Evaporasi [3]

15.1K 834 45
                                    

“Rin … Rin … Rintik!” panggil Awan ketika aku melewati lorong kelas-kelas. Terburu-buru karena Badai sudah sampai dan sedang menungguku di lobby sekarang, aku berniat mengabaikan Awan. Terlambat.  Awan dan Melanie sudah menghadangku terlebih dulu.

“Apaan?” jawabku setengah ketus.

“Lo mau ke mana? Eh, eh, jangan ke toilet lantai 2 yah, bau banget kata Mel.”

“Iya, Rin! Ada orang pup, baunya amit-amit deh,” timpal Melanie.

Untung mereka tak tahu kalau aku yang menyebabkan polusi udara di sana. “Gue mau pulang kok, nggak mau ke toilet,” jawabku datar. 

Aku tak suka! Aku tak suka melihat lengan Awan yang melingkar di pinggang Melanie! Aku benci melihat kemesraan mereka! Shit! Seperti inikah rasa cemburu itu? Menyakitkan!

“Lo pulang naik apa? Bareng gue aja,” ajak Awan.

“Iya, Rin. Bareng kita aja,” kembali Melanie menimpali ucapan Awan. ‘Ih! Nih perempuan enggak punya kalimat sendiri, ya? Enggak kreatif banget nimpalin ucapan Awan terus!’ batinku.

“Enggak ah, gue dijemput kok.”

“Dijemput? Sama siapa?” tanya Awan mengernyitkan dahi.

“Uhhmmm … cowok gue.” Ragu untuk mengakui itu di depan Awan. Terlebih aku belum benar-benar menerima permintaan Badai.

“HAH? LO PUNYA COWOK?” Awan berteriak seperti habis melihat hantu, Melanie pun terbelalak tak percaya dengan ucapanku.

“Kenapa sih? Kok heboh gitu gue punya pacar?” rutukku sebal.

“SIAPA? Lo kok enggak cerita kalo punya pacar? Kapan jadiannya? Kapan deketnya?” cerocos Awan.

“Duh! KEPO! Besok-besok aja ya, gue certain,” jawabku mencari alasan, “dia udah di depan. Gue duluan ya.”

“Eh, tunggu!” Awan menarik kerah bajuku, hampir saja aku terjungkal dibuatnya. “Kenalin cowok lo ke gue!”

“AAAHHH, ribet deh lo, Wan.” Matilah aku! Matilah aku! Matilah aku! “Besok-besok aja ya, dadah.” Buru-buru kulepaskan cengkaraman Awan dan berlari meninggalkan pasangan palsu itu.

Untung saja Badai menungguku di Lobby. Ia berdiri di samping pintu mobilnya, bersandar sembari menatapi layar ponselnya. Ia cukup terkejut ketika aku berlari ke arahnya dengan tangan melambai-lambai memberi isyarat untuk masuk ke dalam mobil. Namun dengan sigap Badai mengikuti isyaratku.

“Kenapa lari-larian gitu?” tanyanya ketika melajukan mobil meninggalkan kampusku.

“Ada Awan tadi,” jawabku mengatur napas. Kemungkinan memang besar untuk Awan mengejarku. Hal itu pernah terjadi di semester dua dulu. Saat itu ada seorang cewek yang sedang diincar oleh Awan. Cewek yang kebetulan aku kenal. Hanya demi mendapatkan nomor telepon Sania, Awan mengejarku keliling kampus karena aku tak mau menyerahkan ponselku untuk dibedah.

“Oh….” Badai terlihat tak berniat menanggapiku. “Lo yakin mau langsung pulang?”

“Eh.” Duh! Tak mungkin aku langsung pulang begitu saja, kan? Aku sudah terlanjur mengakui dia sebagai pacarku di depan Awan. Setidaknya Badai harus tahu. “Makan dulu aja gimana?”

Badai tersenyum lebar lalu mengangguk. “Makan di?”

“Terserah lo aja.”

~*~*~*~

Ketika Badai membelokan mobilnya memasuki Kemang, kupikir kami akan makan di salah satu resto di jalan yang terkenal itu. Ternyata aku salah. Badai membawaku ke rumah besar yang terlihat … hhmmm … sangat biasa. Malah terkesan tua. Rumahnya berlantai dua dengan cat berwarna krim dan paduan batu bata untuk aksennya.

RintikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang