BAB 8

289 62 0
                                    

□□□□□□

Hinata selalu menganggap bahwa air matanya sangat mahal. Dia tidak pernah menangis di dada seorang pria kecuali Toneri.

Dahulu, dia yakin Toneri adalah pria yang baik dan akan selalu mendukungnya, atau paling tidak dapat dia andalkan, meski pertengkaran setiap kali datang untuk membuat hubungan mereka terkesan retak. Tapi masalahnya pria itu memang bukan pria yang bisa dikatakan tegas, terutama dia tidak pernah bisa membuat dirinya nyaman dengan pilihan dan keputusannya—Toneri tidak pernah memiliki hal itu, dia selalu menjadi pria yang dikendalikan oleh orangtuanya.

Sampai di apato, masih setengah mabuk, tapi sepenuhnya dia sadar, apa yang sudah dilakukannya di luar dari yang dia bayangkan untuk tidur dengan pria yang mungkin masih asing. Dengan ciuman selamat datang yang tidak buruk, pria itu, Naru mengajaknya untuk pergi ke kasur dan menjatuhkan tubuhnya di sana.

Seperti yang sudah sempat dia bilang, kasur pria itu memang sangat nyaman seolah-olah kasur itu tahu bagaimana cara memanjakan pemiliknya.

"Naru, tunggu sebentar," Hinata mendorong Naru menjauh darinya, dan dia merangkak ke samping untuk merapikan rambutnya yang berantakan. "Aku sangat menyukainya, tapi bisakah memberikan waktu untuk tenang? Ehm, bernapas?"

Naru hanya tersenyum, dan mengambil kaus yang dia jatuhkan ke lantai, lalu mengenakannya kembali. "Aku akan pergi ke dapur untuk membuat sesuatu."

Hinata bernapas lega, dia masih merasa kurang percaya diri untuk tidur dengan pria lain selain Toneri. Dia tidak pernah menyeleweng dengan pria mana pun, tidak pernah berpikir tidur dengan pria selain pacarnya, dan bangun-bangun di atas kasur pria lain. Ini membuat dadanya berdegap—jantungku rasanya mau meledak.

Beberapa saat pergi dari kamarnya, Naru kembali dengan segelas teh. "Sudah agak lebih baik?" Hinata hanya mengangguk, tapi dia masih duduk nyaman di atas kasur pria itu. "Apa aku berbuat lancang?"

"Lancang karena apa?"

"Tidak," Hinata baru menyadari dia salah memilih topik. "Aku tidak bermaksud menjadikanmu pelampiasan, tidak ada pikiran semacam itu."

"Selama aku senang, tidak masalah bagiku."

"Aku hanya tidak ingin membuat pacarmu—ya, jika kamu memilikinya."

"Sudah aku bilang, aku tidak punya pacar. Kenapa kamu tidak percaya?"

"Karena kamu tampan!" Hinata menekankan kalimatnya. "Tidak ada yang salah darimu, aku yakin banyak gadis di dunia ini akan rela memberikanmu uang dan kehidupan yang layak dari sekadar menjadi pencuci mangkuk."

"Apakah pekerjaan itu menurutmu salah?"

"Tidak."

"Lalu, apa masalahnya?"

"Tidak ada masalah dari apa yang kamu sukai," ujar Hinata. "Atau tidak ada yang salah dari apa yang membuatmu nyaman. Jujur saja aku tidak pernah melakukan apa yang aku suka. Dan aku pikir keluarga Otsutsuki akan menerimaku apa adanya. Untuk masuk ke dalam keluarga itu bukan hanya soal pendidikan yang baik, tapi bagaimana kamu harus berstatus sosial tinggi, dan punya banyak koneksi. Jika aku meneruskan hubungan itu dan bertahan dengan pria itu, aku mungkin akan sama seperti ibuku yang malang. Selamanya akan dicemooh oleh keluarganya. Maka dari itu, aku benar-benar benci dengan orang kaya, aku akan menikah denganmu saja—pria sepertimu yang tidak punya apa-apa, paling tidak kamu punya kehangatan dan hati yang aku butuhkan."

Naru menarik napasnya perlahan. Dia tidak punya nyali untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Dia memang bukan pria berengsek yang akan menipu seorang gadis di luar sana, hanya saja untuk Hinata, dia mungkin akan merasa tertipu jika dia mengaku sekarang. Namun untuk dekat dengan gadis itu, dia tidak bisa terus-terusan menyembunyikan jati dirinya.

Tengah malam itu, mereka kembali berciuman, melanjutkan sesuatu yang sempat tertunda. Ini akan menjadi malam yang panjang, Naru rasa seperti itu. Dia mungkin tidak seberapa pengalaman seperti teman-temannya, tapi dia tahu apa yang harus dia lakukan terhadap pasangannya dan bagaimana dia harus memuaskannya.

Awalnya dia kira gadis itu akan menguasainya, Hinata terlihat seperti tipe gadis dominan yang lebih suka menguasai permainan. Namun, ternyata Naru salah. Dia jauh lebih mahir yang dia kira tidak bisa menguasainya, gadis itu hanya mengerang di bawahnya persis yang selalu dia bayangkan ketika mungkin saja suatu hari nanti dia dapat menyentuh gadis ini lebih dari saat dia mengganti pakaian kotor gadis itu.

Dia lelaki normal, yang akan terangsang jika melihat wanita yang tidak berdaya sedang telanjang apa lagi di atas kasurnya. Malam itu, dia berusaha untuk tetap tenang atau niat baiknya akan menjadi kasus pelecehan yang tidak diharapkannya.

"Maaf soal ini," bisik Naru ketika dia melesat masuk ke dalam gadis itu. "Aku sempat membayangkannya—di hari itu, aku bisa berada di dalam dirimu. Beruntung pada saat itu aku masih waras, aku tidak akan melecehkanmu jika kamu tidak mengizinkannya."

Hinata menahan napasnya. Sudah berapa lama dia tidak melakukan seks? Untuk terakhir kalinya pun dia tidak ingat, kehidupan percintaannya selama setahun ini dipenuhi oleh pertengkaran, hubungan intim dengan matan pacarnya pun menjadi hal yang tidak pernah dia pikirkan—semua itu tidak penting, dia tidak butuh seks untuk mengubur masa-masa sulit di antara mereka.

Masing-masing pipinya ditangkap. Wajah gadis itu sangat berantakan tapi masih cantik. Lipstik yang sudah memudar di bibirnya berhasil membuat Naru tergelak. "Kamu tidak mungkin pulang dengan penampilan seperti ini."

"Ini lewat tengah malam, kamu pikir aku akan pulang?"

Wajah Naru kemudian bersembunyi di bagian leher gadis itu. Aroma yang membuatnya tenang setiap kali dia menciumnya menambah gairah untuk terus menggerakkan pinggulnya. "Aku tidak akan mengizinkan kamu turun dari kasurku malam ini."

"Diterima!"

□□□□□□

BERSAMBUNG

MIDNIGHT ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang