□□□□□□
Pertama pacaran, perhatian selalu tak pernah kurang. Saat hujan, Hinata tidak pernah sekalipun kuyup begitu sampai rumah atau tempat tujuannya. Pria seperti Toneri akan datang menjemputnya dengan payung, mengajaknya untuk makan malam sebentar sebelum dikembalikannya gadis itu ke rumah, atau mungkin memilih tempat seperti hotel untuk menghabiskan waktu berdua.
Baru kali ini Hinata tidak suka hujan. Semua perasaan itu sangat menyakitkan, atau karena dia masih punya perasaan kepada pria itu? Pertanyaan mana yang harus dia temukan jawabannya lebih dulu. Tapi tidak satu pun dia merasa menyesal seperti yang pernah dia lakukan ketika meminta putus pada Toneri.
"Semuanya akan baik-baik saja," gumam Hinata, dia kemudian keluar dari kedai ramen dengan kondisi badan yang sudah tidak stabil. Sake membuatnya punya kesadaran minum, jika tidak beruntung dia bisa saja ketiduran di tengah jalan, atau yang paling parah ketinggalan kereta terakhir. Sudah pasti dia harus mencari hotel kapsul terdekat.
Ketika dia berlutut di depan sebuah emperan toko, menunggu hujan itu reda, dia melihat seseorang mendekatinya. Ia mendongak, lalu melihat payung yang dibuka lebar agar hujan tidak membasahi pakaiannya.
"Kamu baik-baik saja?"
"Oh, Naru," Hinata tidak mampu beranjak, mukanya sudah memerah karena mabuk, belum lagi berkali-kali cegukan. Rasa-rasanya dia akan muntah sebentar lagi, tetapi dia tidak boleh mempermalukan dirinya sendiri di depan pria baik itu. "Aku merasa kurang enak badan, tetapi yang lebih penting, aku sangat benci hujan."
"Berdiri dulu, kita cari tempat yang aman."
"Aman?" Hinata melirik ke sekitar. "Apakah di sini tidak aman? Jadi, tempat yang aman itu di mana? Oh, antar aku ke stasiun bawah tanah saja kalau begitu."
Naru mengulurkan tangannya, dia masih bisa mengumbar senyum kepada Hinata yang meraih tangannya, dan bertumpuan padanya. "Hati-hati."
Meskipun payung itu cukup besar, tapi langkah Hinata membuat Naru tetap stabil membawanya. Gadis itu masih saja terkena air hujan karena tingkahnya di tengah mabuk yang parah. Saat sudah sampai, Naru pergi ke minimarket di stasiun untuk membeli handuk kering yang bisa dipakai Hinata agar gadis itu tidak demam.
"Hei, kamu tidak boleh tidur di sini," Hinata membuka matanya, dia melihat Naru meletakkan handuk kering itu di atas kepalanya. "Keringkan rambutmu, dan minum ini agar kamu tidak terlalu mabuk seperti ini."
"Aku tidak suka yang pahit!" kata Hinata. "Sudah cukup hatiku merasakan kepahitan, karena itu aku tidak mau lagi minum yang pahit-pahit."
Naru tertawa, dia merasa Hinata lucu. Tapi seseorang menarik tangan gadis itu, Naruto berhenti tersenyum dan melihat siapa yang melakukannya.
"Hinata, apa yang kamu lakukan sampai basah seperti ini!" pria itu menyemburkan kemarahan. "Ayo pulang bersama—" Naru mencegah tiba-tiba, Toneri melihat pria yang tidak dikenalnya itu dengan wajah bertanya-tanya. "Siapa kamu?"
Hinata membuka matanya sekali lagi. Dia mendorong Toneri menjauh darinya. "Jangan sentuh aku!" katanya dengan marah. "Kita sudah putus, kenapa kamu ke sini?"
"Kamu menghubungiku tadi."
"Apa?"
"Aku ada di sekitar sini, aku dengan cepat menemukanmu," Hinata kembali mencari ponselnya dan melihat panggilan yang beberapa menit lalu dilakukannya saat baru saja keluar dari kedai ramen. "Kamu terlalu banyak minum."
"Jangan pedulikan aku!" teriak Hinata, lagi-lagi mendorong Toneri menjauh. "Kita sudah putus! Aku hanya mabuk, dan tidak sengaja menekan tombol nomor 1. Sebentar lagi, aku akan menghapus panggilan cepat itu."
Toneri merasa bingung apa yang bisa dilakukannya, belum lagi ponselnya berdering kembali oleh panggilan seseorang.
"Pergi saja, aku akan minta maaf karena menyusahkanmu."
"Aku tidak bisa meninggalkanmu yang mabuk."
Hinata menepuk pipinya beberapa kali, dan menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. "Jangan khawatir," katanya kepada Toneri. "Ada Naru. Dia akan mengantarku pulang. Lebih baik kamu jawab teleponmu dulu, barangkali gadis lainnya sedang berharap kamu jemput!"
"Hinata," Toneri hampir menyerah untuk mengatakan bahwa semuanya salah, semua karena dia tidak tegas, atau sebagainya. Belum lagi ketika pria yang tidak dikenalnya itu merampas tangan Hinata, dan diajak gadis itu pergi dari sana, dia merasa sangat ingin marah pada dirinya yang mungkin terlambat untuk peduli, bahkan berpikir selama ini dia yakin gadis itu tidak akan menemukan tambatan hati selain dirinya. Betapa egois dia selama ini.
□□□□□□
Merasa sangat sakit tepat di belakang kepalanya, Hinata membuka matanya susah payah, dan menemukan bahwa langit-langit kamarnya agak sedikit berbeda. Apa ini efek mabuk? Dia pikir seperti itu, tapi dia mendengar seseorang membuka pintu dan melihat siapa yang masuk ke sana.
"Naru!" Hinata terbangun tiba-tiba, merasakan kepalanya terhantam kuat, sementara pria itu langsung menghampirinya. "Aduh, sakit, kepalaku sakit," rintih Hinata. "Di mana aku?"
"Apato," Hinata melihat pria itu lumayan nyalang. "Rumahku. Tempatku tinggal."
"Kenapa aku bisa ada di sini?"
"Minum dulu, aku harap kamu tenang."
Hinata mengambil minuman pria itu dan setelah dia selesai menenangkan dirinya sendiri, barulah Hinata kembali berharap bahwa Naru dapat menjelaskan kepadanya apa yang sebenarnya terjadi tadi malam.
"Kamu mabuk, aku berusaha memberikanmu tempat untuk istirahat, tapi inilah yang terjadi padamu."
"Dan inilah yang terjadi? Itu bukan jawaban yang tepat aku kira," Hinata mengeratkan pelukannya pada selimut. Sejak pertama terbangun tiba-tiba di kamar yang begitu asing, dia sudah sadar tidak mengenakan apa-apa selain selimut yang membungkusnya. "Apa... kita melakukannya?" pria itu terdiam, seakan-akan merasa bersalah. "Sialan!" gumam Hinata. Dia kembali tiduran di atas kasur, tetapi kali ini menyembunyikan seutuhnya tubuh telanjang itu ke dalam selimut, lantas tidak lupa semakin membenamkan wajahnya ke atas bantal. "Aku pasti gila! Hinata bodoh! Kenapa kamu menjadi murahan seperti ini!"
"Tidak seperti yang kamu pikirkan," ujar Naruto, lantas Hinata kembali keluar dari selimut. Dia mendapati wajah pria itu yang merasa bersalah. "Kita tidak melakukan apa-apa. Aku hanya bingung harus menjawab bagaimana, karena setengahnya tidak salah."
"Setengahnya tidak salah? Apa maksudmu?"
"Kamu sangat mabuk, lalu kamu muntah, dan pakaianmu sangat kotor. Baru saja aku mengeluarkannya dari mesin cuci."
"Jadi... kita tidak melakukan seks atau semacamnya?"
"Tidak, tapi aku harus membuka semua pakaianmu, tapi jangan khawatir aku tidak menyalakan lampu, aku tidak melihatnya kok. Percayalah padaku."
Hinata terbahak-bahak begitu melihat wajah Naruto yang merasa bersalah. Sebelumnya dia tidak percaya jika ada setidaknya satu di dunia ini pria polos seperti pria di depannya itu, tapi begitu bertemu Naruto dengan kejadian tak terduga pagi ini, Hinata tidak bisa berhenti tertawa—dan tentu saja dia menertawakan dirinya sendiri.
"Tidak akan ada orang yang tidak percaya padamu, kalau kamu menunjukkan muka polos seperti itu."
Naru hanya nyengir kuda begitu mendengarnya.
"Lalu, apakah kamu mau meminjamkan pakaian untukku?"
"Tentu, kamu mau kemeja atau kaus?" Naru segera pergi ke lemari dan mencari sesuatu yang mungkin disukai oleh gadis itu. "Mungkin kaus polos akan cocok denganmu, tapi aku tidak punya dalam wanita yang bisa kamu kenakan."
"Tidak masalah, aku akan hati-hati saat berjalan."
"Oh, mungkin saja dalamanmu sudah kering."
Hinata lagi-lagi tertawa mendengarnya, saat pria itu terlalu berterus-terang, dan hal tersebut membuatnya tidak bisa menahan tawa.
"Setelah aku meminjam kaus, aku akan pergi mengambilnya sendiri," kata Hinata kepada Naru.
□□□□□□
BERSAMBUNG

KAMU SEDANG MEMBACA
MIDNIGHT ✔
FanfictionHinata sudah tidak sanggup berhubungan lagi dengan pacarnya, Toneri. Pada akhirnya dia memilih untuk putus dengan lelaki mata keranjang itu. Hinata pun bertemu dengan Naruto Uzumaki si pencuci mangkuk Ichiraku Ramen, tempat di mana ia sering kali m...