Kondensasi

16.4K 886 46
                                    

Badai sempat meninggalkan aku sesaat. Ia harus memindahkan barang-barang belanjaan dari bagasi mobilnya ke rumah utama. Badai bilang, ia baru selesai mengantar ibunya berbelanja sebelum menjemputku tadi. Ibunya saat ini sedang berada di salon langganan. Karena itulah ia membawa Petir pulang bersamanya. Keluarganya tidak mempercayai pengasuh bayi, Badai jadi harus menjaga adiknya.

Sekembalinya, Badai membawa satu kotak pizza di tangan kirinya dan beberapa kaleng minuman dalam kantong plastik di tangan kanannya. Ia langsung menghampiriku, meletakan barang bawaannya ke atas meja, dan duduk di sampingku.

"Makan." Badai membuka kotak pizza, mengambilnya satu potong, dan melahapnya tanpa ampun.

"Ho'oh," jawabku mengikuti jejaknya. Kuoleskan saus sambal ke atas potongan pizza-ku sebelum mulai memakannya.

"Ada yang beda deh kayaknya sama lo hari ini. Apa ya?" Badai mengamatiku.

"Masa, sih? Kayaknya enggak deh." Diperhatikan dengan tatapan tajam seperti itu membuat aku salah tingkah.

"Kayaknya iya, deh." Badai menggeser tubuhnya mendekat. Aku semakin salah tingkah, jantungku mulai berdebar kencang.

Harusnya ini bisa menjadi latihan bagiku. Toh, aku dan Badai sudah jadian – okay, walau hanya aku saja yang tahu, oh, dan Awan tentu saja. Aku harus membiasakan diri, 'kan? Berdekatan dengannya – di dalam hubungan pacaran. Tapi Badai tetap harus tahu, dan aku bingung harus memulai dari mana untuk memberitahunya.

"Hhmm ... tentang itu ...," gumamku ragu-ragu.

"Apa?"

"Soal itu ... yang kemaren." Aku mengunyah pizza-ku pelan-pelan, berusaha tak acuh dan menutupi grogiku dengan makan. 

"Apaan sih?" Badai semakin mendekat. Kali ini ia memandangi wajahku dengan ekspresi penasaran. Menggemaskan ... eh? Detak jantungku semakin kencang.

"Itu loh, yang pas kita makan, yang kamu tawarin ke aku!" jawabku gemas.

"Yang mana sih? Nawarin apaan? Eh ... bentar, 'kamu'?" Badai menyeringai jahil. Aku yakin dia sudah mengerti maksudku. "Apaan sih, Rin? 'Kamu' ngomongin apaan sih?" tanyanya dengan menekan kata 'kamu' padaku. Aku semakin yakin, ia sudah paham!

"AAAAAAAh, Badai. Jangan iseng, ah!" Aku mendorong tubuhnya menjauhiku.

Badai menangkap tanganku, menariknya mendekati tubuhnya. "Kalo ada 'kamu' berarti ada 'aku'," ujarnya dengan wajah serius, "artinya apa, Rintik?"

"Ya kupikir, mungkin, aku bisa mulai berlatih ngobrol dengan pacarku dengan bahasa aku-kamu seperti layaknya pasangan normal yang sering kulihat."

"Pacarmu?" Mata Badai membelalak. Wajahnya terlalu dekat hingga aku bisa melihat pupil matanya mengembang, menunjukkan iris warna cokelat muda yang bergradasi dengan cokelat tua kehitaman. 

Aku tersipu. Menunduk malu. Entah mengapa, aku merasa aku sedang 'menembak' dia. Bukan memberikan jawaban padanya. Walau semua ini bertujuan untukku melupakan Awan – membuat Awan cemburu kalau aku seberuntung itu.

"Jadi sekarang kita, pacaran?" tanyanya. Aku hanya mengangguk. Badai merapatkan tubuhnya padaku, melingkarkan tangannya ke pinggangku, "Berarti aku boleh begini?" tanyanya lagi. Aku kembali mengangguk – menahan debaran jantungku yang sudah tak karuan. Badai adalah satu-satunya cowok yang pernah sedekat ini padaku – selain Awan tentu saja, namun rangkulan dan pelukan Awan tak pernah kuhitung! 

Badai mengangkat wajahku dengan jemarinya. Ia kembali menatapku tajam. Sesekali ia memandang ke bawah. "Kalau begini?" tanyanya mempersempit jarak di antara wajah kami. Aku tak sempat menjawabnya, Badai terlanjur mendaratkan bibirnya yang lembut ke atas permukaan bibirku. Mencuri ciuman pertamaku.

RintikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang