Tujuh

520 80 2
                                    

Hari demi hari telah berlalu, tak terasa hari ini adalah hari terakhir di tahun 1999. Semua orang sibuk meramaikan tahun baru dengan orang terkasih, sama halnya dengan Mentari.

Malam ini Mentari, Gina, Mahen, Naren dan Haikal sedang sibuk menyiapkan acara untuk malam tahun baruan kali ini. Sedangkan yang lainnya? Sudah pasti mereka semua sengaja datang terlambat. Rencananya, acara akan dimulai pukul 9 malam.

Kini semuanya sudah lengkap, Cakra datang dengan ikan di tangannya, Raja terlihat bangga dengan banyaknya jagung yang ia bawa dan Aji si anak bawang yang datang dengan santainya tanpa membawa makanan apapun. Tapi tunggu dulu, kemana Bumi?

Mentari melihat sekitar, ia juga mengirim pesan pada Bumi, tetapi sayangnya pesannya belum dibalas. Lamunannya tersaadar saat Gina menepuk bahunya pelan.

"Tar, Bumi mana? Udah mau mulai nih!"

"Mmm..." Mentari menggeleng, ia sendiri juga tidak tahu dimana Bumi. Perasaannya berubah menjadi tidak enak.

Plak!

Aji menaruh kedua tangannya di pundak Gina dan Mentari. "Lagi pada apa sih? Bantuin tuh lagi nyusun kayu buat api unggun."

Gina mendorong kepala Aji pelan. "Enak aja main rangkul orang sembarangan! Kamu tuh sana bantuin, jangan cuma uncang-uncang kaki aja!"

"Hehehe iya iya maaf, ini baru mau bantuin." Aji nyengir.

"Ah, ngomong-ngomong sayang banget ya Bumi gak bisa ikut tahun baruan bareng kita."

Mendengar ucapan selewat dari Aji tersebut, membuat Mentari menaikkan salah satu alisnya heran. Apa maksud Aji berkata seperti itu? Bukankah saat di rumah sakit Bumi sudah berjanji padanya akan merayakan acara tahun baruan bersama?

"Maksudnya?" tanya Mentari refleks.

"Ya... emang kalian gak tau? Hari ini Bumi juga ada acara malem tahun baruan sama Bulan dan keluarganya."

Mentari terdiam, ia mati kutu. Dirinya sudah tak merasakan rasa sakit lagi, ini bukan pertama kalinya ia dikecewakan oleh sang sahabat yang dicintainya itu. Namun, entah mengapa kali ini rasanya berbeda.

Selama waktu berjalan, memang benar Bumi menjadi lebih dekat dengan pujaan hatinya, Bulan. Benar pula jika selama itu dirinya lebih memprioritaskan si gadis dengan senyuman manis itu dibandingkan sang sahabat, Mentari.

"Udah ah, aku mau bantu-bantu dulu."

Aji berjalan untuk menghampiri teman-temannya yang sedang sibuk memilih kayu bakar. Sedangkan Mentari, ia masih mematung. Ingin rasanya Gina memukul kepala Aji dengan keras, mentang-mentang menjadi bayi Pemimpi, Aji jadi seenaknya berbicara tanpa berpikir dulu.

"Tar, kamu gak apa-apa?" tanya Gina memastikan.

"Hm?" Mentari tersadar dari lamunannya untuk yang kedua kalinya. Air mata kecewa di bola mata cantiknya hampir saja terjatuh. Gina menggigit bibir bawahnya pelan, ia tak tahu harus berbicara apa, ia selalu menjadi saksi patah hatinya Mentari yang disebabkan oleh Bumi.

Mentari tersenyum paksa. "Yuk bantuin yang lain!" ajaknya. Gina menahan pergelangan tangan sahabatnya, ia tahu Mentari sedang tidak baik-baik saja.

"Aku gak apa-apa kali Gi, emangnya aku kenapa?" ia malah bertanya balik, Gina tahu sahabatnya berbohong.

"Lagian Bulan kan juga sahabat kita, gak ada salahnya juga. Aku duluan ya."

Gina diam mematung sambil melihat pundak sang sahabat yang perlahan mulai menjauh. Ia bingung sekali mengapa sahabatnya selalu menjadikan senyum sebagai sebuah senjata. Dirinya terduduk di kursi halaman yang agak jauh dari tempat pembuatan api unggun, ia memejamkan mata perlahan. Hingga akhirnya ia tersadar bahwa ada seseorang yang telah terduduk di sampingnya, perlahan ia membuka pejaman matanya dan menoleh.

Semesta dan Rahasianya || JenRinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang