbalut selang infus.

Detik berikutnya, suara pintu yang terbuka kontan mengalihkan pandangannya. Dia pikir, Yazid akan kembali dan meminta maaf. Namun ternyata, ekpektasinya salah.

"Tante Saras?"

Wanita berkepala tiga itu berjalan ke arahnya dengan raut wajah yang sulit ditebak. Senyum di wajahnya mengiringi deru langkah yang semakin terdengar jelas.

"Maaf ya, Tante baru sampai."

"Enggak apa-apa, Tan. Terima kasih sudah berkenan ke sini," balas Humaira membalas senyum.

"Kamu gimana kabarnya?" Saras membuka obrolan.

"Masih seperti biasa, Tan," jawab Humaira masih mempertahankan senyum, semoga rasa sakit itu bisa disembunyikan lewat lengkungan indah di bibirnya.

Saras mengangguk paham. Wanita itu meraih tangan Humaira yang bebas dari infus dan menggenggamnya, seolah memberi kekuatan kepada gadis malang itu.

"Kamu yang tabah ya Nak. Semoga Allah lekas menyembuhkan penyakit kamu."

Surgaku Kamu [PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang