Lima

418 79 3
                                    

Sore ini Mentari dan Naren telah berada di rooftop rumah sakit. Hanya untuk sekedar mencari angin sekaligus sedikit bercerita.

"Jadi, sejak kapan?" tanya Naren tanpa melihat Mentari sama sekali.

"Tiga tahun lalu," jawab Mentari.

Naren menghembuskan napasnya, ia menoleh ke arah sumber suara. "Bumi bahkan gak tau, Tar."

Mentari menundukkan kepalanya. "Iya."

"Kenapa?"

"Kamu tahu kan, Bundanya Bumi juga meninggal karena itu?" Mentari mengalihkan pandangannya ke arah Naren, sedangkan Naren mengangguk pelan. "Ya... dulu Bumi pernah cerita tentang itu dan itu jadi salah satu hal yang bikin dia sedih. Jadi aku gak mau dia sedih, lagi."

Naren paham sekarang, ia tahu alasan Mentari menyembunyikan hal ini dari Bumi sahabatnya. "Tar, kalo dari sepengelamanku lebih baik kamu jujur aja."

Mentari menggeleng pelan. "Enggak, Na..." ia menggantungkan ucapannya. "Lagian, aku juga belum siap."

"Semua pilihanmu, Tar. Semoga ini yang terbaik."

"Na," panggil Mentari pelan. "Tolong jangan kasih tau Bumi..."

Naren mengangguk, sedikit berat untuknya jika ia menjaga rahasia ini. Ia sendiri tahu bahwa Bumi sudah menganggap Mentari sebagai salah satu alasannya bahagia selama ini.

"Iya."

Satu kata itu membuat Mentari lega, ia tersenyum lalu bangkit dari duduknya. "Makasih, Na." Naren mengangguk sebagai jawaban sembari ikut berdiri mengikuti Mentari.

"Pulang yuk, udah mau sore nih! Terus kayaknya udah mau hujan juga," ajak Mentari sambil melihat langit yang perlahan mulai menggelap.

Naren mengangguk, tetapi bukannya ia berjalan menuju tangga, kini ia malah melepas jaket hitamnya, itu jaket anggota Pemimpi. Bumi dan anggota lainnya juga memiliki jaket itu. Ia menyodorkan jaket itu pada Mentari.

"Pake, ya."

Sudah tertebak, Mentari pasti menolaknya. "Gak usah kali, Na. Lagian belom hujan ini."

"Maaf." Naren meminta izin untuk memakaikan jaketnya di tubuh Mentari, sedangkan Mentari tersentak kaget. "Bumi selalu cerita, katanya peri manisnya gak boleh kedinginan, apapun keadaannya."

Mentari tersenyum, apalagi saat nama 'Peri Manis' itu disebutkan, itu adalah panggilan Bumi padanya saat masih zaman sekolah dasar dulu.

"Makasih, Na."

Naren tersenyum manis. "Ayo."

***

Bumi mengendarai motornya dengan santai, senyuman manis terukir di bibirnya saat mengingat kejadian beberapa jam yang lalu di toko buku. Sekarang ini ia sedang menuju rumah Mentari, dibawanya satu bungkus martabak manis kesukaan sahabatnya itu, ia tak sabar untuk menceritakan semuanya pada Mentari.

Tak! Tak! Tak!

Suara keras itu berasal dari tiga buah batu yang Bumi lempar ke arah jendela kamar Mentari. Ya, hal itu juga sudah biasa ia lakukan, sebelum mereka berdua diberi telepon genggam, Bumi selalu memanggil sahabatnya itu dengan tiga buah batu yang ia lemparkan ke arah jendela, Mentari juga sudah hafal akan hal itu.

Mentari hampir saja tersedak obatnya, untung saja ia segera menelan obat berbentuk tablet itu. Ia mengembuskan napasnya kesal, lalu membawa sebuah buku tulis yang ada di depannya, ia berjalan menuju arah sumber suara, yaitu jendela, kemudian tanpa basa-basi ia langsung membuka jendela itu.

Semesta dan Rahasianya || JenRinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang