□□□□□□
Tenten menunggu dengan sabar di tempat duduknya, tapi sejak tadi yang dia lihat dari wajah Hinata adalah berseri-seri. Tenten jadi tidak sabar, dan malas harus membuang-buang waktunya sampai akhirnya dia membentak temannya, lantas membuat gadis itu terperanjat.
"Ceritakan sekarang."
"Aku tidur dengannya."
"Apa? Dengan siapa? Toneri?"
"Tentu saja bukan!" Hinata membalas dengan marah. "Untuk apa aku harus tidur dengannya lagi? sudah tidak ada hubungan di antara kami."
"Lalu dengan siapa?"
"Dengan Naru."
Kening Tenten langsung berkerut. Dia harap salah mendengarnya, karena temannya bukan tipe gadis yang mudah menyerahkan tubuhnya pada pria lain. Dia akan melakukan seks dengan pria yang punya hubungan jelas dengannya. "Aku tidak habis pikir."
"Apakah salah?"
"Tentu saja, bukan dirimu saja."
"Memang selama ini diriku bagaimana?" Tenten memutar bola matanya. "Apa menurutmu aku seperti cewek murahan?" kali ini Tenten menghela napas. "Apa sebentar lagi dia tidak akan mau bertemu aku karena dengan mudahnya aku diajak tidur?"
"Tidak, bukan itu."
"Lalu apa? Coba jelaskan padaku!"
"Tenang saja, tidak ada yang salah, hanya saja kamu sudah tahu pekerjaannya bagaimana, mengapa bisa mau tidur atau berpikir untuk berkencan dengannya?"
Hinata tidak mengerti apa yang ada di dalam pikiran Tenten. "Aku tahu, kita punya kehidupan yang berbeda, ya setidaknya soal memilih masa depan. Dengar, Ten. Aku tidak peduli dia hanya kerja serabutan atau cuma pencuci piring bahkan pelayan. Setidaknya tidak ada satu pun orang yang mencemooh hidup kami."
"Pria itu bisa saja memanfaatkan gadis-gadis polos sepertimu."
"Aku tidak peduli, aku hanya ingin segera menikah dan tidak terikat oleh keluarga ayahku hanya karena aku masih menggunakan nama mereka!"
"Sayang, pernikahan bukan hal yang bisa dimainkan begitu saja."
"Tentu, aku tidak akan menikah jika dia tidak setuju."
Tenten menyerah, dia yang paling tahu bahwa Hinata adalah tipe gadis impulsif yang punya pendirian teguh—pengecualian soal putus-menyambung dalam suatu hubungan.
"Aku akan melamar Naru dalam waktu dekat."
"Kamu gila?" kali ini Hinata yang bergantian menghela napas. "Aku tidak habis pikir mengapa kamu melakukan sampai sejauh ini hanya karena kamu membenci ayahmu ataupun Toneri. Kamu mengorbankan dirimu sendiri, yang paling penting adalah masa depanmu dalam hubungan pernikahan atau rumah tangga. Hinata, aku rasa kamu harus memikirkannya lebih matang. Aku tidak ingin kamu menyesal nantinya."
"Benar, semuanya tentang penyesalan. Jika pun nanti aku akan menikah dengan pria yang datang karena perjodohan keluarga ayahku, toh aku juga merasa menyesal mengapa aku tidak kabur dari penderitaan itu. Paling tidak, aku menyesal karena pilihanku sendiri, bukan suatu yang disebut kerelaan belaka."
Tenten tertegun, dia mencerna semua kalimat itu, dan baru menyadari bahwa dia tidak berada dalam penderitaan yang sama seperti yang sudah Hinata lewati selama ini. Orangtuanya bercerai, tidak pernah akur selama kebersamaan itu. Keluarga ayahnya menyalahkan ibunya dengan banyak alasan yang sudah malas untuk Tenten ingat bagaimana Hinata menceritakan kisah sedih itu selama mereka berteman.
Diam-diam Tenten mengutuk hatinya—apa pun yang keluar dari mulutnya yang mungkin menyakiti hati Hinata dengan masa lalu pahit. Sebagai seorang teman, dia hanya perlu mendukung daripada membuat Hinata sadar tapi hanya akan menambah luka temannya itu.
"Maafkan aku, aku benar-benar minta maaf soal itu," Tenten mengusap punggung tangan Hinata, dia sungguh ingin menebus kesalahannya. "Jangan sedih lagi, aku sangat menyesal."
"Kalau begitu," Hinata menghapus air matanya. "Traktir aku dua gulungan kayu manis."
Dasar jalang satu ini, batin Tenten.
□□□□□□
Tangannya melambai pada Tenten yang kembali masuk ke dalam mobilnya, sedangkan Hinata siap untuk melewati pagar rumahnya tapi begitu melihat di dekat gang ada mobil ayahnya, mukanya langsung berubah masam.
Hinata segera masuk ke dalam rumah, menemukan sepatu ayahnya ada di depan pintu. Ia berusaha untuk segera pergi ke lantai dua di mana kamarnya berada, tapi ibunya menghalanginya untuk bisa pergi ke sana. "Ayahmu ingin bicara."
"Kurasa tidak ada yang perlu kami bicarakan."
"Kamu datang ke pesta amal bersama temanmu, 'kan?" Hinata menoleh dengan malas ke arah ayahnya yang berdiri setelah menikmati teh yang dihidangkan mantan istrinya. "Kakek melihatmu di sana bersama temanmu. Lalu, salah satu keluarga dengan terang-terangan membuka perjodohan, kami mengajukan sebagai kandidat Hyuuga."
Hinata mengabaikan pengumuman terakhir itu, dan wajahnya dialihkan ke samping seakan-akan dia tidak sudi sekadar menghadap ke arah ayahnya. "Aku tidak punya kakek dan aku tidak mau dijodohkan!"
"Hinata!" ibunya memperingatkan. "Jaga ucapanmu," dan tentu saja dengan suara yang lemah lembut seperti biasa, seakan-akan itu menyerupai tikus mencicit. Dia memang tidak suka ibunya yang tidak pernah tegas, dan situasi semacam itu menguntungkan dirinya malam ini. "Minta maaf pada Ayahmu."
"Tidak mau."
Hiashi Hyuuga menghela napas. "Ayah juga tidak suka kamu dijodohkan olehnya, Ayah ingin kamu bebas pergi bersama pacarmu dan menikah dengannya. Tapi kita semua tahu, keluarga kita hancur karena pria itu, kita tidak bisa melawannya."
"Aku bisa melawannya, dengan cara tidak datang ke sana."
Hiashi mengangguk dengan mata agak berkaca-kaca. "Kamu punya hak untuk melakukannya," Hinata hanya diam di tempatnya, sementara Hiashi beranjak dari sana.
"Ibu akan bicara dengan ayahmu, tunggulah di sini."
Hikari menyusul mantan suaminya dan terdengar sebagai permintaan maaf, padahal wanita itu sama sekali tidak salah, atau ini sebagai tanggung jawab ketika hak asuh jatuh ke keluarga Hyuuga tapi anak itu memilih untuk kabur lalu tinggal bersama ibunya, sedangkan Hikari sendiri sangat menyayanginya hingga tidak dapat merelakan anak itu begitu saja.
Cukup lama menunggu, Hikari masuk dengan lemah, lantas melihat putrinya masih ada di sana. Ia mengusap pelan pundak anak itu lembut, dan di matanya Hinata tetaplah gadis kecil yang lucu. Putrinya akan tetap menjadi putrinya—tetap menjadi anak kecil yang menggemaskan di matanya.
"Aku tidak akan menikah dengan pilihan mereka."
"Ibu tahu, tapi bisakah kamu menyenangkan Kakekmu untuk sekadar datang di acara makan malam keluarga?"
"Tidak akan pernah!"
"Hinata, hanya sekali untuk menyenangkan beliau. Dia hanya pria tua yang usianya hampir memasuki seratus tahun. Pikirkan bahwa ini permintaan terakhirnya," Hinata menoleh ke arah ibunya dengan memicing. "Dia sangat menyayangimu."
"Menyayangi? Sejak kapan dia melakukan itu padaku? Yang aku ingat, dia selalu menyayangkan bahwa aku bukan anak laki-laki seperti Hiashi Hyuuga yang selalu dia banggakan, dan mengapa Ibuku adalah sepertimu. Memang apa salahnya lahir dari rahimmu, Bu? Dia tidak perlu dikasihani, karena sejak awal pria tua itu tidak tampak kasihan."
Hikari hanya meletakkan tangannya ke mulutnya, takut-takut bahwa suara tangisannya mungkin keluar.
"Aku punya pacar, dan aku berencana menikah dengannya besok."
"Besok?" Hikari terkejut mendengarnya. "Itu terlalu cepat. Bukankah kamu sudah putus dari Toneri?"
"Memang Ibu pikir laki-laki di dunia ini hanya Toneri?" Hinata mulai meyakinkan keputusannya itu kepada ibunya yang masih terkejut. "Pria yang sangat baik, dia tidak akan pernah menipuku seperti Toneri. Memang, dia hanya pekerja biasa di suatu kedai, tapi aku sangat menyukainya, selama bersama dia, aku tidak menjadi orang lain—aku akan selalu menjadi diriku sendiri. Dan dia, tidak pernah sekalipun berusaha menghina kita."
□□□□□□
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
MIDNIGHT ✔
FanfictionHinata sudah tidak sanggup berhubungan lagi dengan pacarnya, Toneri. Pada akhirnya dia memilih untuk putus dengan lelaki mata keranjang itu. Hinata pun bertemu dengan Naruto Uzumaki si pencuci mangkuk Ichiraku Ramen, tempat di mana ia sering kali m...