Presipitasi

15.6K 883 72
                                    

"Kenapa nangis?" tanya Badai begitu aku duduk di sampingnya dan ia melajukan mobil keluar dari kampusku.

"Enggak apa-apa," jawabku singkat mengusap airmata yang terlanjur jatuh ke pipi. Aku sedih bukan karena aku harus melupakan Awan. Aku sedih karena ia menganggapku sebagai cewek pengejar materi seperti pacar-pacarnya.

"Awan, kan?"

Aku tak menjawab, hanya mengangguk pelan dan membiarkan airmataku jatuh lagi. Aku benci harus menangis karena Awan, terlebih di depan Badai.

"Aku enggak mau lihat kamu nangisin cowok lain depan aku!" Kalimat itu terlontar dari bibir Badai dengan nada ketus.

"Aku juga enggak mau nangisin Awan depan kamu, tapi...."

"Enggak pake tapi-tapian! Mana ada cowok yang tahan ngeliat ceweknya nangisin cowok lain depan dia. Kamu harusnya sadar itu. Hargai dong perasaan aku!"

Entah mengapa aku merasa Badai sedikit lebay. Aku memang pacarnya, tapi kan ... ah sudahlah, mungkin ini metodenya agar aku bisa benar-benar melupakan Awan.

"Maaf," gumamku padanya lalu menunduk karena tak enak. Badai memalingkan wajah dari jalanan di depan kami ke arahku. Tangannya diletakkan di atas kepalaku dan mengusap-usap rambutku lembut. Aku mengangkat kepalaku dan menatapnya. Ia tersenyum.

"Enggak apa-apa. Aku cuma enggak mau lihat kamu nangis. Jelek tau!" ledeknya mencubit hidungku sebelum mengembalikan tangannya pada setir mobil.

Running, down corridors through, automatic doors. Got to get to you, got to see this through. (Athlete – Wires)

Badai mengambil ponsel Samsung keluaran terbaru dari dalam saku celana jinsnya dengan susah payah. Lamat-lamat bisa kudengar suara seorang wanita di ujung sambungan teleponnya ketika Badai menjawab panggilan itu.

"Iya, udah sama aku kok. Bentar lagi sampe," jawab Badai. "Aku sama Rintik. Nih baru jemput dia." Badai melirik ke arahku dan tersenyum lagi. Kali ini lirikannya terlihat sedikit jahil. "Ya udah, bentar lagi aku sampe," jawabnya sebelum mematikan ponsel dan memberikan ponselnya padaku, "Pegangin," katanya.

Ingin kubertanya siapa penelpon itu, namun kuurungkan niat karena merasa tak pantas.

"Kita mampir bentar yah di Pondok Indah Mall, nganterin dompet buat Mamaku," ujar Badai ketika membelokkan mobil ke arah alteri pondok indah.

"Mamamu?" tanyaku sedikit panik. Tak mungkin aku siap bertemu orangtua Badai saat ini. Tidak dengan mata sembab sehabis nangis.

"Iya? Kenapa?" Badai tersenyum lagi.

"Enggak apa-apa sih, tapi...."

"Tenang, Mamaku asik kok, nanti juga kamu cepet akrab sama dia." Tangan Badai menjulur ke belakangku, bisa kurasakan kalau ia sedang berusaha merogoh sesuatu dari saku belakang kursiku. Diberikannya padaku dompet kulit berwarna cokelat muda dengan lambang H di besi pengaitnya. "Tolong pegangin, takut lupa," katanya lagi.

Anehnya, jalan alteri pondok indah yang terkenal macet hari ini malah kosong melompong. Hanya butuh waktu 5 menit untuk kami sampai di depan Mall megah siang itu. Badai tak ingin susah payah mencari parker dan meninggalkan mobilnya pada valet service.

Sejak turun dari mobil sampai memasuki Mall, Badai tak melepaskan pegangan tangannya pada telapakku. Kadang ia menggenggamnya dengan kedua tangan bergantian seolah telapakku ini benda berharga yang tak ingin dilepaskan.

Kami mendekati coffee shop di lantai tiga Pondok Indah Mall 2. Badai melingkarkan tangannya ke pinggangku ketika kami memasukinya. Ia membimbingku kea rah seorang wanita muda berpotongan rambut bob yang tertata rapi. Di sebelah wanita itu ada kereta bayi dengan Petir di dalamnya yang terlelap tidur. Bayi itu sepertinya tidur terus. Padahal aku sangat ingin bermain dengannya seperti kemarin.

RintikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang