□□□□□□
Tidak ditemukan di mana pun dua gadis itu, yang membuat Jiraiya merasa kurang puas dengan apa yang dilakukan orang-orangnya. Gadis-gadis itu hanya sesaat berada di sana, dan tidak diketahui keberadaannya. Bisa saja dia melihat rekaman dari kamera yang dipasangkan selama acara, tapi rasa-rasanya itu akan membuatnya kelihatan seperti orang aneh.
Di persimpangan jalan, Jiraiya melihat pertokoan-pertokoan yang sudah malam malah makin ramai. Saat kaca jendela mobilnya diturunkan sedikit, dia mencium aroma-aroma makanan dari kedai yang tidak jauh dari sana dan membuatnya tanpa sadar memerintahkan sang sopir untuk berhenti di depan kedai Ichiraku.
"Tempat yang tidak pernah berubah," ujar Jiraiya yang hanya melihat kedai itu dari dalam mobil. Dia ingin turun, mencicipi semangkuk ramen, tapi masalahnya akan ada pertengkaran yang selalu membuatnya seperti orang paling buruk di dunia.
Seseorang menendang mobilnya, nyaris membuat Jiraiya terperanjat. "Apa yang kamu lakukan di sini seperti penguntit, huh?"
Jiraiya mendongak dengan wajah datar, dia menurunkan kaca mobilnya lagi sampai-sampai kepala orang yang baru saja menendang mobilnya itu bisa masuk ke dalam. "Apa lagi rencanamu? Apakah kamu akan menyuruhku pulang? Aku tidak akan pulang!"
"Tidak ada yang menyuruhmu pulang, lakukan saja sesukamu," ujar Jiraiya dengan angkuh, padahal dari dalam lubuk hatinya dia menyesal sudah mengusir anak itu pergi, dan seakan-akan tidak mau peduli lagi. Padahal hampir kehidupannya selalu dia ikuti. "Aku punya hadiah untukmu," Jiraiya tersenyum, lalu memberikan selembar foto. "Dari sekian banyak lamaran yang diajukan kepadamu, aku menemukan gadis yang menarik."
"Aku tidak mau menikah, dan tidak akan menikah!"
"Lihat dulu, kamu akan senang mengetahuinya."
Mobil Jiraiya kemudian melaju kencang meninggalkan tempat itu.
"Apa-apaan dia, mengacaukan hidupku saja."
Di depan kedai, Ayame berseru dengan suara lantan. "Naru, apakah kamu sudah mengantar makanannya?"
"Iya, sudah," dia membalas dengan berlari menuju ke kedai saat Ayame, putri satu-satunya Paman Tuechi memanggilnya. "Aku perlu makan malam dulu."
"Baiklah, antarkan saja nanti, makan dan istirahatlah sebentar."
Tidak peduli dengan apa yang diberikan oleh pria sialan itu, Naru meletakkan selembar foto itu ke sembarang tempat. Dia tidak pernah mau dijodohkan, dia hanya ingin hidup sendiri dan menjalankan kehidupan seperti yang dia mau.
Di kedai yang sudah mulai sepi itu, Naru melihat Hinata berjalan lemah memasuki kedai. "Aku hanya pesan gyoza dan sake saja," Naru buru-buru ke depan untuk menyambut gadis itu tapi sepertinya dia diabaikan.
"Hinata," gadis itu mendongak. "Penampilanmu agak berbeda."
"Oh, aku pergi bersama Tenten ke acara pesta, tidak menarik, belum sempat makan apa pun aku sudah dibuat muak oleh acaranya," sejujurnya aku dibuat muak karena Ayah dan kakekku ada di sana. "Kedai tumben sekali sudah sepi."
"Kurasa beberapa pelanggan sangat enggan keluar rumah karena cuacanya semakin dingin," Naru mengambil duduk di kursi bagian depan Hinata. "Mau aku temani minum?"
"Tidak buruk."
Di tengah acara minum itu pun Hinata lagi-lagi diganggu oleh pesan-pesan yang dikirimkan oleh Toneri—selain itu atasan dan klien yang terus-menerus komplain membuat kepalanya sangat mendidih.
"Kamu seakan baru saja melewati hari yang berat."
"Kamu benar, hari yang berat, dan tidak satu pun sesuai harapan."
KAMU SEDANG MEMBACA
MIDNIGHT ✔
Fiksi PenggemarHinata sudah tidak sanggup berhubungan lagi dengan pacarnya, Toneri. Pada akhirnya dia memilih untuk putus dengan lelaki mata keranjang itu. Hinata pun bertemu dengan Naruto Uzumaki si pencuci mangkuk Ichiraku Ramen, tempat di mana ia sering kali m...