28

81 17 0
                                    

Waktu terus berjalan, sebulan telah berlalu. Dalam sebulan kebelakang Kanaya hanya melakukan aktifitasnya seperti biasa, sebisanya.
Ia kadang menonton berita untuk mengetahui perkembangan hukuman yang akan dijatuhkan untuk orang-orang yang sudah melukainya atau biasanya juga ia mendapatkan info dari Maurel yang menyaksikan persidangan secara langsung, bersama mama dan papa.

Sebulan ini, Kanaya menyiapkan banyak hal untuk kepindahannya ke Bandung. Ia sudah memutuskan untuk melanjutkan sekolah di sana. Rencana itu bukan dibuat secara mendadak. Memang, sedari awal Kanaya berencana akan melanjutkan pendidikan di Bandung, hanya saja kali ini ada alasan lain yaitu menyembuhkan luka.

"Nay, ada Arumi di luar." Itu adalah suara mama. Berbicata tentang mama, kabar baiknya, Kanaya sudah berdamai dengan ibunya itu sejak ia dirawat di rumah sakit sebulan lalu.

"Iya, Ma. Nanti Kanaya turun," ucap Kanaya setelah memasukkan pigura ia dan kakaknya di masa kecil.

•••

"Jadi, lo beneran pindah sekolah?" Kanaya hanya mengangguk pada Arumi yang menatapnya dengan pandangan penuh atas rasa bersalah dan kesedihan. "Nay, apa nggak bisa disini aja?" Tanya Arumi.

"Maaf, gue nggak bisa. Lo tahu? Untuk memyembuhkan pemyakit, kita harus minum obat yang cocok biar sembuh. Kalau obatnya salah, yang ada kita makin sakit. Begitupun tempat. Untuk menyembuhkan luka gue, gue harus mencari tempat yang cocok. Sayangnya, Jakarta bukan jawabannya," jelas Kanaya. Perempuan itu mati-matian menahan sesak di dadanya, mengingat seberapa banyak luka yang diberikan Jakarta untuknya.

"Apa Bandung akan cocok?"

"Nggak tahu, tapi, gue rasa cocok atau enggaknya—setidaknya, di sana gue bisa merasa lebih tenang. Gue nggak perlu takut mengingat banyak hal ketika gue jalan, gue nggak perlu pergi ke berbagai tempat karena nggak ada kenangan di sana. Gue merasa, gue bisa lebih sadar kalau di Bandung. Karena jujur..." gadis itu kemudian menggantungka  kalimatnya. Ia menarik napasnya pelan-pelan. Sesak itu datang tiba-tiba. "Karena jujur, sebulan belakangan gue melakukan segala hal hanya untuk sadar tapi, rasanya setengah jiwa gur udah mati ikut sama kak Laskar." Perempuan itu akhirnya menyelesaikan kalimatnya.

Seperginya Arumi, barulah Kanaya merasa lega. Hubungan pertemanannya dengan Arumi sudah lama ia putus sepihak, berharap, perempuan itu bisa menemukan teman yang lebih baik darinya. Dan keputusan Kanaya untuk Pindah ke Bandung adalah salah satu cara untuk membuatnya jauh dari Arumi. Dari siapapun termasuk Arsa. Walau besar kemungkinan, tuhan mempertemukan mereka di kota lain tapi, Kanaya berharap, laki-laki itu tidak ada di Bandung.

•••

Terakhir kali Kanaya mengunjungi rumah Laskar adalah sebelum insiden penculikan itu. Dan kini, Kanaya kembali berdiri di depan makam kakaknya dengan satu dus buku novel yang pernah dikoleksi Laskar semasa hidupnya, termasuk novel-novel yang baru selesai ia baca. "Kak, kalau kakak hidup, mungkin kakak udah ketemu sama bang Tere Liye. Penulis favorit kakak." Perlahan, Kanaya menaburkan dedaunan bunga mawar putih di atas pusara Laskar. Bungan kesukaannya. "Oh ya, mungkin setelah ini, aku bakalan jarang jenguk kakak. Soalnya, aku bakalan pindah SMA di Bandung, sendirian. Tenang aja! Mama sama papa udah ngijinin kok, karena aku make duit tabunganku buat hidup di sana. Lagi pula, aku tinggalnya di rumah lama nenek yang udah nggak berhuni," monolognya.

Kanaya menghela napasnya, ditatapnya langit yang kini sudah mulai menguning. Sebentar lagi, sore akan tiba lantas itu berarti Kanaya akan melanjutkan perjalanannya ke kota Bandung. Memulai kehidupan yang ia harapakan. Hidup yanh lebih baik. Yang jauh dari segala hal yang akan menyakitinya.

ALDYAKSA (SELESAI)Where stories live. Discover now