CHAPTER 18 : KUNJUNGAN TIBA-TIBA

30 9 0
                                    


~AOZORA~

Aku baru saja mengucap sumpah serapah ke sembilan puluh sembilan di dalam hati ketika mobil kami berhenti di depan gerbang sebuah rumah mewah di kawasan Lubang Buaya. Laki-laki di balik kemudi yang tadi mengetuk pintu di pagi buta dan memaksaku ikut dengannya, membunyikan klakson mobil dan segera disambut seseorang yang membukakan pagar.

"Selamat pagi Mas Ao, Bapak sudah menunggu di ruang kerjanya." Salah seorang pria dengan polo-shirt biru tuanya menyambutku ketika memasuki teras rumah.

Teras itu masih sama saat aku ke sini terakhir kalinya—sekitar tiga bulan yang lalu. Rumah dengan dominasi cat warna putih ini sekilas tampak seperti rumah yang menyenangkan untuk ditinggali pasangan pensiunan. Sayang sekali, rumah ini tak tampak menyenangkan untukku. Kesan yang kurasakan jauh dari kata hangat, malah sepertinya lebih dingin dari hatiku.

Aku menyadari ada sedikit perubahan letak perabot ketika melewati ruang tamu dan ruang tengah yang luasnya saja lima kali lipat kamar indekosku. Mungkin pemiliknya bosan dengan penataan perabot lama dan iseng menggantinya dengan beberapa barang baru—yang tentunya dengan harga yang tak murah.

Beberapa orang yang berpapasan denganku, menyapa dengan canggung. Aku hanya berdeham dan mengangguk sebagai balasan. Langkah kakiku terhenti di depan sebuah pintu kembar yang pegangannya terbuat dari kayu ek dan besi pengaitnya dipoles sampai licin. Ketika aku mendorong salah satu pintunya, sosok itu langsung terlihat sedang duduk di balik meja kerjanya yang sama-sama terbuat dari kayu ek.

"Kau sudah datang? Duduk dulu," ujarnya tanpa mengalihkan pandangan dari tabletnya.

Aku menurut, lebih karena malas menanggapi daripada patuh padanya. Meski disebut ruang kerja, tapi ruangan itu memiliki satu set sofa dan meja untuk tamu, lemari besar dengan buku-buku berat yang tak menarik, dan juga minibar di sudut lainnya. Aku memilih posisi duduk yang bisa melihatnya dari jauh, ekor mataku bahkan menangkap bayangan asisten pribadinya dari celah bawah pintu. Laki-laki itu tampaknya menua lebih cepat dari orang-orang, terlihat dari rambutnya yang mulai didominasi warna putih keabuan—yang bahkan sudah merubah warna rambut alisnya juga. Kerutan di seluruh wajahnya tampak samar, tapi kau bisa melihat sisa-sisa kerja keras di sana.

Apa pun pekerjaan yang dia lakukan sekarang, tampaknya sudah selesai atau mungkin ditunda sebentar karena kehadiranku. Laki-laki itu menatapku dari balik mejanya, sepertinya tidak ada itikad untuk memperkecil jarak di antara kami dengan duduk di sofa di dekatku.

"Aku menolak permohonanmu untuk keluar dari daftar ahli waris yang akan mengambil alih asetku," ujarnya, masih dengan wajah tanpa ekspresi.

"Kenapa? Aku tidak membutuhkan asetmu. Apa untungnya buatmu menjadikanku ahli waris? Ada Jeremy dan Tante Yana yang lebih berhak."

"Ada." Dia menjalin jemarinya di depan wajah. "Aku butuh ahli waris selain Jeremy dan Yana."

Aku tak bisa menahan tawaku. "Jangan konyol. Kau bisa mengaturnya dengan notaris dan menunjuk siapa pun yang mau menjadi ahli warismu. Tidak perlu aku."

"Itu lain hal. Apa kata media kalau aku punya anak kandung, tapi malah memilih ahli waris orang lain? Kau pikir aku tidak memikirkan itu?"

Aku tertawa lagi. Menurutku kalimat barusan lucu sekali. "Kenapa dulu kau akui aku sebagai anak kalau nantinya akan kerepotan sendiri? Kuberi ide, jadikan saja saudara atau sepupu yang bukan dari keluarga Tante Yana sebagai ahli waris."

Ariyo Bustami menghela napas keras. Mungkin dia benar-benar kesal padaku. "Kau ini sama keras kepalanya dengan ibumu!"

"Bagus, setidaknya aku tidak mendapat turunan sifat darimu."

Rooftop Secret [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang