"Kamu enggak apa-apa?" tanyaku begitu Badai tenang. Kuberikan segelas air putih kepadanya. Setelah minum seteguk, Badai menggeleng. "Apanya yang sakit?" Kuamati luka-luka lebam pada wajah itu. ada segores garis merah bekas cakaran; kuyakin hasil dari kuku kelingking Awan yang memang sengaja dipanjangkan untuk alasan ngupil.
"Gua enggak nyangka, cewek itu bisa bikin gua nangis begini," ujarnya pelan seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Cewek itu?" ulangku tak mengerti.
Kedua alis Badai naik turun dengan cepat. "Cewek yang bukannya nyari jodoh pas ada di tempat penuh cowok ganteng dan tajir, tapi malah ngambil makan tanpa jaim; cewek yang ninggalin 'cowoknya' di pesta dan milih pulang naik taksi; cewek yang mengernyitkan muka pas liat mobil sport mewah parkir depan rumahnya; cewek yang ternyata seru banget diajak ngobrol dan bercanda." Badai menyerocos tanpa henti. Sorot matanya menajam di tiap kalimat yang ia ucapkan. "Cewek yang hatinya udah diambil sama orang yang enggak gua suka!" Badai menunduk lalu menggeleng lagi. Diembuskannya napas panjang dan perlahan.
"Dai?"
Badai mengangkat kepala dan menatapku lekat. Tangannya terangkat satu dan menyentuh pipiku. "Kamu hebat Rintik," katanya pelan.
Hebat? Kali ini aku benar-benar tak mengerti maksud ucapannya. Hebat? Apanya dari diriku yang hebat? Seorang yang bahkan tak bisa mengambil keputusan tepat akan perasaannya sendiri tidak pantas disebut hebat. Pujian itu terlalu berat dan membebaniku.
"Dalam waktu singkat, kamu bisa bikin aku kaya gini," lanjutnya menyunggingkan senyum. Badai menarik kepalaku mendekat lalu meninggalkan kecupan hangat yang lama di kening. Bekas bibirnya terasa panas. Panas yang menjalar ke dada dan entah mengapa terasa seperti mengoyak hati.
Badai bangkit dan berdiri di depanku yang duduk pada sudut kasur. Kedua tangannya diletakan di kedua bahuku. Ketika aku juga ingin ikutan berdiri, tangannya menekan agar aku tetap duduk dan mendorong tubuhku sampai merebah. Adegan ini. Sama seperti waktu aku ke rumahnya dulu.
"Aku enggak akan lepasin kamu Rintik," ucapnya sebelum menempelkan bibirnya pada bibirku.
Kalau ditanya ciuman siapa yang paling kusuka, aku dengan jujur akan mengakui kalau ciuman Badai lebih ... apa yah kata-kata yang tepat untuknya? Entahlah. Cara Badai melumat bibir ini lebih kusukai dari pada Awan. Lembut, pelan, tidak terlalu basah—tak seperti ciuman Awan yang seolah memburu dan mengajak bertukar liur—dan membuai. Apa mungkin karena bibir Badai terasa lebih tebal dan berisi dibandingkan bibir Awan yang tipis dan terasa keras? Entahlah ....
Kurasakan tarikan pada bibir Badai di sela lumatannya. Dia seperti mengajakku ikut menikmati setiap gerakan bibirnya, setiap kaitan lidahnya dan setiap kecup kecil yang terus berulang hingga aku lupa suasana.
Suara pengajian dari speaker masjid dekat rumahlah yang mengembalikan aku pada realita. Sialan! Sudah hampir subuh ternyata. Aku benar-benar lupa waktu dibuatnya. Sebentar lagi Bi Njah pasti bangun. Akan histeris dia kalau mendapati ada cowok tak dikenalnya yang berada di kamarku.
Buru-buru kuantar Badai ke luar rumah. Sebelum dia kembali memanjat pagar, diberikannya aku ciuman singkat. "Kamu langsung bobo ya," ujarnya menyudahi ciuman kami itu. Kepalaku dibelai satu kali, sebelum dia mendaratkan kecupan hangat di kening. Aku langsung masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu tak lama Badai menyalakan mesin mobil dan melaju pergi.
Untungnya metabolise tubuh ini sedang berpihak padaku; tak seperti biasanya kalau aku baru bangun tidur. Baru sekarang aku merasakan mulas luar biasa. Perutku minta dikuras.
~*~*~*~
Lelah!
Itu yang kurasakan ketika aku membuka mata tadi. Seandainya saja aku bisa bolos kuliah hari ini. Sayang, ada mata kuliah dosen galak yang gila absensi; aku sudah pernah enggak masuk dua kali. Dengan kaki terasa seberat gajah, aku melangkah memasuki lobi kampus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintik
RomanceKau tak akan mampu berdansa dengan Badai bila kau terus mengharapkan Awan terang memelukmu.