BAB 2

293 69 0
                                        

□□□□□□

Hari yang berat, pikir Hinata yang berjalan menyusuri jalan malam itu dengan kaki yang lemah. Sepanjang hidup, dia pikir dia tidak akan pernah merasa seperti ini lagi.

Untuk pertama kali dia merasakan perasaan semacam ini ketika orangtuanya akhirnya resmi berpisah.

Ayahnya seorang konglomerat kaya, tetapi masalahnya keluarga ayahnya tidak pernah menyukai ibunya dan dia. Hubungan itu tidak lagi baik ketika yang lahir adalah bayi perempuan—dan selanjutnya perempuan lagi, adiknya. Bagi keluarga ayahnya, bayi perempuan sama sekali tidak menguntungkan kecuali dilibatkan dalam sebuah pernikahan.

Beruntung sekali bahwa adik kembarku melahirkan seorang anak laki-laki, sejak awal aku yakin sudah tidak mampu untuk menyainginya, adalah kalimat ayahnya mengeluh kepada ibunya yang bahkan tidak bisa mengubah takdir di antara mereka. Semua kehidupan itu menjadi sulit, dan bagaimanapun Hinata tidak menyukai hubungan yang dipenuhi oleh penindasan sebuah status. Ibunya hancur karena masalah itu.

Ketika Hinata mendongak tepat di depan Ichiraku, ramen langganannya, dia merasa lebih bersemangat. Satu-satunya kemewahan yang dia punya untuk saat ini adalah makan dengan lahap, lalu melanjutkan kehidupannya sebagai Hinata yang tidak ingin mengulangi perasaan terluka yang besar.

Baru masuk ke Ichiraku, dia mendengar seseorang berteriak sembari membawa tumpukan mangkuk ramen yang baru selesai dicuci. "Selamat datang!" senyumannya terlihat cerah seperti itu, pria tinggi itu sama sekali tidak terlihat lelah, meskipun mencuci banyak piring dan mangkuk dari kedai tersebut. "Apakah mau pesan seperti biasa?"

"Bukannya kamu bilang libur hari ini?"

"Di kedai kekurangan orang, aku tidak mungkin tega meninggalkannya," kata pria itu. "Mau sekalian dengan sake?" Hinata mengangguk untuk menyetujuinya. "Kelihatan sekali kalau kamu membutuhkannya. Biar aku tuangkan nanti untukmu."

Hinata mengambil duduk di salah satu meja, melihat jendela, lalu berpindah melihat pengunjung yang keluar dari kedai saat mereka baru saja selesai makan. Tengah malam, kedai memang lebih ramai, kebanyakan orang-orang selepas pulang kerja. Ada yang menghabiskan waktu dengan rekan kerja, menikmati kesendirian, atau hanya sekadar makan, lantas pulang. Orang-orang yang datang dengan wajah lelah, tetapi pergi dengan wajah yang cerah.

"Ini sake-mu," kata pria itu. "Apa kali ini soal pekerjaan? Pacarmu lagi?"

"Aku tidak punya pacar."

Pria itu menggaruk kepalanya, dan berpikir apakah mungkin dia salah ingat.

"Kami baru saja putus," Hinata yang menyadarinya langsung membalas. "Aku tidak mau lagi dipandang rendah oleh keluarganya—hanya karena aku tidak memiliki apa-apa."

"Eih, tidak mungkin tidak memiliki apa-apa."

"Benarkah? Menurutmu, apa yang harus aku banggakan?"

"Kecantikanmu?" kata pria itu, masih berdiri sembari memeluk nampak di samping meja Hinata. "Kecerdasanmu? Kepedulianmu? Perhatianmu?"

"Orang-orang tidak pernah peduli soal itu," saat pria itu melihat sekitar, ternyata pelanggan sudah tidak terlalu banyak, lalu dia duduk menemani Hinata. "Tidak sekali dia pergi bersama gadis lain hanya karena ibunya memerintahkan dia untuk pergi agar ibunya yang malang itu tidak merasa malu dengan rekannya. Wanita itu sama sekali tidak memahami bahwa putranya punya pacar—dan apakah dia tidak berpikir bagaimana perasaanku nanti jika mengetahuinya. Semuanya sangat sulit bagiku."

Pria itu menuangkan sake lagi ketika cawan Hinata kosong. Gadis malang itu benar-benar butuh teman, sementara dia tidak dapat meninggalkannya.

"Apakah kamu punya pacar? Apakah hubungan kalian sangat berat?"

Pria itu tidak menjawab, hanya menggaruk tengkuknya dengan canggung. "Jika aku menjawab tidak pernah, apakah kamu bakal percaya?"

"Eih, tidak mungkin kamu tidak punya."

Pria itu mengangguk kali ini. "Kurasa banyak orang yang menyukaiku karena mereka bilang aku baik," katanya, dan Hinata tidak dapat menyangkal itu. "Masalahnya, aku tidak pernah berpikir untuk punya hubungan lebih, aku lebih suka orang-orang tidak peduli padaku, atau tidak berharap padaku secara berlebihan."

"Kenapa? Apa kamu takut mendengar mereka menghinamu?" Hinata menunjuk sekitar, dan pria itu paham apa yang Hinata maksud.

"Kupikir tidak satu pun orang yang berani menghinaku," katanya kepada Hinata. "Tidak satu pun orang dengan berani melarangku hanya karena aku bekerja di kedai ini."

"Ah, beruntung sekali."

Pria itu tertawa kecil. "Apa kamu ingin tahu kenapa aku bekerja di sini?"

"Apakah karena gajinya besar?" bisik Hinata.

"Bukan soal gaji," jawab pria itu. "Paman Teuchi adalah teman baik ayahku, sebelum Ayah dan Ibuku tiada, mereka menitipkanku pada Paman Teuchi. Aku sangat senang berada di dekatnya, maka dari itu aku jauh-jauh datang ke sini bukan hanya untuk bekerja."

"Kenapa kamu menceritakannya padaku?"

"Aku berharap kamu bisa bersama orang yang dapat membuatmu bahagia," pria itu berbicara serius dengan nada yang hangat. "Jika hubungan di antara kamu dan pacarmu tidak membuatmu bahagia, kamu berhak pergi dan meninggalkannya. Mendengarkan orang lain—bersikap seperti yang mereka mau, itu akan membuatmu menderita, aku harap kamu tidak perlu melakukan hal seperti itu."

"Sepertinya aku dapat memetik pesan dari apa yang kamu ceritakan barusan mengenai si pemilik kedai. Tidak peduli bahwa gaji di sini sangat kecil, asalkan kamu tetap berada di sekitar orang yang berenergi positif."

Tangan pria itu tiba-tiba mengusap kepala Hinata. Siapa pun akan terkejut dengan perlakuan manis tersebut, termasuk Hinata yang berhenti tersenyum seketika, sampai-sampai cawan sake yang dibawanya hampir terjatuh.

"Sering-sering ke sini, aku akan mendengarkan kamu bercerita."

"Siapa namamu?" Hinata sudah mengenal pria baik itu cukup lama, tetapi dia tidak pernah tahu namanya. "Senang mengenalmu."

"Naruto," jawabnya, masih tersenyum dengan bebas. "Panggil saja Naru."

"Senang mengenalmu."

Hinata bahkan tidak peduli ketika pria itu meninggalkan dia kembali saat ramen pesanannya datang. Apakah si pemilik kedai sengaja membuat pria itu bekerja agar banyak gadis yang terpesona dan rela berdesak-desakan untuk makan di sana. Tapi ketika Hinata melihat sekeliling, tak satu pun ada gadis-gadis yang bergerombol datang. Kebanyakan pelanggan di sana adalah pekerja kantoran yang baru pulang, atau seseorang yang butuh kehangatan dari sup ramen yang lezat.

"Sepertinya, hanya aku satu-satunya yang terpesona."

□□□□□□

BERSAMBUNG

MIDNIGHT ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang