~VIRGO~
Beberapa hari yang lalu, aku lembur membuat surat resign. Namun, ujung-ujungnya surat itu hanya teronggok di laci meja kantor, terkunci rapat dan kuncinya kubawa kemana-mana. Alesha kurang lebih banyak benarnya, lingkungan pekerjaan di sini sangat tidak sehat. Fake it till you make it. Rasanya kaki atasan lebih lezat dibandingkan promo gratisan Sushi Tei sekalipun.
Jam tidurku sekarang hanya berkisar pukul satu dini hari sampai pukul empat pagi. Aku tidak nyenyak tidur dan bangun dengan mood ingin mencekik orang. Terlebih aku merasa setiap aku bangun, aku merasa hari itu adalah hari Senin.
"Monday Syndrome? Kamu cuma lelah aja, Babe," ujar Indra ketika aku mengeluhkan gangguan tidurku. "Mau ambil cuti? Atau kamu mau resign aja? Toh sebentar lagi kita menikah, bukan? Kamu bisa tenang menekuni hobi membacamu di rumah."
Lalu setelahnya aku tak pernah mengungkitnya lagi. Resign dan membiarkan diriku tergantung secara finansial kepada orang lain tidak pernah ada dalam kamusku. Aku harus mendapatkan pekerjaan baru sebelum memutuskan resign. Tapi bagaimana? Mengajukan cuti saja sudah seperti meminta Ediana menyembah kakiku.
Aku baru saja meletakkan tas di meja ketika kusadari laci mejaku sedikit terbuka. Panik, aku membukanya, mengecek apa surat itu masih ada atau tidak. Wajahku memucat karena tak menemukan benda tipis yang masih berbentuk lembaran itu di laci meja. Seharusnya aku tidak melupakan kunci laci semalam, urgh, dasar Virgo bodoh!
"Mencari ini?"
Aku mendongak, mendapati Bram mengacukan kertas yang kucari dengan panik sedari tadi. Mataku membulat marah dan merebut kertas itu dari tangannya.
"Lo nggak punya sopan santun ya, ngebuka privasi orang seenaknya?" ujarku dingin pada Bram, tapi lelaki itu hanya mengedikkan bahu.
"Itu tadi jatuh di deket lemari. Jangan asal nuduh. Harusnya lo berterima kasih sama gue, rahasia lo aman."
Aku mengernyit. "Aman? Nggak salah denger gue?"
Bram menatapku sinis. "Yang harusnya jaga sikap tuh lo, Vir, nggak usah sok jago. Lo harus baik-baik ke gue, biar rahasia lo aman."
Aku melipat dan memasukkan kertas itu ke dalam tasku. Aku tidak akan meninggalkannya di kantor lagi apalagi setelah makhluk seperti Bram mengetahuinya. Sial, dari semua orang yang ada di sini kenapa harus Bram sih, yang menemukan surat resign-ku.
"Jadi, lo udah dapet tempat baru?"
Aku membelalak tidak percaya. Kupikir Bram akan pergi ketika aku mengabaikannya, tapi sekarang dia malah bersandar pada dinding kubikelku dengan santainya. Tak mendapat jawaban dariku, dia menelengkan kepala dengan tidak sabar.
"Earth to Virgo, can you hear me?"
"Apa sih Bram!" gertakku, mulai kesal. "Gue nggak mau ngomongin ini! Bisa nggak lo pura-pura nggak kenal gue aja?"
Bram berdecak. Dia beranjak dari tempatnya bersandar dan menepuk pundakku. "I told you, right? Jangan arogan, lo bisa mampus. Mulutnya nih, dijaga!"
Setelahnya Bram pergi, meninggalkanku yang masih menahan gejolak amarah. Alesha baru saja melewati kubikelku, ketika aku membanting credit file ke meja dan menelungkupkan kepala. Pasti Alesha tidak akan mengajakku bicara seharian. Tidak sehat bagi ibu hamil untuk berurusan dengan perempuan labil sepertiku, dia pernah berujar kapan hari.
Ponsel di dalam tasku bergetar dalam mode senyap, membuatku mengangkat wajah dengan malas. Aku berniat mematikan ponsel sampai kulihat nama yang muncul di layar.
"Ya, Ao? Kenapa telepon pagi-pagi?" ujarku sambil berbisik. Tidak ada yang tahu pertemuanku dengan Ao di ruangan ini dan aku harap mereka tidak perlu tahu.
"Apa kamu keberatan kalau kita tidak jadi makan malam bersama?"
Aku mengernyit. "Kenapa? Ada apa? Kamu nggak berniat yang aneh-aneh, kan?"
"Uh, uh, aku ada janji," suara Ao terjeda, "... dengan teman lama."
Aku terdiam. Nada suaranya tampak meragukan, tapi memangnya aku berhak melarangnya. Kami bahkan baru mengenal karena ketidaksengajaan yang mengerikan. Toh, seharusnya aku bahagia dong, karena tidak perlu terikat lebih lama dengan lelaki aneh itu.
"Okay, ingat ya, kalau kamu melakukan hal aneh-aneh jangan sampai melibatkan saya!"
Ao terkekeh canggung. "Tenang saja."
Telepon ditutup oleh Ao, tapi aku merasa sedikit kesal. Argh, aku tidak mengerti dengan pikiranku sekarang. Fokus, Virgo, fokus. Sekarang pokoknya cari cara biar Bram nggak ngember masalah surat resign itu. Alesha saja belum tahu, masa orang sialan seperti Bram lebih tahu duluan. Sial, aku butuh dopping. Kuraih kembali ponselku dan menelepon nomor yang tercatat paling atas di daftar kontak.
"Indra? Nanti malam dinner bareng, yuk!"
****
Alesha tidak berhenti berdecak ketika kuceritakan penemuan surat resign-ku oleh Bram. Makan siangku hari ini terasa begitu hambar, apalagi harus berhadapan dengan nasabah ketika mood sedang tidak karuan. Mulut sih senyum terus ya, hati dan pikiran sudah ingin mencincang orang lain yang ada di hadapanku. Alhasil, makananku tidak habis, dan asam lambungku hampir naik ketika kembali ke kantor.
Alesha ada di pantry ketika aku berencana membuat mie cup dan berakhir menjadi sesi curhat. Melihat Alesha yang makin kesusahan bangkit dari kursinya, membuatku semakin takut untuk menikah dan hamil. Apa nanti aku beneran resign saja ya kalau sudah hamil?
"Padahal gue yakin banget lo adalah orang paling teliti yang pernah gue temui di dunia ini, Vir. Kenapa bisa sampai jatuh ke tangan Bram, sih?"
Aku meneguk habis kuah mie-ku yang mulai dingin. "Ya gimana? Apes aja kayaknya."
"Tapi serius deh, lo beneran mau resign? Nggak nyangka gue. Gue kira, gue duluan yang bakal resign," tukas Alesha, sambil sedikit terkekeh. Menyebalkan.
"Bikin doang, nggak tahu kapan eksekusinya. Namanya juga lagi budrek pikiran!"
"Indra kan cukup mapan, Vir, lo resign juga finansial masih aman. Lah gue, laki gue baru dapat kerja setahun setelah gue, secara gaji masih gedhe-an gue dikit."
"Itulah," keluhku. "Nggak yakin gue bisa tergantung sepenuhnya sama Indra. Nggak pernah gue selama ini hidup tergantung sama orang lain, kan kagok ya!"
Alesha mengangguk-angguk, tapi tak berkomentar lebih lanjut. Setelahnya, kami sama-sama kembali ke ruangan, karena suara Ediana sudah menembus pintu pantry—mencari kami berdua. Melihatku dan Alesha bersama keluar dari pantry, Ediana sudah sempat memelotot. Apalagi di hadapannya ada Bram, yang menatap kami dengan pandangan meremehkan. Di belakang Bram, ada Langga yang menggaruk kepalanya bingung.
"Kalian dari mana? Bentar lagi kita present ke risk management, malah santai-santai!" omelnya sambil menunjuk kami—lebih tepatnya ke arahku sih daripada Alesha. Alesha memang selalu lolos dari omelan Ediana, apalagi ketika perut buncitnya mulai membuatnya mudah lelah.
"Kita duluan aja Mbak, nanti mereka menyusul," usul Bram, sok berusaha menjadi pahlawan kesiangan. Serius, kalau boleh melukai orang tanpa pidana, aku sudah menusuk wajah Bram dengan heels-ku.
"Ck, ya sudah, kita duluan. Kalian cepet nyusul ya! Virgo, lo jangan lelet, lo kan nggak hamil kayak Alesha!" timpal Ediana, dengan nada sinis tentunya.
"Okay, Mbak," jawabku, seadanya. Ya, mau jawab apa lagi?
Langga tidak langsung mengikuti Bram dan Ediana pergi, tapi malah mengangsurkan credit file ke arahku. "Mbak Virgo, ini bahannya buat present nanti."
Setelah mengucap terima kasih, aku bergegas mencari laptop dan agendaku. Coba temen satu team-ku sebaik dan sesopan Langga semua, hidup tidak akan lebih buruk. Bram sialan!
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Rooftop Secret [TAMAT]
Romance-Virgo- Aku hanya ingin resign dan mencari pekerjaan dengan jam kerja lebih manusiawi. Kenapa malah ketemu laki-laki yang mau melompat dari rooftop, sih! -Ao- Aku hanya ingin mati dengan cara yang heboh. Biar orang-orang yang mengenalku akan kaget d...