Satu

1.1K 127 7
                                    

Malam senin seharusnya menjadi malam yang paling sibuk untuk siswa SMA, tugas yang menumpuk menjadi salah satu alasannya. Seorang gadis cantik bernama Mentari itu sedang fokus mengerjakan tugasnya, sebelum akhirnya suara klakson sebuah motor itu memecah konsentrasinya.

Tin! Tin!

Mentari berjalan ke arah jendela untuk mengintip siapa yang datang. Sesuai dugaan, itu Bumi. Iya, Bumi Pradipta Adiyaksa, salah satu pentolan sekolah sekaligus sahabat baiknya. Ia menaikkan salah satu alisnya heran, untuk apa Bumi datang malam-malam kemari?

Drrt... drttt...

Tiba-tiba saja, ponsel Mentari berdering, itu dari Bumi. Ia lantas mengangkatnya. "Apa?" tanyanya.

"Keluar yuk!" ajak Bumi bersemangat.

"Ayo, tapi emang kamu udah kerjain tugas?" Mentari bertanya lagi. Namun, sepertinya ia bertanya pada orang yang salah.

Bumi nyengir. "Belum sih, tapi aku bosen. Kalo tugas mah belakangan, hehehe... aku tunggu ya, Tar."

Dibalik tirai jendela Mentari menggelengkan kepalanya heran, ia tak habis pikir dengan sahabatnya yang satu ini, padahal sebentar lagi mereka akan menghadapi ujian. "Yaudah iya, sebentar."

"Aku tutup dulu ya, takut pulsanya abis, dadah!"

Mentari segera menutup bukunya, kemudian ia langsung berlari keluar rumah, pastinya tanpa diketahui sang ayah dan bunda. Ia menutup dan mengunci pintu secara perlahan.

"Bumi!" sapa Mentari sambil tersenyum. Bumi langsung menepuk jok motor bagian belakang. "Sini!"

Mentari selalu mendapatkan energinya bila sudah bertemu dengan Bumi. Bumi memberikan helm berwarna coklat miliknya pada Mentari.

Sembari menggunakan helm itu, Mentari bertanya pada Bumi. "Bumi, nanti kita mau kemana? Ini kan udah malem."

"Kamu udah makan malem, Tar? Kalo belom, kita makan aja dulu," jawab Bumi sambil membantu Mentari mengaitkan tali helm.

"Loh, kok aku? Ya kamu lah! Kan kamu yang ngajak aku. Lagian kalo misalnya nanti aku udah makan, tapi kamu nya belom, gimana?"

Bumi tertawa kecil saat melihat respon Mentari. Sejak dulu, Mentari selalu menggemaskan dimatanya. Ia menaruh tangan di dagunya dan bertindak seolah-olah berpikir keras. "Hmm... ya paling juga kalo aku sakit, kamu yang rawat. Iya, kan?"

Plak!

Mentari memukul lengan Bumi. "Aku serius, Bumi!"

"Hahaha! Lagian kamu juga sih." Bumi tertawa. Tetapi satu detik kemudian, ia terdiam. "Kamu pake baju lengan pendek begitu, emangnya gak dingin? Ini kan udah malem, Tar."

Mentari melihat baju apa yang ia pakai, ia lantas menepuk jidatnya pelan, rupanya ia lupa mengganti baju. Yang ia gunakan saat ini adalah baju tanpa lengan. "Oh iya ya..." ia menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Kalo gitu, aku ambil jaket dulu ya!"

Baru saja ia membalikkan badan, tangannya sudah ditahan oleh Bumi.

"Pake jaketku aja."

Raut wajah Mentari menjadi bingung. "Terus kamu, gimana?"

Bumi tersenyum. "Biasanya juga begitu, kan?"

"Hehehe..." Mentari tertawa. Sedangkan Bumi, ia melepas jaket kulit berwarna hitamnya dan langsung memakaikan jaket itu pada Mentari.

"Yaudah yuk naik, nanti keburu kemaleman lagi," kata Bumi sambil menyalakan motor Kawasaki khas tahun 90-an miliknya.

"Ayo!" seru Mentari bersemangat.

Semesta dan Rahasianya || JenRinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang