Sejak mengantarku kemarin sampai pagi ini aku berangkat ke kampus, Badai tak ada kabarnya. Sms-ku tak dibalas, telepon juga tak dijawab. Sepertinya ia benar-benar marah karena aku keceplosan menceritakan alasanku pacaran dengannya ke Awan. Aku memang tolol!
Di kampus, aku juga tak menemukan pasangan palsu Awan dan Melanie. Padahal aku sudah menyiapkan pidato amukan untuk Awan hari ini. Ingin sekali aku membenturkan kepala Awan yang tak berotak itu ke dinding beton lorong kampus. Sialnya niat itu harus kuurungkan.
Ini benar-benar konspirasi!
Sampai di hari Jumat, tak satu pun dari ketiga orang itu yang muncul! Awan dan Melanie tak masuk kampus seminggu penuh. Badai tak bisa dihubungi sama sekali! Aku kesal! Ingin rasanya kuberteriak pada siapa saja! Namun tak adil kalau itu kulakukan pada orang tak bersalah.
Ada sedikit–hanya sedikit!–kerinduan dalam hatiku kepada Badai. Aku kangen suaranya.
Sabtu pagi dan aku telah memutuskan untuk tidur seharian. Sama sekali tak ada rencanaku keluar hari ini. Malas, kesal, sebal, dan entahlah. Hatiku rasanya hampa. Kutarik lagi selimut sampai menutupi kepalaku. Menghalau bersitan cahaya Matahari yang memasuki kamar lewat sela-sela tirai hijau.
Rasanya baru lima menit yang lalu aku terbangun, kini sebuah guncangan di kasur kembali membuatku membuka mata. Sebal. Itu yang kurasa ketika mengetahui siapa pembuat gempa kecil di tempat tidurku yang nyaman.
“Ngapain loe ke sini?”
“Mulut loe bau! Minum dulu kek, gosok gigi! Baru ngomel!” balas Awan sambil menutup hidungnya.
“Kampret!” Buru-buru kudorong tubuhnya jatuh dari tempat tidur sebelum kuberanjak dari kasur dan lari ke kamar mandi.
Kedekatan Awan pada keluarga ini memang terkadang menyebalkan. Saking dekatnya, ia bisa kapan saja datang dan masuk rumah tanpa harus konfirmasi. Tak jarang juga Awan menginap dan Mama dengan senang hati memanjakannya. Mama bahkan sudah lama menganggapnya sebagai anak. Seperti anak lelaki yang tak pernah ia dapatkan. Bukan hanya Mama saja, Papa dan Pelangi pun menyayangi Awan seperti dia bagian keluarga ini. Menyebalkan.
Setelah menuntaskan ritual bangun tidur–menyikat gigi, mencuci muka, dan merapikan rambut–aku kembali ke dalam kamar dan menemukan Awan masih menyandarkan tubuhnya pada bantal-bantalku yang ditumpuk menjadi satu di atas kasur. Berbaring santai sambil memainkan ponselnya.
“Ngapain loe di sini?” tanyaku ketus. Tak ada sedikit pun ekspresi bersalah di wajah bodoh itu karena sudah menghilang satu minggu! Itu yang membuatku ingin mencabik-cabik kepala botaknya!
“Oh, gue bawa sesuatu buat loe,” jawabnya santai tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel.
“Bawa apaan?”
“Di atas meja belajar, liat sendiri aja,” Awan menjawab tanpa melihatku.
Mataku langsung menuju tempat yang dibilang Awan. Di atas meja, sudah ada satu map merah. Kuhampiri, kuangkat, kulihat dalamnya. Pada halaman pertama kutemukan sebuah biodata, Badai Prawira Putra. Lahir di New Orleans 8 Agustus 1990. Lalu alamat rumah, nomor telpon, riwayat pendidikan, akun-akun di dunia maya, bahkan hobi juga!–yang kuyakin ini ada fitnah Awan, mana ada orang yang memiliki hobi ‘menghancurkan hati wanita’?
“Maksudnya apaan nih? Kenapa loe kasih gue ginian?” Kulempar map itu ke arah wajah Awan. Walau mendarat di perutnya, namun Awan akhirnya mengalihkan pandangan ke arahku.
“Biar loe tau, siapa sebenernya cowok loe tuh.”
“Gue enggak butuh ini, Wan!” bentakku marah.
Awan bangkit, diambilnya map merah itu dari atas perut, dan diberikan kembali padaku. “Percaya gue, Rin. Loe perlu banget baca ini! Informasi di situ, bukan informasi kacangan yang gue dapet dari omongan orang. Itu hasil kerja agen profesional!” ujarnya seraya menatap tajam padaku. Jarak wajahnya hanya beberapa senti saja dari mukaku. Aroma parfum yang ia kenakan bahkan menusuk indera penciumanku. Aku sangat hafal bau ini, bahkan bila dia tak berada di hadapanku.
“Agen profesional?” tanyaku tak percaya. Aku tahu, Awan bisa melakukan apa saja yang ia mau kalau ia sudah berniat melakukannya. Namun sampai menyewa agen profesional hanya untuk mencari tahu soal Badai, untuk apa? Apa tujuannya?
“Iya! Gue bela-belain nyewa detektif pribadi buat nyari tau soal cowok loe itu! Selama ini gue enggak bener-bener kenal dia, gue tau cuma sebatas kekayaannya aja. Sebatas mobil dan gadget mewah yang dia bawa,” jelasnya. Wajah kami kini terlalu dekat. Bisa kurasakan embusan napas hangatnya di ujung batang hidungku. Jantungku berdetak kencang. Kutahan diri untuk tidak memeluk–atau mungkin mencium– Awan detik ini juga.
“Buat apa? Apa tujuan loe, Wan,” tanyaku menggeleng heran. Mencoba menghapus hasrat gila dari dalam hati.
“Gue … mmm … gue cuma ngejagain loe doang kok,” jawabnya pelan sambil membuang muka, lalu mundur dua langkah dariku. Demi Tuhan! Aku benar-benar tak mengerti maunya Awan. Alasannya tak masuk akal! Hanya membuatku semakin kesal! Sialan. Aku harus menjauh dari Awan saat ini juga. Berharap debar kencang di dadaku bisa normal kembali.
“Loe bawa mobil yang mana?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Yang merah, kenapa?”
“Bensinnya ada?”
“Maksud loe apa?” tanyanya ketus, “kapan mobil gue pernah enggak ada bensinnya?”
Kuhiraukan pertanyaan Awan, “Pinjem kuncinya dong, gue mau ambil CD di dalem mobil loe,” pintaku berbohong. Yang kutahu saat ini hanya aku harus pergi; menjauh dari Awan sebelum nafsu mengaburkan akal sehatku.
Sambil merogoh saku celananya, Awan berjalan menuju kamar mandi. Tanpa curiga dilemparkannya kunci mobil padaku sebelum ia masuk. “Ambilin baju gue sekalian, di tas di jok belakang, gue belum mandi,” ujarnya sebelum menutup pintu.
Buru-buru kutangkap kunci itu. Kuambil dompet dan ponsel dari atas meja nakas, tak lupa juga sweater biru muda yang menggantung di belakang pintu, lalu keluar dari kamar. Tergesa-gesa, aku hampir tersandung di tangga ketika menuruninya. Kudengar suara Mama dan Papa dari arah dapur. Tanpa pamit, aku keluar rumah.
Jazz merah milik Awan terparkir tepat di depan gerbang rumah. Lampunya berkedip menyambutku ketika kutekan tombol unlock di remote yang tergantung pada kuncinya. Aku bersyukur hari ini Awan memutuskan membawa si Jazz merah. Aku tak berani mengendarai Fortuner putihnya yang besar itu. Kunyalakan mesin mobil dan tanpa menoleh kanan-kiri, aku melajukannya meninggalkan rumah.
~*~*~*~
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintik
RomanceKau tak akan mampu berdansa dengan Badai bila kau terus mengharapkan Awan terang memelukmu.