Dua Cincin [Bab 07]

243 22 2
                                    

Selamat membaca. Jangan lupa tandai typo!

Minggu, 13 Februari 2022




"Selamat pagi dunia. Hari ini aku siap menyambut kepulangan yang sebenarnya. Pulang ke sisi pria yang aku cintai," ucap Nanda pada cermin di hadapannya. Ia baru saja menyelesaikan mandi paginya, ia bahkan tidak sabar untuk segera mendatangi rumah Mandala dan Hera.

"Aku menunggu hari ini selama bertahun-tahun, melewati hari-hari berat dengan menanggung rasa sakit dari cinta yang terenggut."

Bagi Nanda, Hera adalah wanita yang merenggut Mandala darinya. Memberikan luka di hatinya yang sakitnya tak pernah bisa terobati hingga hari ini.

"Aku merindukan hari-hari kebersamaan kita, Mandala. Hari-hari di mana hanya ada aku dan kamu. Benar-benar hanya kita berdua, seperti dulu," tuturnya sendu sambil memandang cincin pemberian Mandala. Cincin yang menjadi simbol kebahagiaan bagi Nanda, tetapi malapetaka bagi Hera.

"Kalau saja Hera nggak pernah masuk di hidupmu, aku pasti akan menjadi istrimu. Ibu dari anak-anakmu. Tapi sialan, wanita itu merebutmu dariku! Bahkan membuatku tersingkir dari kehidupanmu!"

Masih dengan senyum yang merekah bak bunga mawar, sang tokoh antagonis itu lantas berdiri dari duduknya. Membuka lemari pakaian dan mengambil pakaian terbaiknya.

Gaun berwarna putih gading, tanpa lengan, dengan panjang hanya sampai di atas lutut. Nanda memandang takjub gaun yang sengaja ia beli untuk menyambut hari bahagia ini.

Ketika Nanda mengenakan gaunnya ia dibuat terpana dengan penampilannya sendiri. Dari cermin besar di meja rias, memantulkan bayangan dirinya yang terlihat sangat anggun dan berkelas. "Orang cantik kalau pakai apa pun akan terlihat cantik. Aku yakin kamu akan terpesona denganku," ucapnya penuh percaya diri.

Setelah puas memuji kecantikan dirinya Nanda beralih pada sebuah paper bag yang berisi sepatu dengan merek brand ternama.

"Waw! You're so pretty girl, Nanda!" Sekali lagi, Nanda kembali memuji dirinya. Sungguh, ia sendiri bahkan tidak menyangka mampu tampil secantik ini. Dan ini pun pertama kalinya ia memakai pakaian yang cukup terbuka. Namun ia menyakinkan dirinya bahwa ini bukanlah hal yang salah. Memangnya apa yang salah jika seorang wanita tampil cantik di hadapan pria yang ia cintai? Bukankah itu hal yang wajar? Bukankah semua wanita akan melakukan hal yang sama?

"Nggak ada yang salah. Kamu melakukan hal yang benar, Nanda." Nanda menyakinkan dirinya. Menepis keraguan juga secuil rasa bersalah yang menggerogoti hati nuraninya.

***


Rencana untuk pergi ke pasar gagal total. Pasalnya Mandala tiba-tiba mendapat kabar dari sekretarisnya bahwa pertemuan dengan beberapa petinggi perusahaan ternyata dimajukan. Dengan sangat terpaksa Mandala membatalkan niatannya untuk ikut serta ke pasar. Dan dampaknya Hera juga tidak diizinkan pergi ke pasar.

Saat ini Hera justru berada di kamar, mengancing kemeja serta mengikat dasi sang suami. Hal-hal kecil seperti mengancing kemeja dan mengikat dasinya Mandala selalu menginginkan sang istri ikut adil dalam hal itu. Ia seolah menjadi bayi besar yang manja.

"Udah rapi sekarang!" Hera menepuk pundak Mandala, bibirnya menyunggingkan seutas senyum melihat sang suami sudah gagah dan siap ke kantor.

"Makasih, Sayang." Mandala pun tersenyum.

"Ya udah, sekarang aku anterin Mas ke depan."

"Abang masih tidur?" tanya Mandala saat ia dan Hera berjalan ke luar kamar.

"Iya, Mas. Kayaknya ini efek dia begadang nonton bola bareng kamu. Astaga! Aku gemas sendiri kalau liat gimana antusiasnya dia sama bola."

"Anak kita kayaknya mau jadi pemain bola, Yang. Kamu dukung, kan, kalau dia mau jadi pemain bola?"

Mandala merangkul pinggang sang istri sambil terus bercerita. Ia memilih tidak berpamitan pada sang putra, Mandala ingin Cakra mendapatkan tidur yang cukup setelah semalam begadang.

"Kalau itu membuat dia bahagia, aku pasti dukung. Lagian, aku juga mau liat Abang bisa menjadi bintang di lapangan. Pasti seru, kan, kalau kita sekeluarga ramai-ramai nonton dia lagi tanding."

Tawa kecil meluncur dari bibir Mandala mendengar pernyataan sang istri. Ia tidak menyangka Hera begitu antusias bahkan sudah memimpikan akan menonton pertandingan sang putra di stadion bola.

"Cakra beruntung bisa punya Ibu yang selalu mendukung dan memberikan yang terbaik untuknya."

Mandala menggenggam tangan Hera, memaku pandangannya pada kedua iris sang istri. Lamat-lamat ditatapnya wajah wanita yang telah merenggut seluruh atensinya. Hera, wanita itu seakan menjadi poros kehidupan Mandala.

Rona merah menjalar di seluruh wajah Hera, bibirnya ia gigit pelan menahan senyum yang akan merekah mendengar pujian dari lelaki tercintanya.

"Mas, kamu harus segera ke kantor. Ngegombalnya nanti aja pas udah balik," Hera berbisik pelan. Ekor matanya melirik supir Mandala yang sudah berdiri di samping mobil.

Bukannya menuruti apa yang dikatakan Hera, Mandala justru kian gencar melontarkan kata-kata mutiara. Ia bahkan memeluk Hera, tak mempedulikan keberadaan sang supir yang mungkin saja menonton adegan romantis mereka.

"Jangan tahan senyummu, Ra. Kamu tahu, kan, kalau aku paling menyukai melihatmu tersenyum. Kalau bukan karena rapat penting ini, aku pastikan kita akan bersembunyi di balik selimut."

Jantung Hera jumpalitan mendengar godaan mesum suaminya, lalu wajah mulus tanpa make up itu memerah layaknya tomat matang.

Cup.

Satu kecupan mendarat mulus di puncak kepala Hera. Punggungnya pun tak luput dari sapuan hangat telapak tangan Mandala. "Mas...," Hera merengek, "please, berhenti buat aku melayang dengan kata-kata dan perlakuan manis kamu." Hera kian membenamkan wajahnya di dada Mandala. "Aku takut nggak bisa fokus nanti. Kata-kata kamu pasti gentayangan di kepalaku."

Tawa Mandala pecah. Kejujuran yang terucap oleh lisan sang istri seakan menegaskan bahwa ia adalah satu-satunya pria yang telah berhasil membuat Hera jatuh dalam pesonanya. Seketika hatinya langsung mengucap syukur karena memiliki istri seperti Hera. Mandala bahkan tidak pernah mendengar nama pria lain terucap dari bibir Hera selama mereka menjalani hubungan asmara. Dan ia bersyukur atas hal itu.

Mandala menunduk, dengan penuh kelembutan ibu jarinya mengangkat dagu sang istri membawanya wajah keduanya untuk saling menatap.

Deg.

Jantung Mandala berdegup kencang ketika kedua irisnya bertubrukan dengan sepasang iris lembut yang menatapnya. Ia dapat melihat cinta yang besar terpancar.

Lalu, tanpa aba-aba Mandala menyatukan kedua bibir mereka. "Kamu terlalu menggemaskan, Ra," bisik Mandala setelah melepaskan ciumannya.

"Ingat pesan aku, nggak boleh beraktivitas yang berat. Kalau capek harus langsung istirahat!"

"Iya, Mas. Aku selalu ingat semua pesan kamu," balas Hera.

Mandala lalu mengecup dahi Hera dalam, sebuah ritual yang tak pernah Mandala lupakan setiap akan pergi ke kantor. Kemudian, ia menunduk, beralih pada sang buah hati yang bersembunyi di dalam perut sang istri.

"Adek, Ayah ke kantor dulu, ya. Kamu di rumah sama Bunda dan Abang Cakra. Baik-baik, ya, di rumah," ujarnya dengan lembut. Tak lupa ia mengecup perut Hera.

"Siap, Ayah!" Hera mewakili suara hati sang bayi. "Udah Mas. Kamu berangkat sekarang aja sebelum terlambat."

"Iya, Sayang. Ya udah, aku berangkat dulu."

"Hati-hati, Mas," ucap Hera setelah ia mengecup punggung tangan sang suami. Mandala mengangguk. Pria itu lantas memasuki mobilnya dan berangkat ke kantor.




Dua Cincin [New Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang