Badai

18K 942 26
                                    

Ballroom Hotel Four Season Jakarta telah disulap sedemikian rupa mewahnya untuk acara ulang tahun ini. Hampir mendekati klub-klub malam kesiangan. Terlalu berlebihan dan tidak tepat –menurutku. Mengapa tak sekalian saja mengadakan acara di klub malam? Pemikiran anak orang kaya memang suka aneh.

“Kok banyak banget yang dateng, ya?” tanyaku tak percaya dengan penuhnya manusia di dalam ballroom ini. Mungkin ada ratusan atau ribuan orang di sini sekarang.

“Yep, ulang tahun Andre sama aja kayak gathering seluruh klub mobil se-Jakarta,” jawab Awan dengan seringai sombongnya, “belum lagi yang dari luar Jakarta.“

Satu, dua, tiga, sampai belasan orang dikenalkan Awan padaku dalam waktu singkat. Ditarik sana-sini olehnya membuat lenganku sedikit memerah. Dan sepatu high heels yang dipilihkannya untukku bukanlah alas kaki yang nyaman untuk dipakai jalan mondar-mandir seperti ini! Tumit kakiku sakit! Urat-urat betisku terasa seperti ditarik-tarik dengan kejam. Dan gembel-gembel dalam perutku sudah mulai berdemo, menuntut untuk diberi makan. Aroma kambing guling dari meja prasmanan berhasil memancing air liurku. Tapi Awan melarangku makan di sini!

Selain Awan, tak satu pun orang kukenal di sini –jangan tanya tentang orang-orang yang tadi ia kenalkan padaku, aku benar-benar tak mampu mengingat mereka. Dan dirinya sudah menghilang sejak acara potong kue berakhir satu jam yang lalu. Dia akan menerima hadiah bogem cinta nanti karena sudah membuatku duduk sendirian. Oh, perutku semakin perih.

“Bodo ah! Bikin malu kek, bikin apa kek, siapa suruh ninggalin gue sendiri!” gerutuku pelan sambil melangkahkan kaki menghampiri meja prasmanan. Kuambil piring, dan tanpa malu-malu kusendok nasi juga bistik serta beberapa potong ayam rica-rica dan segenggam tusuk sate. Peduli setan dengan tatapan mata gadis-gadis hedonis itu, aku sudah lapar!

“Kayaknya gue nggak pernah ngeliat lo sebelumnya, anak baru ya? Dari klub mana?” sapa seseorang dari belakangku. Kalau saja ia tak mencolek bahuku, aku pasti tak sadar kalau yang diajak bicara adalah aku. Bisa dibilang, aku terlalu fokus dengan makanan yang ada di piring sendiri.

“Eh.” Kutelan makanan di dalam mulut dengan buru-buru, niat ingin terlihat anggun malah menjadi bencana. Aku pun tersedak. Hampir saja memuntahkan makanan yang sudah ada di perut. Untung saja pemuda tadi cepat-cepat memberikan gelas minumnya padaku.

“Gue Badai, lo siapa? Kayaknya kita belum kenal, ya?”

“Ehem, gue … ehem … Rintik.” Sialan, rasa pedas ayam rica-rica masih membakar kerongkongan bahkan sampai ke hidungku. 

“Rintik,” ulangnya, “lo dari klub mana?”

“Nggak dari klub mana-mana.”

“Terus? Ke sini sama siapa?” Badai mengerutkan dahi.

“Ke sini nganterin temen, eh, pacar. Iya, pacar.” AH! Mulut tolol ini memang tak pandai berbohong, bisa mati aku kalau Awan tahu aku keceplosan! Stupid! Stupid! Stupid! Rintik is so STUPID!

“Pacarnya mana?” Seolah belum berakhir penderitaanku, pertanyaan Badai membuat dada ini terasa seperti ditusuk katana. AKU JUGA TAK TAHU! Ingin sekali aku menjerit.

“Hmmm…,” gumamku. Duh, aku harus cepat memikirkan jawaban yang masuk akal! “ke toilet.” Kusunggingkan senyum sok manis sambil berharap ia tak melanjutkan pertanyaannya.

“Oh.” Badai mengangguk-anggukkan kepala. “Boleh tau nama pacarnya, nggak?” tanya Badai dengan suara yang entah sengaja dibuat agar terdengar lembut atau memang itu suara aslinya.

“Awan.” Seperti ada yang aneh dengan nama Awan, ekspresi wajah Badai sulit untuk kubaca. Jijik? Kesel? Marah? Muak? Entahlah … yang pasti bukan ekspresi positif. Badai kemudian pamit dan berjalan meninggalkanku. Oh well, sekarang aku bisa kembali fokus pada piring yang masih bertumpuk makanan.

“Kok lo makan sih?” tanya Awan dengan nada kesal padaku tak berapa lama kemudian.

“Loh? Emang kenapa? Lo dari mana sih?”

“Kan udah gue bilang, nanti aja gue traktir lo makan di luar!”

“GUE LAPER NUNGGUIN LO! Lo dari mana, sih?”

Awan menyunggingkan cengiran lebarnya, “Dari atas.”

“Ngapain?”

“Kayak lo nggak tau aja!”

“Lo gila ya! Ngapain lo bawa gue ke sini, terus ngenalin ke orang-orang  gue ini cewek lo, kalo lo mau kabur trus ML sama cewek-cewek?”

“Kok lo marah sih?” tanyanya dengan tampang super-duper-extra-ultra-magma blo’on itu!

Entah mengapa aku marah! Aku berhak marah, kan? Boleh, kan? Mengapa ia rusak malamku ini dengan kebiasaan playboy cap paus-nya? Tak bisakah ia menjaga perasaanku sebentar saja? Tak bolehkah aku terbuai sesaat dengan status pura-pura ini?

Tanpa pikir panjang kutinggalkan Awan dan pesta itu. Dengan langkah terseok gaun panjang mewah dan heels tolol, aku berlari ke lobi hotel dan langsung menaiki taksi yang terparkir di depannya. Awan bahkan tak mengejarku. Keterlaluan anak itu! Lihat saja nanti, tak akan kuberikan contekan lagi!!! 

~*~*~

RintikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang