Mendung [2]

12.8K 877 44
                                    

Aku tak tahu sejak kapan rasa ini ada. Atau apa rasa ini. Atau ... entahlah. Semuanya terkesan semu. Tak nyata. Seperti berada dalam mimpi lucid. Apa aku terlalu berharap? Kalau Badai tak seperti Awan. Cowok yang menawarkan pertolongan saat aku butuh. Cowok yang berjanji untuk membuatku mencintainya agar aku bisa melupakan cintaku pada Awan. Apa aku terlalu berharap, kalau Badai cowok baik? Apa aku terlalu berharap, kalau Badai berbeda? Kalau Badai tak akan mengecewakanku?

Apa aku telah jatuh cinta juga? Apa aku sudah mencintai Badai? Apa ini rasanya cinta? Mengapa berbeda dengan apa yang kurasakan untuk Awan? Ini beda. Rasanya beda. Rasanya menyakitkan. Menyiksa.

Ponselku berdering lagi. Private Number tulisan yang tertera di layarnya. Aku benci orang-orang yang menelepon menggunakan private number. Untuk apa menelepon kalau tak ingin diketahui nomornya. Dan ini sudah kesekian kalinya aku mendapatkan telepon itu sejak kejadian kemarin. Setelah men-silent tanpa getar, kuletakan kembali ponsel itu ke meja nakas, tepat di samping map merah yang berisi informasi tentang Badai.

Tanganku gemetar ketika ingin mengambil map itu. Ragu-ragu. Penasaran dengan informasi apa yang tertulis di kertas-kertasnya. Namun hatiku menciut. Tak berani mengambil resiko. Mengetahui Badai sudah punya istri saja menyakitkan seperti ini, apalagi kalau aku membaca ternyata dia memiliki keluarga kecil yang harmonis. Kuurungkan niat untuk membaca informasi tentang Badai.

Rasa dipermainkan ini .... Rasa ini ....

Airmata kembali membasahi pipiku. Dada terasa terhimpit benda berat lagi. Sesak. Badai ....

Layar ponselku berkedip-kedip. Angka +1206 menjadi nomor yang pertama kali menangkap perhatianku. Aku tak tahu dari mana asal nomor itu. Mungkin hanya layanan operator provider yang ingin promosi. Kuabaikan. Ternyata, pemilik nomor itu tak kunjung menyerah, berkali-kali ia mencoba menghubungiku. Akhirnya aku yang menyerah.

"Halo?"

"Rintik?" sapa suara di ujung sana. Suara itu terdengar sangat jauh, namun mampu membuat jantungku turun ke lantai. "ini aku ...."

"Ba—dai?"

"Iya." Aku langsung geming mendengar jawabannya. "Rintik, aku ...."

Buru-buru kumatikan telepon dan melemparkan ke atas kasur. Aku tak ingin mendengar apa pun yang Badai ucapkan. Aku tak ingin mendengarnya. Aku tak ingin!

***

"Muka lu kusut banget!" ejek Awan ketika ia duduk di sampingku.

"Bodo'!"

"Masih mikirin si Bangsat?" tanyanya. Awan menyandarkan kepalanya ke bahu kananku. Aku tak menjawab. "Udahlah, lupain aja. Lu juga enggak punya perasaan kan, ke dia. Harusnya lu enggak sedih begitu. Harusnya lu masa bodo' aja. Toh lu macarin dia juga buat pelampiasan doang, kan?"

Aku tetap geming.

"Gini, nanti kita nge-date ya? Pulang kuliah nanti, gua mau ngajak lu ke suatu tempat."

"Ngapain?"

"Lu manfaatin Badai buat ngelupain gua kan? Sekarang gua kasih kesempatan buat lu manfaatin gua biar bisa lupain Badai."

Dasar anak bodoh! Mana bisa begitu? Yang ada nantinya malah aku semakin menyukai dia. Awan memang bodoh!

"Gimana?"

Aku menggeleng.

"Kenapa?"

"Ya enggak mungkin lah."

"Kenapa enggak mungkin?"

"Karena ...." Sebelum aku mampu meneruskan ucapanku, dosen sudah masuk kelas. Dan dosen satu ini bukanlah dosen santai yang akan mentoleransi obrolan di kelas.

RintikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang