Delapan

704 97 12
                                    

Satu, dua, tiga, empat bulan sudah berlalu. Selama itu juga seorang gadis berambut hitam itu terbaring lemah di atas kasur rumah sakit. Tepat 101 hari sebelum hari ini, gadis itu masih tersenyum di kala rasa sakitnya, tapi hari ini tidak lagi.

"Mentari, Ayah pergi dulu sebentar ya, Nak."

Gadis itu mengangguk pelan. Surya, sang ayah mengecup dahi sang putri kesayangannya sebelum akhirnya ia pergi menuju kantor.

Sepi. Hal itu yang selalu Mentari rasakan akhir-akhir ini, kemoterapi selama empat bulan membuatnya tak bisa bertemu dengan para sahabatnya, entah itu Bumi, Gina ataupun anggota Pemimpi lainnya.

Drrttt!

Dering notifikasi itu membuat Mentari melirik ponselnya yang berada di atas meja. Ia tersenyum tipis saat melihat si pengirim pesan, Bumi. Namun, ia sama sekali tak membalas pesan itu. Entah itu sudah pesan ke berapa yang Mentari abaikan sejak empat bulan yang lalu.

Hari ini adalah hari Minggu, tetapi hari ini tak menjadi hari yang menyenangkan untuknya. Di saat semua teman sebayanya sibuk berjalan-jalan, Mentari harus menghabiskan waktu remajanya dengan obat-obatan ataupun jarum suntik yang entah apakah barang itu akan membuatnya sembuh atau tidak.

Mentari menatap cermin yang tepat berada di depannya. Senyuman miris terukir di bibirnya yang pucat, dengan rambut yang telah menipis dan rontok, wajahnya yang terlihat pucat, bahkan dengan kakinya yang sudah tidak kuat berjalan lagi, apakah seseorang selain ayahnya masih mau menganggapnya ada? Bahkan bunda yang melahirkannya saja seperti muak dengan wajahnya.

Air mata itu perlahan turun dari mata cantiknya, kemudian gadis dengan julukan peri manis itu menghapus cairan bening itu dan ia ganti dengan sebuah senyuman, tentu saja itu bukan senyuman yang tulus.

Mentari beranjak dari kasurnya, dengan keadaan kaki yang lemas dan hampir tak stabil untuk berjalan itu, dirinya tetap memaksakan diri untuk keluar dari kamar yang selalu ia sebut penjara dunia. Keras kepala sudah menjadi salah satu wataknya yang tak pernah berubah, padahal sudah jelas bahwa dirinya tidak boleh keluar kamar tanpa seizin dokter.

Dengan infusan yang ia pegang erat di tangannya itu, ia berjalan menuju taman rumah sakit. Tak lupa juga, ia membawa satu buku harian yang tak pernah lepas dari gengamannya, buku yang berisi ceritanya dan beberapa pesan kecil untuk orang tercintanya.

Satu hingga dua halaman telah ditulisnya pagi ini, pas sekali bukunya sudah berada di halaman terakhir. Ia tersenyum kemudian menutup buku itu, melihat ponselnya yang berdering tanda bahwa seseorang telah meneleponnya.

Orang itu adalah Gina, seseorang yang tak pernah absen menanyakan kabarnya. Mentari tersenyum saat mendapatkan telepon dari sahabatnya yang sudah empat bulan tidak bertemu.

"Tar! Kamu apa kabar?"

"Baik Gi, kamu? Masih di Surabaya?" tanya Mentari sambil menanyakan kabar sang sahabat.

"Udah pulang nih! Aku gak sabar ketemu kamu. Kamu di rumah, kan?"

Mentari menaikkan salah satu alisnya, heran mengapa sang sahabat menanyakan hal itu padanya. "Iya, emang kenapa? Kamu mau ke rumahku?"

Entah ini sudah kebohongan ke berapa yang Mentari Adiana katakan.

"Enggak Tar. Aku lagi ada di rumah sakit, habis jenguk nenekku. Tapi tadi aku sempet ngeliat orang mirip kamu, kukira itu kamu, tapi ya enggak mungkin sih, hehehe... kan kamu pasti lagi sibuk belajar untuk ujian akhir."

Mentari membuka matanya lebar saat mendengar pernyataan Gina sahabatnya, kemudian ia menghembuskan napasnya lega. "O-oh gitu..."

"Nenek kamu di rawat di Rumah Sakit Angkasa?"

Semesta dan Rahasianya || JenRinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang