Empat

444 85 5
                                    

Keesokan harinya, Bulan sedang membereskan bukunya, sama juga dengan Mentari dan Gina. Seperti rencana awal, Mentari dan Bulan ingin pergi bersama ke toko buku, sayangnya Gina tidak bisa ikut karena adanya ekskul basket.

"Tar. Jadi, kan?" tanya Bulan bersemangat.

Mentari memasang wajah bersalahnya. "Bulan, maaf banget. Kayaknya aku gak bisa sore ini, soalnya ada urusan mendadak."

Bulan sedikit menekuk wajahnya, kemudian ia tersenyum, jujur saja ia sedikit kecewa pada Mentari. "Gak apa-apa kok, Tar."

"Tapi kamu bisa dianterin sama Bumi, kok."

Ucapan Mentari membuat Bulan terkejut. Tak hanya Bulan, Gina juga menaikkan alisnya heran. Mengapa tiba-tiba Bumi?

"Aku udah bilang kok tadi. Iya kan, Bum?" tanya Mentari pada Bumi.

Bumi mengangguk. "Bareng aja, Lan."

"Maaf ya Lan, sekali lagi. Aku jadi gak enak nih," ujar Mentari. Bulan mengangguk, "Iya Tar, gak apa-apa kok. Justru malah aku yang—"

Mentari memotong ucapan Bulan. "Kalo gitu aku pergi dulu ya, dadah!"

"Semangat pendekatannya," bisik Mentari pada Bumi, sebelum akhirnya pergi.

Mentari melambaikan tangan lalu berjalan keluar kelas, diikuti oleh Gina. Gina mengejar Mentari sambil menanyankan banyak hal.

"Tar, kamu serius? Bulan sama Bumi? Kamu gak cemburu?"

"Hahaha! Apaan sih Gi, yang bener aja. Aku sama Bumi kan gak lebih dari sepasang sahabat."

Gina mendengus pelan. "Kamu kenapa sih selalu nyangkal kalo kamu suka sama Bumi?"

"Siapa yang bilang kalo aku suka sama Bumi sih, Gi? Lagian siapa juga yang nyangkal?" tanya Mentari balik. Gina terdiam, memang tidak ada yang bicara tentang itu, tetapi ia tahu semuanya dari sorot mata sahabatnya itu.

"Yaudah, aku duluan ya. Kamu semangat ekskulnya!"

Gina mengangguk, ia menatap punggung Mentari yang perlahan menjauh darinya. Setelah ia perhatikan secara teliti, lama-kelamaan jalan Mentari semakin melambat, ditambah lagi kini ia memegang kepalanya seperti orang yang sedang kesakitan. Baru saja Gina ingin menghampiri Mentari, tetapi dirinya sudah dipanggil oleh sang pelatih.

"Gina! Cepat ke sini!" teriak sang pelatih dari lapangan. Gina mengangguk dari arah koridor sekolah.

Tanpa sengaja, ia melihat Naren yang sedang berjalan menuju parkiran motor. Ia segera menepuk pundak Naren. "Na!" panggilnya.

Naren mengangkat salah satu alisnya, yang artinya adalah 'apa?' ia memang tidak terlalu suka berbicara.

"Tolong anterin Mentari, ya?" pinta Gina sembari melihat ke arah Mentari.

"Bumi?" tanya Naren. Ia tahu, biasanya Mentari selalu pulang dengan sahabatnya, Bumi.

"Sama Bulan."

Jawaban Gina membuat Naren mengerti semuanya. Ia mengangguk. Gina tersenyum simpul, "Makasih!" katanya lalu segera berlari menuju lapangan.

***

Mentari memegang kepalanya yang terasa pusing, padahal ia sama sekali tak melakukan aktivitas berat hari ini. Tangan serta bibirnya memucat. Entah mengapa, biasanya ia tidak separah ini.

Kini dunia seperti berputar menurut pandangannya. Mentari tak kuat lagi untuk menahan rasa sakit di kepalanya itu, hingga akhirnya ia terjatuh lemas. Namun, nasib baik berpihak padanya. Seseorang menahan tubuhnya agar dirinya tak terjatuh.

Semesta dan Rahasianya || JenRinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang