BAB 4

295 65 1
                                    

□□□□□□

Pandangan Tenten tidak berpaling dari pria itu, si pencuci mangkuk ramen yang begitu eksotis dengan kulit agak cokelat. Badannya kekar, dengan rambut yang dipangkas rapi, dan dari hasil pengamatan Tenten, rambut pria itu tidak dipotong secara asal. Lebih dari siapa pun, Tenten tahu bagaimana fesyen bekerja untuk pria itu.

"Jangan dilihat terus," Hinata memperingatkan Tenten. "Kita bakal ketahuan, ke sini bukan untuk makan, malah memperhatikan yang tidak penting."

Tenten menoleh ke arah Hinata. "Seperti harta karun," ujarnya. "Kenapa kamu baru cerita kalau mengenal pria seperti itu dari kedai yang bahkan terlihat tidak berkelas?"

"Bisakah kamu tidak berbicara seperti itu, persetan dengan berkelas, makanan di sini enak tahu," balas Hinata. "Aku sudah langganan di sini dari SMA, tempat ini penuh kenangan, dan tidak ada yang berubah. Aku harap kamu tidak mengatakan berkelas atau tidaknya."

Ini sudah jadi kebiasaannya, Tenten tidak bisa berhenti untuk menilai segala sesuatu menurut estetika yang dia anut. "Baiklah, maafkan aku. Tapi memang ramen di sini enak, apalagi kuahnya adalah yang terbaik."

"Menurut penilaianmu, pria seperti apa dia?"

"Uhm, sebentar, aku tidak yakin, tapi apakah kamu menyukainya?"

"Tidak ada orang yang tidak menyukainya," dan Hinata mungkin benar. Pria seksi yang baru saja disebutnya sebagai harta karun itu begitu berbeda dari pekerja lainnya di kedai ini. Beberapa wanita mungkin rela antre untuk menafkahi pria itu, apalagi bila pria itu jenis gigolo yang mencari mangsa para istri-istri orang kaya, dia jelas akan laku keras. Berhenti berpikir bodoh Tenten! Hanya itu penyesalan satu-satunya.

"Pria itu terlihat menyukai pekerjannya, bukan berarti kamu harus bersama dia, 'kan?"

"Kenapa tidak?" Tenten memutar bola matanya. "Asalkan dia bukan pria seperti Toneri yang mudah lari ke wanita lain ketika seseorang menyuruhnya."

"Hinata, kita pikirkan masa depanmu."

"Persetan dengan masa depan!" gerutu Hinata, dia kembali menikmati mi-nya yang sudah dingin itu. "Apa salahnya kalau perempuan yang bekerja dan laki-laki yang mengurus rumah, karena yang aku butuhkan adalah pria baik—tolong diingat, pria baik!"

"Ya, baiklah, pria baik tidak akan membuatmu menderita," Tenten menyerah untuk meyakinkan temannya yang sedang dilanda patah hati parah.

Di tengah situasi tegang itu, mereka berdua melihat piring pangsit mendarat tiba-tiba. "Bonus untuk kalian," keduanya langsung mendongak, menemukan pria yang baru saja mereka bicarakan tersenyum manis sembari menyerahkan pangsit gratis itu.

"Terima kasih," ucap Tenten ketika dia merasakan tendangan kecil di kakinya.

"Terima kasih, Naru," ucap Hinata kali ini.

Mereka berdua kembali menikmati ramen yang sudah mengembang itu, tapi tidak dapat meninggalkan pembicaraan, dan itulah alasan mengapa keduanya bisa berada di sana siang bolong tepat makan siang, sebab Tenten sendiri tidak dapat tahan dengan rasa penasaran.

"Yang paling penting, apakah pria itu punya pacar?"

"Dia bilang tidak pernah pacaran, aku juga sudah mengaku kalau aku tidak percaya."

"Lalu tanggapannya?"

"Ya, aku kira banyak yang suka padanya karena dia baik. Dia sendiri merasa seperti itu juga. Apa menurutmu dia tipe yang tidak mudah jatuh cinta?"

Tenten mengangkat bahunya. "Aku sendiri tidak yakin," Tenten menyendoki kuah ramen itu dan berseru gembira dengan rasanya. "Selama ini, pria-pria tampan selalu berakhir dengan sikap berengsek mereka. Kamu baru mengenalnya hanya beberapa hari, kenapa sudah tertipu dengan sikap polosnya itu."

"Firasat seorang wanita?"

Tenten geli mendengarnya. "Firasat perempuan biasanya salah," katanya. "Sebaliknya, jika kamu memercayai firasat itu, aku yakin kamu akan menangis tujuh hari nantinya."

"Aku tidak suka kata-kata itu. Dan, aku tidak mau menangis lagi karena seorang pria."

"Siapa yang tahu itu."

Demi Tuhan, Hinata jadi tidak nafsu makan setelah mendengarnya. Kesal jika dia harus mengalami patah hati untuk kedua kalinya. Masalahnya dia juga takut untuk berada dalam hubungan dan harus dekat dengan orang baru, lebih penting lagi membangun sebuah hubungan dengan kepercayaan yang tidak main-main. Dia terlalu lelah untuk mengulang semua itu kembali.

Setelah makan siang, Hinata kembali ke kantor, duduk di kursinya dan melihat atasannya sudah berkacak pinggang di depan sana, sepertinya baru saja memarahi seseorang. Kerja di agen periklanan memang harus punya mental baja, begitulah anggapan Hinata. Jika klien tidak puas dengan pemasaran yang sudah mereka lakukan, itu seperti harus bekerja lagi dari awal, dan sudah pasti memulai semua tanpa ide akan jadi sia-sia.

Setelah makan siang, Hinata masih harus menyusun semua pekerjaan dan klien mana yang harus dihadapinya. Semua ide-ide itu muncul berseliweran, hanya saja menuangkannya butuh kekuatan dan keadaan yang lebih stabil, masalahnya apa yang sudah dia bicarakan dengan Tenten membuat Hinata tidak bisa bekerja.

Begitu dia menengok ke belakang, ke samping kanan dan kiri, semua teman-temannya sudah pergi. Lampu di langit-langit sudah dimatikan, tinggal lampu baca kecil di samping komputernya, dan tentu saja monitor yang menyala itu membuatnya mendengkus sebentar.

"Oke, semuanya sudah pulang, tinggal aku di sini."

Hinata bergegas pergi dari sana, di sela-sela dia menuruni lantai dengan lift, dia mendapat panggilan masuk dari seseorang dan itu ayahnya. Ia sungguh malas untuk mengangkat panggilan itu, apa yang bisa dia harapkan dari pria yang meninggalkan dia dan ibunya—wanita malang yang tidak pernah mengatakan semua keluhannya itu, tapi dari matanya saja Hinata dapat memahami satu hal yaitu luka yang mungkin tidak akan bisa disembuhkan.

Tergesa-gesa untuk pulang, Hinata malah menjumpai mobil ayahnya ada di depan rumahnya. Dia tidak tahu mengapa sudah selarut ini dia harus menghadapi masalah seperti ini. Ketika bertemu dengan pria itu, tidak satu pun menciptakan kedekatan kembali, yang ada hanya pertengkaran, sementara Hinata lelah untuk menghadapi masalah itu setiap kali bertemu.

"Ibu," Hinata masuk ke dalam rumah, dan ayahnya ada di depannya. "Apa yang terjadi?" sedangkan pergelangan kaki sang Ibu membuat Hinata mengernyit. Ia tidak tahu apa yang terjadi, tapi ketika kaki itu dibalut berarti ibunya sedang terluka.

"Saat Ibumu pergi belanja, ada pengendara sepeda yang tidak sengaja menabrak."

"Kenapa Ibu tidak menghubungi aku?"

"Maaf," hanya itu yang dia dengar dari mulut ibunya. "Ibu minta maaf Hinata."

Ayahnya tidak bersuara setelahnya, lalu pergi dari rumah itu tanpa berpamitan. Wanita seperti Hikari tidak yakin bagaimana bisa membuat kedua orang di depannya itu akur. Satu-satunya yang sedang dia pikirkan adalah dia sudah membuat kesalahan karena memanggil mantan suaminya, lantas membiarkan pria itu menjadi walinya.

"Segenting apa sampai Ibu memanggilnya?" tanya Hinata. "Aku kira Ibu akan mengerti kalau kita tidak butuh orang itu. Kita dapat bergantung satu sama lainnya. Dia bukan bagian dari keluarga ini."

"Dia tetap ayahmu Hinata, kamu bahkan masih menggunakan namanya."

"Baik, aku akan melepas nama keluarganya dan aku akan pergi bersama Ibu."

Hikari mencoba menenangkan Hinata. "Kita berdua akan terkena masalah kalau sampai kamu melepaskan nama itu. Ibu benar-benar minta maaf soal malam ini, Ibu tidak akan mengulanginya lagi."

Tidak mungkin, Hinata yakin itu. Ini bukan pertama kali bagi ibunya menghubungi Hiashi Hyuuga dan memintanya untuk datang dengan berbagai alasan. "Aku bersumpah dalam waktu dekat aku akan segera menikah dan meninggalkan nama sialan itu!" 

□□□□□□

BERSAMBUNG

MIDNIGHT ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang