□□□□□□
Paginya buruk. Hinata merasa dia tidak bisa menghadapi kehidupannya, belum lagi harus menghadapi bosnya yang suka marah-marah, karena menyalahkan semua keadaan yang tidak sesuai dengan harapannya.
Setelah pekerjaan Hinata selesai, sebelum bosnya memanggilnya lagi dengan alasan apa saja. Hinata segera pergi ke kafetaria di kantor yang penuh seperti biasa. Dia bersumpah tidak sanggup menghadapi betapa penuh tempat itu dan aroma-aroma badan yang mungkin semakin membuatnya tidak nafsu makan. Maka pilihan terakhirnya pun jatuh ke minimarket sebelah gedung perusahaannya.
Hinata mengambil satu kotak roti lapis dan minuman sejenis teh yang diambilnya dari lemari es. Itu cukup menyegarkannya di hari yang panas, tapi anehnya langsung sudah dipenuhi oleh awan mendung. Itu membuatnya merasa kurang baik, dia tidak berharap pulang nanti harus melewati rintik hujan kembali, yang menyebabkan dirinya harus ingat masa lalu pahit—kenangan-kenangan sialan tentang mantan pacarnya.
"Hinata!" seseorang memanggilnya, dan itu adalah temannya, Tenten. Dari jauh Hinata melihat gadis itu sedang berusaha lari ke arahnya. Bagaimanapun, Hinata nyaris menganggap dia baru saja berhalusinasi bahwa temannya ada di depan sana dengan semringah. "Aku ada di sekitar sini dan menyempatkan untuk mampir, tapi malah bertemu denganmu di sini," Hinata menunjuk ke samping. "Ya, maksudnya aku tidak perlu bertanya pada sekuriti agar mereka memanggilmu turun," ujar Tenten, yang mengambil duduk di samping Hinata.
"Sedang apa kamu di sekitar sini?"
"Kamu mau ikut bersamaku nanti malam?" wajah Hinata merengut. "Akan ada pesta besar—pesta amal yang tidak bisa dihadiri sembarangan orang, dan semua yang datang—tamu-tamunya adalah si penghuni Forbres."
Hinata membuka mulutnya lebar untuk memasukkan hampir seluruhnya roti lapis terakhir itu. Dia sangat kentara tidak peduli dengan semua itu. "Aku tidak akan pergi!" katanya.
"Ayolah, kamu butuh tempat-tempat seperti itu untuk mendapatkan seorang suami yang lebih layak daripada Toneri si berengsek itu!"
Hinata menoleh dengan masih mengunyah. "Kamu tahu mengapa aku menghindarinya," Tenten membasahi bibirnya. "Selain Toneri, ada pria paling berengsek yang sudah membuat aku dan ibuku menderita! Aku yakin pria itu akan ada di sana, dan aku tidak sudi bertemu dengannya, karena tadi malam AKU SUDAH BERTEMU DENGANNYA!"
Tenten menutupi mulutnya dengan kedua tangan. Dia tidak percaya dia mendengar Hinata berteriak di tempat umum bahkan dengan mulut yang penuh dan hampir menyembur.
"Aku benar-benar tidak sudi hidup di tengah sosialita sepertimu—percayalah, aku tidak mau mengemis pada keluarga Hyuuga agar aku bisa menikah dengan orang kaya juga. Aku benci orang kaya! Dan aku tidak akan pernah mau terlibat dengan mereka!"
"Bagaimana denganku?" Tenten sedikit tidak nyaman mendengarnya.
"Pengecualian padamu, Ten."
"Oh syukurlah, aku hampir merasa dibuang olehmu."
Hinata sendiri tidak mungkin membuang Tenten yang menerima dia apa adanya. Dia bertemu pertama kali dengan Tenten di sebuah pesta di mana ibunya direndahkan hanya karena melahirkan seorang anak perempuan oleh orangtua dari pihak ayahnya.
Pada saat itu Tenten yang memberikan sapu tangan bersih untuk mengusap air matanya, di mana dia hanya anak berusia sepuluh tahun dan baru pertama kali pergi ke pesta dengan gaun dan sepatu yang sangat mahal, tapi harus menghadapi kenyataan bahwa sebenarnya dia tidak diterima di sana. Keluarga Tenten mungkin saja tidak berteman baik dengan keluarganya, tetapi setidaknya dalam dunia bisnis, siapa pun tahu siapa Hyuuga, dan keluarga Tenten tahu tentang keluarganya.
"Aku akan pergi ke atas."
"Tapi Hinata, apa benar kamu tidak mau pergi?" Tenten mencoba mencegah temannya pergi. "Aku tidak yakin jika ayahmu mungkin saja datang. Ya, dia bisa mewakilkan seseorang ke sana sementara dia bekerja. Beberapa orang melakukan itu, dan itu ayahku," wajah Tenten terlihat memelas. "Aku juga tidak ingin pergi ke sana. Kamu harus tahu, aku juga takut direndahkan, aku juga takut mereka akan mengabaikanku hanya karena aku orang kaya baru."
"Ke mana sikap percaya dirimu?"
"Hilang. Aku yakin sejak awal aku tidak punya itu," kata Tenten dengan sedih. "Aku ingin bergaul dengan banyak kalangan, tapi aku tidak punya kawan, aku tidak punya koneksi yang membuatku bisa mengobrol di sana. Jika diizinkan membawa teman, aku membawamu—aku hanya perlu membawamu."
"Kenapa aku?"
"Karena kamu bukan gadis yang akan meninggalkanku begitu saja di sana untuk menyapa yang lainnya dan beramah-tamah dengan yang lainnya."
"Ya cukup masuk akal, karena aku tidak mengenal mereka satu pun."
"Maka dari itu," Hinata mendongak sambil menarik napas karena lelah menghadapi Tenten yang tidak mau mengalah. "Kamu tidak akan pergi meninggalkanku karena ingin mencari pria kaya raya sekadar untuk ditiduri atau mengeruk uang mereka."
"Ten, aku tidak mau menghadapi omong kosong ini lagi."
"Sekali saja," Tenten berujar kembali. "Sekali saja datang ke sana bersamaku. Jika kita melihat ayahmu ada di sana, kita bisa segera pulang. Aku janji padamu."
Hinata menyerah menghadapi temannya, sejak awal dia memang tidak bisa menang dari Tenten. Gadis itu selalu ahli dalam meminta sesuatu. "Ingat, kamu sudah berjanji padaku."
Tenten bersorak gembira. Dia terlonjak dari duduknya dan langsung memeluk Hinata. "Terima kasih, aku benar-benar senang mengenalmu. Kamu adalah teman terbaikku."
Dia yakin tempat amal itu akan memberikan nuansa yang menyebalkan baginya, tapi mungkin ada sedikit hiburan untuk kepenatan yang dialaminya seharian ini. Seperti Tenten, Hinata juga diam-diam berharap bahwa dia bisa pergi ke sana, hanya untuk dapat menikmati sampanye dan makanan gratis.
□□□□□□
BERSAMBUNG
![](https://img.wattpad.com/cover/300969067-288-k269168.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
MIDNIGHT ✔
FanfictionHinata sudah tidak sanggup berhubungan lagi dengan pacarnya, Toneri. Pada akhirnya dia memilih untuk putus dengan lelaki mata keranjang itu. Hinata pun bertemu dengan Naruto Uzumaki si pencuci mangkuk Ichiraku Ramen, tempat di mana ia sering kali m...