Mendung [3]

12.7K 781 33
                                    

“Abis sarapan, langsung mandi ya,” suruh Awan ketika satu gigitan roti tawar isi susu kental manis baru saja masuk dalam mulutku. “jangan kesiangan, nanti keburu panas,” lanjutnya.

“Emang mau ke mana?” tanyaku membayangkan tujuan rekreasi yang bisa dicapai dari vila ini. Satu-satunya tempat terdekat ada Taman Safari, tapi Awan membenci makhluk berbulu, jadi tak mungkin ia akan membawaku ke sana.

“Kencan.” Awan melengoskan wajah setelah mengucapkan kata menjijikan itu.

“Kencan? Ke mana?” tanyaku sekali lagi.

“Ada aja! Dah ah, gua mandi duluan. Lu juga mandi sana!” Awan langsung beranjak dari duduknya.

Sejak semalam, sikapnya aneh. Kurasa udara dingin Puncak membuat otaknya makin rusak. Entah apa yang ada dipikirannya sekarang. Kencan? Sejak kapan aku bisa kencan dengan dia. Dasar aneh!

Setelah menghabiskan setangkap roti dan jus jeruk dingin, kuputuskan untuk menuruti perintah Awan. Itu keputusan bijaksana yang kuambil selama 24 jam terakhir ini. Setidaknya sekarang ia tak akan bisa mereweliku hanya untuk mandi.

Di bawah guyuran air hangat, pikiranku kembali mengelana pada Badai. Di mana dia sebenarnya? Mengapa tak juga mengabariku? Istri? Aku masih belum sepenuhnya mempercayai Badai punya istri. Walau info itu kudapatkan dari Namira, aku tetap belum percaya. Mungkin aku hanya tak ingin percaya. Sangat tidak ingin!

***

TAMAN BUNGA NUSANTARA. Papan tulisan itu begitu besar ketika kami lewati. Dan entah kenapa terasa seperti khayalan. Taman Bunga? Taman Bunga? Bunga dan Taman? Ih!

Bukannya aku memiliki sensitivitas yang mengacu pada sikap tidak suka akan kedua kata itu. Tapi, sangatlah ANEH membaca dua kata itu ketika di sisiku ada Awan. Oh, aku baru ingat soal kencan. Taman bunga, Awan, kencan. Yep, sangat ANEH. Rasanya aneh. Atmosfernya aneh. Dan entah berapa kali aku menyebut kata itu sampai aku sendiri sebal. ANEH!!!

Ide kencan Awan ini sangatlah menjijikkan. Sangat!

Aku curiga, jangan-jangan dia juga menyiapkan bubuk warna-warni yang akan ditabur ke udara saat dia mulai joget nanti. Dan tentu saja akan ada penari latar yang muncul mendadak entah dari mana!

Aku bergidik ngeri karena pikiranku sendiri.

Membayangkan malunya saja aku tak sanggup.

Kugelengkan kepala untuk mengusir imajinasi gila itu.

Awan baru saja selesai memarkirkan mobilnya. Tak begitu jauh dari pintu masuk taman itu. Begitu mesin mobil dimatikan, ia menoleh, “Yuk!” ajaknya terdengar antusias dengan senyum lebar seperti anak kecil yang mendapatkan mainannya kembali.

Dan desir itu seketika kembali. Dari perut, geli menjalar sampai ke dada, mengetuk jantungku satu kali sebelum menggedornya tanpa henti. Ini menyesakkan. Aku tak suka rasanya. Aku tak suka seperti ini. Awan sialan!

Bagaimana bisa aku melupakannya, kalau dia sedang berusaha keras membuatku melupakan orang lain—yang  juga ingin aku melupakan dia?

Awan langsung menarik tanganku begitu aku keluar dari mobil. Digiringnya aku ke depan loket pembelian tiket. Tanpa melepaskan genggaman tangannya, Awan mengeluarkan uang dari dompet untuk membayar tiket masuk. Sikapnya ini benar-benar tak biasa.

Genggaman Awan mengingatkanku pada jemari Badai. Kenyamanannya, entah kenapa terasa terlalu beda. Tangan Awan terasa janggal sedangkan jemari Badai terasa lebih pas di sela jariku. Lucu. Padahal keduanya sama-sama hanya genggaman.

Setelah melewati loket, Awan terus menarik tanganku. Membawaku ke depan jam besar yang dikelilingi bebungaan warna-warni. Seandainya aku tahu jenis-jenis bunga cantik itu. Yang kuhafal darinya hanya para mawar.

RintikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang