□□□□□□
Dari sekian banyak gaun yang dimiliki oleh Tenten, Hinata lebih suka atau memilih mengenakan hakama tua dengan rambut panjang yang diikat dengan pita ke belakang.
Hakama tua itu menggambarkan Hinata sebagai gadis bangsawan manis nan lugu. Akhirnya Tenten menyerah saat Hinata cocok mengenakan setelan itu, dengan atasan berwarna ungu muda, dan bawahan hitam dengan ujung bunga-bunga kecil yang dibordir rapi.
"Pakai tas tangan ini, sangat cocok dipadukan dengan pakaian pestamu."
"Kalau sudah di dalam jangan suka pergi-pergi," Hinata memperingatkan. "Kita hanya perlu menyaksikan orang-orang kaya itu beramal, jangan mencolok."
"Kamu menyuruhku agar tidak mencolok, tapi lihat kamu," ujar Tenten. "Menggunakan hakama seperti siap balik ke asrama zaman Taisho."
Hinata merapikan penampilannya, menurutnya tidak salah mengenakan hakama. Di keluarga ayahnya, daripada mengenakan jas atau gaun-gaun dari rumah desainer terkenal dunia, mereka justru memilih pakaian tradisional yang dijahit dan dipesan khusus di penjahit keluarga, yang bahkan dikelola secara turun-temurun. Sejak dulu, dia tidak pernah malu mengenakan apa pun yang berbau nasionalisme.
Di penerimaan tamu, setelah menyelesaikan pemeriksaan dan keaslian undangan tersebut, mereka berdua melewati ruang terbuka dengan gapura-gapura yang dihiasi oleh bunga asli. Lantai yang seluruhnya dilapisi oleh karpet mengantarkan mereka ke bagian utama pesta yang dikelilingi oleh paviliun serta danau-danau dengan bunga teratai.
Ada banyak gazebo dengan pilar-pilar putih yang diisi oleh kaum bangsawan—orang-orang yang memiliki tempat duduk pribadi atau tempat bersinggah, dipilih sesuai dengan status sosial mereka, menunjukkan bahwa mereka adalah tamu yang paling dihormati. Pemandangan semacam ini pun bukan pertama kalinya bagi Hinata, ketika sesaat dia selalu datang ke pesta bersama keluarga ayahnya yang banyak mencemooh ibunya dan dia sebagai anak perempuan. Kakek yang terlihat tak acuh soal itu, bahkan seorang Ayah yang tidak berkutik saat keluarga kecilnya terusik.
Hinata pergi ke bagian makanan, sampanye gratis adalah tujuannya, sementara Tenten mulai bermain perannya untuk menjilat sana sini demi menciptakan koneksi, dan maaf saja dia tidak pernah mau peduli soal itu.
Ketika Hinata hendak mengambil sepiring kue, dia tidak sengaja menyenggol seorang pria tua berambut putih. Jasnya yang terlihat mahal dan disetrika licin itu menyilaukan mata Hinata, dengan selendang bermotif bunga dikalungkannya ke leher. Daripada mencicipi makanan, pria itu sepertinya mengincar minuman.
"Maaf, apakah aku menumpahkan makananmu?" tanya pria tua itu, dengan dialek yang menggambarkan bahwa dia orang asing tetapi mahir dalam bahasa Jepang.
Hinata menggelengkan kepala, kemudian tersenyum. "Tidak."
"Oh, baiklah. Silakan nikmati makanannya."
Pria tua itu kemudian meninggalkan bagian meja yang sepenuhnya diisi oleh penganan, bersama dengan orang-orang yang terlihat waspada. Dilihat dari segi mana pun bahwa orang-orang yang baru saja mengikuti pria tua itu adalah seorang pengawal. Hinata beruntung tidak membuat keributan, atau dia akan kena masalah.
Di bagian meja yang kosong, Hinata duduk, dan dari sana sembari menikmati kue-kuenya, Hinata bisa melihat Tenten sedang mengobrol asyik. Hinata sudah tahu kalau jadi begini. Ia sama sekali tidak merasa tersinggung jika pada akhirnya Tenten meninggalkannya.
Begitu mengedarkan pandangan ke sekitar, Hinata melihat ke arah pria tua yang duduk di bagian gazebo khusus itu. Pria tua itu pun menatap dirinya dan mengangkat gelas sampanye untuknya. Wajahnya kelihatan tidak asing, apakah salah satu penghuni Forbres?
