Dua Cincin [Bab 02]

553 29 2
                                    

Identitas cintaku adalah berlabuh di hatimu. Sebab, hanya padamu hati ini merasa damai dan tenang. Sekalipun ombak bisa datang kapan saja, memporak-porandakan kita.


❤️❤️❤️





Ikan nila bakar dan sambal mata tersaji di atas meja makan, kedua menu itu masih panas ketika dibuka dari boks makanan yang dipesan oleh Mandala.

Mandala meletakkan segelas minuman, menarik kursi dan duduk di sebelah Hera yang sudah menatap lapar makan yang sejak tadi diinginkannya.

"Beneran nggak mau pakai nasi?"

Hera menggeleng. "Nggak Mas. Aku cuman kepengen makan ikannya sama sambal mata."

"Ya udah, aku pisahin daging ikan dari tulangnya dulu, ya. Takut nanti kamu kenapa-kenapa," kata Mandala sambil menarik piring yang berisi ikan nila. Pria itu dengan telaten memisahkan daging ikan dari tulang. Begitu selesai Mandala segera menggeser piring tersebut ke arah Hera.

"Makasih," tutur Hera dengan mata berbinar.

"Sama-sama, Sayang. Dimakan."

Kedua mata Mandala terus menatap sang istri yang begitu lahap menyantap nila bakar dan sambal mata. Tiba-tiba saja dadanya berdebar kencang, darahnya terasa hangat ketika mengalir dalam tubuhnya. Perubahan di dalam tubuhnya itu selalu terjadi setiap kali dia melihat Hera bahagia dengan hal-hal kecil yang ia lakukan.

Tangan Mandala terangkat, bergerak pelan di atas puncak kepala Hera. "Pelan-pelan makannya, Sayang," ucapnya.

"Enak banget, Mas. Kamu mau cobain?"

"Nggak. Kamu aja yang makan," tolak Mandala halus.

"Ih, cobain dong! Ini maunya dia, lho."

Mandala mengalah. Jika sudah membawa-bawa bayi di dalam kandungan Hera, maka Mandala harus melakukannya.

"Suapin tapi," katanya dengan wajah polos.

"Manja," Hera mencebik, tetapi tetap dilakukannya.

Ketika satu suapan masuk ke mulutnya, lidah Mandala langsung jatuh cinta pada nila bakar.

"Enak, kan?"

"Enak, Yang. Apalagi makannya sambil disuapin sama istri," puji Mandala.

"Gombal," balas Hera.

"Serius, Sayang." Mandala tersenyum kecil melihat pipi Hera merona akibat pujiannya. "Sini, aku yang suapin aja," kata Mandala sambil mengambil alih piring.

Setelahnya, sepasang suami istri itu makan dengan senyum yang tak lepas dari bibir keduanya.

Mandala membawa piring dan gelas kotor ke atas wastafel begitu selesai makan. Kemudian dia kembali ke meja, menghampiri Hera dan membawa sang istri ke kamar agar beristirahat.

***

Alarm di atas nakas berbunyi, membangunkan Hera yang terlelap dalam pelukan Mandala. Ibu hamil itu segera mematikan alarm, matanya bergerak pelan menatap Mandala yang begitu tenang.

"Mas, bangun!" Hera mengguncang lengan Mandala.

"Hm."

"Bangun!" ulangnya.

Mandala membuka matanya, menatap Hera yang sudah duduk sambil mengikat rambut bergelombang sebahu miliknya.

"Masih ngantuk, Yang. Tidur lagi, yuk!" ajak Mandala sambil memeluk pinggang sang istri. Wajahnya kini menempel pada perut buncit Hera, sambil sesekali menciumnya.

"Katanya hari ini kamu ada rapat pagi, ini udah jam enam, Mas," kata Hera, wanita itu dengan lembut mengusap rambut Mandala.

Tanpa mengangkat wajahnya, Mandala bergumam pelan. "Bentar lagi, Yang. Sepuluh menit lagi."

"Mas."

"Becanda, Sayang. Lima menit lagi aja."

Hera mengalah, membiarkan Mandala menikmati waktunya. Tidak lupa telapak tangannya terus bergerak membelai kepala Mandala membuat pria itu semakin nyaman di atas ranjang.

"Lima menitnya udah lewat, lho." Hera mengingatkan Mandala agar segera menyudahi malas-malasannya. Dengan sangat terpaksa Mandala membuka kedua matanya, menarik wajahnya yang bersembunyi di perut sang istri.

Sambil menatap Hera, Mandala berkata, "Nambah lima menit lagi boleh, nggak?"

"Nggak boleh," Hera menolak tegas. "Ayo bangun!"

Mandala berdecak kesal, namun tetap mengikuti perintah Hera. Ia bangun dari tidurnya, duduk sambil menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. Matanya menatap Hera yang kini sudah bersiap-siap turun dari tempat tidur.

"Sayang, kamu nggak lupa sesuatu?"

Hera menoleh, keningnya berkerut saat mendengar ucapan Mandala. "Lupa apa?"

Tanpa kata Mandala menunjuk bibirnya, gerakan sederhana yang begitu ampuh itu langsung menggetarkan jantung Hera. Kedua pipi wanita itu sontak memerah, sialan. Dia melupakan ritual pagi yang menjadi kesukaan sang suami.

Perlahan Hera mendekati Mandala, meski sudah berulang kali berciuman dengannya Hera masih merasa malu.

Melihat tingkah Hera yang terkesan malu-malu membuat bibir Mandala tersenyum. Sebisa mungkin ia menahan keinginannya untuk menerkam sang istri, dengan sabar dirinya menunggu Hera mendekat.

Senyum Mandala kian melebar saat kedua tangan Hera telah melingkar sempurna di lehernya. Tak lupa sepasang mata indah miliknya pun terpejam kala merasakan lengan Mandala telah menariknya, mempertemukan kedua bibir mereka untuk saling berbagi udara.

"I love you," bisik Mandala setelah menyudahi ciuman keduanya. Sorot matanya yang tegas menatap teduh wajah Hera, menyimpan ekspresi manis sang istri yang begitu memikat hatinya.

Hera menggulum senyumnya, bibirnya sedikit bergetar kala membalas pengakuan Mandala. "I love you to."

Selepas pernyataan manis antara keduanya, kini Mandala sudah beranjak ke kamar mandi. Sementara Hera, wanita itu sibuk menyiapkan pakaian kantor yang akan dikenakan sang suami.

Saat tengah asyik menyiapkan pakaian kantor Mandala, Hera tiba-tiba merasakan gerakan pelan dari perutnya. Seketika ia meringis.

"Ah," Hera pun segera duduk di pinggir tempat tidur dengan kedua tangan mengusap perutnya. "Adek kenapa?" 

Pertanyaan Hera direspon baik oleh bayi dalam perutnya. Sebuah tendangan kecil kembali dirasakannya. Saat Hera ingin melontarkan pertanyaan lagi, tiba-tiba saja pintu kamar mandi terbuka. Mandala yang baru saja keluar dari kamar mandi segera menghampiri sang istri.

"Sayang, ada apa?" Mandala langsung duduk di samping Hera, wajahnya begitu khawatir ketika melihat sang istri tampak kesakitan sambil memegang perutnya.

"Nggak apa-apa, Mas. Dia cuma nendang aja," balas Hera.

Mendengarnya Mandala tersenyum. Pria yang masih mengenakan handuk sepinggang itu lantas mengubah posisinya menjadi berlutut di depan sang istri.

"Adek ini Ayah." Mandala berbicara tepat di depan perut Hera, "Adek kalau mau nendang jangan kencang-kencang, ya. Kasihan Bunda. Nendangnya nanti aja kalau udah keluar. Nanti Ayah sama Abang yang ngajarin Adek main bola."

Selepas ucapan Mandala, sang bayi di dalam perut Hera mulai tenang. Tidak ada lagi tendang kencang seperti sebelumnya.

"Dia kalau sama kamu selalu nurut," ujar Hera sambil menatap perutnya.

Mandala terkekeh kecil mendengar keluhan Hera. Dia pun mengakui hal itu. Perlahan dia berpindah posisi, duduk di samping Hera sambil mendekap tubuh sang istri.

"Kata orang tua dulu, kalau ada bayi di dalam kandungan istri rewel terus hanya bisa diam kalau udah diajak ngobrol sama Papanya itu berarti Mamanya tuh cinta banget sama papanya."

"Aku kan emang cinta banget sama kamu, Mas," balas Hera dengan lugas sambil mendongak menatap wajah Mandala.

"Tapi sekarang, aku lebih mencintaimu lebih dari aku mencintai diriku sendiri."


Dua Cincin [New Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang