"Ta, liburan besok saya mau bawa anak-anak liburan ke Bali."
Layar ponselku menyala. Ada pesan masuk. Aku yang tengah mendesain baju pengantin menghentikan sejenak aktivitas ini.
Dari layar pemberitahuan aku membaca pesan tanpa perlu masuk ke aplikasinya dulu. Ternyata pesan dari Mas Restu. Pria yang pernah tujuh tahun menjadi imamku.
Aku menghembus napas panjang. Bingung mau membalas apa. Karena aku sendiri sudah membuat rencana sendiri untuk liburan kali ini.
Aku telah menjanjikan liburan ke kampung neneknya anak-anak. Syukurnya ketiga putriku menyambut dengan antusias. Apalagi karena sudah hampir dua lebaran kami belum lagi mudik ke rumah Ibu.
Kini ponselku berdering. Nama Mas Restu kembali terpampang. Pria itu memang selalu menelepon jika pesannya tidak direspon olehku.
Ponsel itu terus saja berteriak walau sudah kuabaikan. Karena terus berdering, mau tidak mau harus mengangkatnya. Bekerja pun tidak konsen jika terus berbunyi.
"Assalamualaikum," sapaku malas saat sudah terhubung sambungan telepon.
"Walaikum salam, Ta," sahut suara di seberang terdengar semringah, "kenapa belum baca pesanku?"
"Aku masih sibuk, Mas. Ada banyak pekerjaan yang mesti dirampungkan." Aku membalas dengan datar.
"Oh ... ini, Tha, aku mau ajak anak-anak jalan-jalan ke Bali. Mumpung mereka sebentar lagi liburan."
Aku menghembus napas pelan. "Maaf, Mas, tapi aku sama anak-anak sudah berencana mudik ke Banjarnegara."
Hening sejenak. Tidak ada tanggapan dari Mas Restu.
"Mau mudik? Kenapa gak pas lebaran saja?" tanya Mas Restu sedikit memprotes.
"Karena baru sekarang ada kesempatannya, Mas. Kemarin-kemarin kan dilarang karena PPKM."
Hening lagi.
"Gini, Ta, liburan sekolah kan dua minggu, bagaimana kalo anak-anak seminggu ikut aku? Nanti sisa liburannya aku anter ke kampung ibu," pinta Mas Restu mencoba melakukan penawaran.
"Maaf gak bisa, Mas." Aku menukas dengan tegas, "insya Allah tanggal dua puluh nanti Lala mau nikahan. Aku mau anak-anak hadir di hari sakral Tantenya."
"Lala menikah?" Ada nada keterkejutan yang kutangkap dari suara Mas Restu, "kenapa gak kasih kabar, Ta? Aku juga mau menghadiri pernikahannya. Bagaimana pun juga, aku kan pernah menjadi kakak iparnya."
Aku bergeming tidak merespon.
"Atau begini saja, aku datang menghadiri pernikahan Lala, setelah itu aku boyong anak-anak jalan, ya?" rayu Mas Restu tetap bersikeras. "Kamu setuju kan, Ta?" kejar pria itu ketika aku tidak lekas membalas.
"Eum ... kita bicara nanti lagi ya, Mas," janjiku pelan, "aku lagi ada banyak pekerjaan."
Tanpa menunggu tanggapan dari Mas Restu, aku menutup telepon. Selamat satu menit kemudian, ponsel berwarna putih itu kembali berteriak. Aku mendesah begitu melihat nama Mas Restu yang terpampang.
Tidak perlu berpikir lagi lekas kumatikan ponsel. Lalu menaruhnya di laci meja. Setelah itu kembali mengambil pensil.
Aku memang harus tegas dengan Mas Restu. Walau pun ini terkesan tidak adil untuk pria itu. Aku seolah menghalanginya untuk bertemu dengan anak-anak. Namun, langkah ini terpaksa aku tempuh.
Bukan alasan aku melakukan hal ini. Sebagai seorang ibu, tentu tidak ada maksud aku menginginkan tali silaturahmi antara anak-anak dengan ayahnya terputus.
Namun, beberapa bulan yang lalu, tiba-tiba tanpa angin dan tanpa hujan wanita itu datang ke butik kepunyaan aku. Wajahnya serius dan sedikit menaikkan dahu.
"Ada yang mau aku omongkan sama kamu, Mbak," ujar wanita yang usianya lebih muda lima tahun dariku itu dengan bersidekap. Sepertinya dia sengaja memamerkan tas branded buatan negeri Napoleon itu padaku.
"Apa?" sahutku mencoba santai. Kuletakan semua sketsa begitu saja di meja.
"Ini terakhir kalinya aku kasih peringatan buat kamu, Mbak." Perempuan yang giginya dipagari behel itu mengintimidasi-ku dengan tatapan yang tajam, "stop menghubungi suamiku dengan dalih anak-anakmu!" tegas perempuan itu serius.
"Mas Restu ayah dari ketiga putriku. Aku menghubunginya jika ada masalah tentang putri kami." Aku menyahut dengan tenang.
"Tapi kenapa kamu gak izin dulu padaku? Ingat! Mas Restu itu suamiku. Hanya milikku seorang dari lima tahun yang lalu," ketus perempuan itu dengan garangnya.
Aku tersenyum geli. "Kemarahanmu mengindikasikan bahwa kamu sangat takut kehilangan Restu. Dengar! Aku bukan tipe wanita yang menyukai suami orang. Apalagi berkeinginan merebutnya. Tidak! Itu bukan aku," tegasku dingin.
Ivy tampak membeku mendengar sindiran telak dariku. Wajahnya kian merah padam. Aku bahkan mendengar deru napasnya yang tidak beraturan.
"Perlu kamu tahu, pertemuan kemarin itu atas inisiatif dari Mas Restu sendiri. Dia yang mengotot harus ada aku di hari ulang tahun Kesha yang ia gelar," jelasku membeberkan keadaan yang sebenarnya.
"Sombong sekali ya kamu, Mbak Gita," serang Ivy keluar dari konteks pembicaraan, "baru punya usaha kecil begini sudah besar kepala," cacinya terdengar meremehkan.
"Tidak masalah usahaku masih kecil, asal ulet aku yakin mampu mengembangkannya," tukasku kembali menipiskan bibir, "jika kamu tidak kerasan di sini, kenapa masih saja berdiri di situ?" sindirku kembali menekuri gambar-gambar ini.
Ivy terdengar mendengkus kesal. "Pokoknya aku tidak mau lagi ada pertemuan antara kamu dengan suamiku, walau pun ada anak-anak di antara kalian. Kalo kamu masih ngeyel, aku gak akan segan-segan buat perhitungan dengan kamu!"
Usai mengancam keras seperti itu, Ivy melangkah pergi. Aku sampai terlonjak kaget, saat dia membanting keras pintu ruang kerjaku. Karena saking kerasnya.
"Perempuan itu memang tidak bisa didiamkan. Lama-lama ngelunjak," keluhku resah.
Pasalnya ini bukan yang pertama Ivy melabrak aku seperti ini. Sepertinya perempuan itu selalu ketakutan jika aku akan merampas Mas Restu dari tangannya. Sama seperti dia yang telah menghancurkan rumah tanggaku lima tahun lalu.
Ketakutan Ivy kian menjadi setelah putranya meninggal dua tahun lalu. Di mana karena bayi laki-laki itulah Mas Restu sampai hati meninggalkan aku serta ketiga putrinya demi perempuan yang baru dikenalnya beberapa bulan itu.
Kata orang-orang yang sayang padaku, Ivy dan Mas Restu kena karma. Entahlah! Yang pasti aku tidak akan tinggal diam lagi jika Ivy datang untuk mengintimidasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMIKU TERPIKAT AYAM KAMPUS
RomanceHanya karena ingin mempunyai anak laki-laki, Restu bermain di belakang Gita, sang istri. Dia menjalin hubungan dengan Ivy. Gadis yang sudah Gita anggap seperti adik kandungnya sendiri. Tidak tahunya Ivy adalah ayam kampus yang merupakan piala bergil...