Ya, mungkin saja, hampir yang datang adalah orang-orang kaya yang masuk ke dalam daftar keluarga berpengaruh. Dan saat Tenten mendatangi dirinya, Hinata menyempatkan bertanya untuk rasa penasarannya.
"Ten, apakah kamu mengenal orang itu?"
Tenten menatap pria tua itu. "Tidak," jawabnya. "Kenapa? Jarang sekali mendapati dirimu penasaran dengan orang lain. Apakah kamu tertarik dengan pria tua daripada pria-pria tampan dan yang ada di sekitar kita?" goda Tenten.
"Lihat, keluarga Uchiha dan Sabaku saja sampai membungkuk kepadanya. Apakah dia si pemilik acara?" Hinata benar-benar tidak bisa berpaling dari pria tua itu. Tenten yang segera melihatnya pun makin merasa penasaran. "Apa sekarang kamu juga penasaran?" Hinata berbalik menggoda Tenten.
"Ya, aku jadi penasaran siapa dia."
"Dialek yang digunakan rasa-rasanya tidak asing."
"Dialek?"
"Dia bisa berbahasa Jepang, satu-satunya yang aku tahu dia bukan orang Jepang adalah dialek yang digunakannya," Tenten makin dibuat penasaran. "Kami sempat berpapasan tadi."
"Lalu, apakah dia mengajak kenalan?"
"Bodoh! Tentu saja tidak!"
Tenten terbahak-bahak, lalu pandangannya mengarah ke sekumpulan orang yang baru datang. "Hinata, mereka datang," ujar Tenten, Hinata pun ikut menoleh dan memelotot terkejut. "Ayahmu dan kakekmu ada di sini."
"Sialan."
□□□□□□
Jiraiya adalah tipe pria yang suka berpetualang dalam melabuhkan hasratnya, tapi dia tidak pernah tertarik dengan gadis polos yang tidak berpengalaman. Ia hanya melihat gadis itu sebagai gadis yang menarik, dan beberapa hari belakangan gadis itu terus menguasai pikirannya. Bagaimana seandainya dia ada di sini, harapan kecil Jiraiya sangat tidak mungkin, karena lebih dari siapa pun dia tahu anak itu tidak suka pesta dan mencolok di tempat umum.
Sambil menikmati minuman di tempat duduk yang dibuat khusus hanya untuknya sebagai tamu spesial yang pantas dihormati di pagelaran amal tahunan untuk orang-orang kaya lama dan baru itu, Jiraiya benar-benar tidak bisa berpaling dari gadis itu.
Datanglah tidak lama kemudian keluarga Uchiha dan Sabaku memberi salam, lalu duduk untuk mengobrol di sana mengenai artefak-artefak kuno yang selalu menjadi koleksi favorit keluarganya—artefak yang dirawat dan diturunkan ke anak cucu keluarganya, disimpan di setiap negara sesuai dengan artefak itu ditemukan dan dimenangkan olehnya. Ah, begitulah dua keluarga itu berebut untuk bisa mendapatkan setidaknya artefak-artefak kuno dengan usia kurang lebih 600 tahun.
"Apakah Anda menikmati pestanya?" Fugaku Uchiha bertanya dengan sopan, dia jarang sekali tersenyum, sementara senyumannya akan muncul jika dibutuhkan untuk memenangkan hati seseorang. "Sepertinya tahun ini agak berbeda."
"Tidak ada yang berbeda," ujar Jiraiya sambil menjatuhkan pandangan ke arah meja yang seharusnya diisi oleh dua gadis yang sedang mengobrol dan menikmati kudapan. Namun, gadis-gadis itu tidak ada di sana, hilang tanpa jejak.
"Apakah Anda mencari seseorang?" Rasa Sabaku bertanya, menjatuhkan pandangan ke arah di mana Jiraiya menatap serius. "Siapa yang Anda cari?"
"Tidak, aku melihat kenalan, tapi sepertinya bukan."
Jiraiya kemudian menengok ke samping, dan dengan sigap si pengawal di sampingnya mencondongkan tubuhnya, membiarkan Jiraiya berbisik ke telinganya. "Di mana gadis-gadis tadi? Tolong cari mereka untukku," setelah berbisik, Jiraiya kembali menatap dua kepala keluarga di depannya itu.
□□□□□□
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
MIDNIGHT ✔
FanficHinata sudah tidak sanggup berhubungan lagi dengan pacarnya, Toneri. Pada akhirnya dia memilih untuk putus dengan lelaki mata keranjang itu. Hinata pun bertemu dengan Naruto Uzumaki si pencuci mangkuk Ichiraku Ramen, tempat di mana ia sering kali m...