CATATAN:
Baru punya waktu buat nulis bab 1, karena setiap hari selalu pulang tengah malam, kalau nggak gitu pulang pagi. Mungkin bakal update seminggu sekali atau tidak sama sekali. Namun, ada kemungkinan juga akan update sering-sering jika tidak ada kendala dalam pekerjaan.
□□□□□□
Orang-orang tidak akan pernah sadar, di tengah guncangan kekayaan yang dimuat dalam majalah Forbes, ada yang lebih kaya seolah-olah dia bisa membeli Bumi dalam semalam berserta seisinya.
Hinata termasuk orang yang mengganggap bahwa mungkin Bill adalah pria terkaya, atau Mark si pemilik salah satu sosial media menjadi salah satunya, padahal kedua orang itu hanya orang kaya baru yang sedang naik daun karena sebuah zaman. Mari kita bicara tentang orang kaya lama di Jepang.
Dimulai dari keluarga Uchiha yang menduduki peringkat ke satu majalah Forbes Jepang—mereka termasuk keluarga kaya lama yang punya banyak bisnis, tetapi bisnis yang paling terkenal dari mereka adalah perusahaan seluler dan jaringan, lalu investasi. Sebelum memiliki nama pada dua bidang itu, sejak turun-temurun keluarga mereka dikenal sebagai keluarga bangsawan. Tidak heran jika hubungan atau segala kehidupan mereka diikat ketat dalam privasi yang tidak mudah diusik oleh media mana pun di dunia.
Keluarga kedua yang tergolong orang kaya lama adalah Sabaku, yang sudah membangun fesyen dan menjalankan ritel dalam bidang pakaian di Jepang sesuai dengan perkembangan zaman. Mereka selalu dijuluki orang-orang masa depan, karena apa yang mereka keluarkan selalu diminati dan diikuti oleh banyak kalangan dalam berpakaian.
Baiklah, itu tidak lagi menarik ketika Hinata membaca majalah yang dibawa temannya—ketika edisi baru muncul, temannya yang kaya itu akan membelinya, kalau-kalau salah satu keluarganya masuk ke dalam majalah itu, akan menjadi masalah serius yang mungkin patut dibanggakan. Walau kerendahan hati sepantasnya terlihat darinya—itu hanya omong kosong!
"Ten, aku bosan harus mengikutinya."
"Siapa juga yang membeli itu untukmu kamu baca!" Tenten memutar bola matanya, merampas majalah tersebut dan membuangnya ke kursi. "Berandai-andai apa tidak boleh?" tanya Tenten.
"Suatu hari aku yakin, kalau keluargaku akan lebih sukses dari mereka.""Menurutku, keluargamu tetap dipandang sebagai orang kaya baru."
"Menurutku sih, aku tidak peduli!" kata Tenten, dia sedang sibuk memilih cat kuku di antara banyak koleksinya yang sama sekali tidak berniat dipakai—intinya, kalau gadis itu suka, dia akan membelinya berapa pun mahal itu. "Bukankah orang kaya tetaplah orang kaya?"
"Apakah itu pertanyaan?"
"Ya," Tenten tidak jadi memilih cat kukunya. Dia memutar tubuhnya, mencermati Hinata yang bermuka masam. "Menurut kamu apa?" tanyanya. "Dan, kenapa mukamu seperti itu?"
Hinata tidak yakin untuk mengatakannya. Namun satu-satunya teman yang mau mendengar masalah yang sama darinya hanya Tenten. "Aku berniat putus dari Toneri."
Tenten terlihat biasa saja. Mukanya tidak menunjukkan bahwa dia terkejut setelah mendengar itu—tentu saja, ini bukan pertama kalinya dia mendengar bahwa temannya ingin putus. Hubungan yang dijalin selama lima tahun itu menciptakan konflik besar maupun kecil, dan apa yang dikatakan oleh temannya itu bukan hal baru atau mengejutkan baginya.
"Meskipun dia tidak ingin mendengar hal itu lagi dariku, tapi aku ingin mengatakannya."
"Seingatku, jika kamu membicarakan masalah itu, kamu akan benar-benar putus darinya."
Hinata mengangguk, dia tersenyum kecut. "Tapi aku harus mengatakannya, tidak peduli!"
"Pikirkan baik-baik."
"Aku sudah memikirkannya selama sebulan ini," tukas Hinata. "Aku benar-benar menemukan satu jawaban, bahwa aku tidak ingin punya hubungan apa-apa dengannya. Baru saja dia diangkat sebagai manajer, dan melakukan kencan buta atas perintah orangtuanya. Bukankah itu berarti orangtua Toneri tidak menyukaiku? Bagaimanapun mereka tahu jika aku adalah pacarnya, dan sudah berkali-kali bertemu mereka. Menerima banyak tugas dari mereka, berkecimpung di rumahnya seperti seorang pembantu, tak satu pun semua orang yang ada di sana menganggapku punya hubungan dengan Toneri."
Tidak dapat dipungkiri bagi keluarga Toneri, Hinata memang seperti tunawisma yang bergantung pada seseorang agar mereka bisa makan, walaupun dari penampilan gadis itu tidak seperti itu. Hinata punya badan yang ramping, wajah yang cantik, kulit yang bersih, baju-bajunya juga tidak ketinggalan zaman, pendidikannya pun bagus, hanya satu masalahnya bahwa dia tidak punya keluarga yang utuh dan hanya dipenuhi oleh orang-orang yang bermasalah.
Tenten memahami, latar belakang seseorang memengaruhi tingkat sosial dan bagaimana masyarakat menilainya untuk diterima. Hinata mungkin tidak masuk ke dalam kriteria keluarga Toneri yang mampu mendapatkan apa saja yang mereka mau, termasuk tingkat sosial yang menjamin mereka menjadi yang terpandang, sementara Hinata bukan orang yang bisa membuat mereka mendapatkan hak-hak istimewa itu.
Setelah pulang dari rumah Tenten yang sangat megah, dan sempat bertemu dengan orangtua Tenten yang memperlakukan dia lebih baik dari siapa pun bahkan keluarganya, Hinata menjadi lebih bisa berpikir positif. Setidaknya, masih ada orang-orang baik yang mau menerimanya, tapi satu masalah lagi ketika Toneri menghubunginya untuk meminta bertemu, dia mengingat apa yang dipikirkannya sebulan terakhir ini mengenai hubungannya dengan pria itu, Hinata tidak dapat bertahan. Ia kembali rapuh dan mengatakannya sekali lagi, apa yang paling diinginkannya, dan dengan yakin keputusannya itu bukan bagian dari kalimat impulsif yang biasa dia katakan kepada pacarnya.
"Kita putus saja."
"Aku benar-benar tidak tahan setiap bertemu denganmu, kamu selalu mengatakannya," ujar Toneri, dia menunduk sembari mencoba bertahan dengan amarahnya. "Kamu sudah berjanji tidak akan mengatakan hal itu lagi. Tapi kenapa?"
"Karena kita tidak cocok," Toneri mengernyit. "Aku menyerah dengan hubungan kita. Aku tidak sanggup menjadi orang yang terus-terusan dianggap membuatmu menderita. Aku juga tidak sanggup melihatmu pulang dari kencan buta. Aku seperti pacaran dengan pria berengsek. Apa kamu senang dengan perempuan berkelas yang selalu ibumu harapkan?"
"Kamu berharap aku menjawab apa?"
"Katakan sejujurnya."
Toneri tersenyum kecil, dia bermuka malas—tentu saja malas untuk mengatakan apa yang ada di dalam pikirannya. Salah bicara, akan memperburuk keadaan. Namun, bukankah gadis itu meminta putus. Mengapa dia perlu memikirkan sekali lagi perkataannya? Mau berbicara apa pun—jujur atau tidaknya—semuanya sudah berakhir.
"Kenapa diam saja?"
"Setidaknya mereka tahu cara bersikap."
"Jadi, selama ini aku tidak bisa bersikap baik padamu atau keluargamu?"
"Entah, tapi memang ada perbedaan besar antara kamu dan mereka," Hinata mematung, dia melihat wajah pacarnya yang sama sekali tidak terlihat berbohong agar membuat dirinya puas. Pria berengsek itu benar-benar mengatakannya, bahwa sejak awal hubungan di antara mereka memang tidak memiliki satu pun harapan. "Sudah puas mendengarnya?"
"Ya, terima kasih karena sudah mengatakannya."
Toneri membisu.
"Selamat tinggal," ujar Hinata.
□□□□□□
BERSAMBUNG

KAMU SEDANG MEMBACA
MIDNIGHT ✔
FanfictionHinata sudah tidak sanggup berhubungan lagi dengan pacarnya, Toneri. Pada akhirnya dia memilih untuk putus dengan lelaki mata keranjang itu. Hinata pun bertemu dengan Naruto Uzumaki si pencuci mangkuk Ichiraku Ramen, tempat di mana ia sering kali m...