~VIRGO~
"Virgo, kenapa bisa PT Wana Sumatera Lestari terlambat bayar bulan ini!"
Aku memicingkan mata ketika sosok Bram mendatangi kubikelku. "Nggak salah denger nih? Bukannya itu nasabah lo?"
Bram memutar bola matanya. "Terakhir kali gue cuti, lo yang megang ya, jangan pura-pura bego!"
Kali ini aku yang memutar bola mata. "Perasaan yang lo titip ke gue cuma nemenin bapak-bapak itu main golf deh, bukan suruh monitor pembayaran kewajiban. Apa gue salah denger atau lo aja yang nggak lengkap ngasih pending-an ke gue?" cibirku.
Bukannya pergi, Bram malah berdecak kesal. "Kalau yang namanya alternate itu ya pegang semuanya lah, please deh, lo udah berapa lama kerja sih? Kayak anak bau kencur aja!"
Aku memelotot. "Udah deh, lo masuk-masuk rese, mending lo cuti aja tuh setahun, tenang hidup gue! Sana pergi, kerjaan gue banyak!" usirku, sambil kembali berkutat pada dokumen yang menumpuk di meja.
Bram menepuk dahinya keras. "Gini nih, kalau nitip kerjaan sama orang yang lalai. Pikiran lo fokus cuma buat nyariin selingkuhan lo doang, sih! Dasar cewek!"
"Apa lo bilang?" Tiba-tiba emosiku tersulut. Ini masih pukul sembilan pagi. Bram datang terlambat setelah cutinya yang semena-mena itu dan kini dia marah-marah padaku karena ada satu nasabahnya yang terlambat bayar. Apa dia serius? Dia benar-benar cari masalah sekarang.
Bram mengedikkan bahu. "Cewek tuh kalau lagi patah hati ditinggal pacarnya suka nggak konsen gitu, kan? Apa-apa ditangisin. Eh sorry, Aozora itu pacar lo bukan, sih? Terus tunangan lo dikemanain?" Bram berdecak lagi, sebelum berbalik dan meninggalkan kubikelku.
Namun, suaranya cukup keras sehingga sekelilingku sekarang berbisik-bisik. Aku seharusnya bisa menahan diri. Aku sudah mendapatkan tawaran dari teman Indra di perusahaannya sebagai bagian product innovation dan minggu depan aku bisa mulai wawancara kerja. Pernikahanku juga akan berlangsung kurang dari setengah tahun. Semuanya tampak terencana, sampai aku bertemu Bram pagi ini.
Mungkin aku sedang PMS atau mode bridezilla masih aktif, yang jelas tanpa sadar kakiku melangkah menghampiri Bram yang sedang berjalan kembali ke kubikelnya. Dalam satu tepukan di bahu, aku menghajar pipi Bram yang baru saja menoleh.
Bram memegangi pipinya sambil mundur beberapa langkah, sedikit oleng. Dia kaget dengan apa yang baru saja kulakukan. Jangankan dia, aku saja kaget. Masalahnya, aku tidak bisa diam dan kabur lagi. Aku menarik kerah kemejanya dengan seluruh dendam yang berusaha kusimpan selama ini, amarah yang berusaha kuredam sampai detik ini.
"Denger ya, kalau hidup lo nggak bisa berguna buat orang lain, mending lo mampus aja!" geramku. "Brengsek, mulut lo harus dihancurin kayak apa biar nggak ngehancurin orang lain! Hah! Jangan jadi manusia yang lebih busuk dari sampah, Bram! Malu gue kenal orang kayak lo!"
"Mbak! Mbak! Ya ampun!" Tiffany datang sambil menarik-narik lenganku, berusaha untuk membuatku melepaskan Bram yang memelotot padaku. "Langga! Sini bantuin napa sih! Jangan bengong bego gitu!" teriak Tiffany panik.
Tak lama, Langga datang dan langsung menarik Bram dari cengkeramanku. Tiffany buru-buruk menyeret lenganku menjauh dan membawaku keluar ruangan. Aku yakin seluruh ruangan menyaksikan keributan itu dan aku yakin sebentar lagi Ediana akan memberiku Surat Peringatan.
Ah, masa bodoh. Aku capek. Bram brengsek!
**
Aku menatap langit biru di atas kepalaku dengan pikiran kosong. Tanpa sadar aku melangkah menuju rooftop lantai tujuh. Tiffany masih mengekoriku, takut aku kenapa-napa katanya. Namun, dia izin pergi sebentar untuk membelikanku minum. Meski dengan stilletto yang cukup tinggi, gadis itu masih bisa berlari-lari. Mungkin dia khawatir aku melakukan tindakan nekat ketika dia pergi beli minum. Aku terkekeh dalam hati. Aku bukan Aozora yang sedikit-sedikit nongkrong di pagar pembatas rooftop, siap melompat kapan saja.
Matahari pagi tidak terlalu terik hari ini, cukup hangat dan tidak terlalu membuat gerah. Karena hujan semalam, udara pagi jadi lebih sejuk dan aku benar-benar ingin rebahan di rooftop sambil menatap langit. Aku ingin melupakan kejadian aku mengamuk ke Bram tadi pagi, tapi aku tak bisa lupa. Aku lepas kendali sebelum waktunya.
Indra pasti akan marah besar kalau tahu sikap kekanak-kanakkan ini. Makhluk bernama Bram itu benar-benar terkutuk dan seharusnya kembali ke neraka sebelum membuat orang lain susah. Bagaimana aku bisa tahan menghadapi orang seperti itu selama lebih dari lima tahun aku bekerja?
Virgo, kau benar-benar luar biasa bisa menahannya selama ini, pujiku pada diri sendiri.
Tiffany datang tak lama kemudian, masih berlari dengan stilletto-nya. Dia mengangsurkan segelas macchiatto dingin padaku. Aku mengernyit ketika dia membuka blazer dan mengikat rambut panjangnya karena kegerahan.
"Gue nggak suka kopi manis, Fan."
Tiffany memelotot. "Udah lo butuh yang manis-manis buat nenangin diri lo, Mbak!" gerutunya, mendorong kembali gelas plastik itu ke arahku. "Haduh, Mbak. Kenapa sih tadi?"
Aku terkekeh. "Maaf ya, Fan. Capek banget denger ocehan si brengsek itu."
Tiffany menghela napas panjang dan menyeruput kopinya sendiri—sepertinya itu vanilla latte. "Kaget banget gue tadi, sumpah deh. Lo kan udah yang paling tahu kelakuan Mas Bram kayak apa Mbak, kenapa bisa tiba-tiba ngamuk gitu sih," keluh Tiffany.
Aku tak lekas menjawab Tiffany, alih-alih mendongak dan berusaha menghirup udara dingin yang mulai menyesakkan karena polusi udara semakin pekat seiring banyaknya kendaraan yang lalu lalang di jalan utama.
Sudah hampir dua minggu Aozora hilang dan sepertinya Saskia mulai menyerah mencari lelaki itu. Memang, urusan keluarganya lebih kompleks dari dugaanku. Kalau sudah menyangkut keluarga apalagi orang DPR, sepertinya lebih baik aku tidak ikut campur. Maksudku, tidak akan ada banyak perubahan signifikan kalau aku ikut campur. Aku bukan siapa-siapa.
"Fan, lo pasti denger kabar jelek tentang gue ya dari mulut ember comberan si Bram itu?"
Tiffany hampir tersedak kopinya sendiri. "Umm, maksudnya yang mana Mbak?"
Aku tersenyum tanpa mengalihkan pandangan dari langit biru. "Namanya Aozora, Fan. Namanya kejepang-jepangan tapi dia enggak bisa bahasa Jepang. Arti namanya itu langit biru, katanya. Dia itu laki-laki aneh yang suka berdiri di sana." Tanganku menunjuk ke pagar pembatas tempat aku menemukan Ao pertama kali. "Iya, dia selalu ingin bunuh diri."
"Mbak ...."
"Gue nggak punya banyak teman dekat sejak bekerja. Nggak sampai jadi sahabat pokoknya. Ya sebatas teman aja seperti Alesha." Aku meregangkan tangan ke udara bebas. "Tapi sama laki-laki aneh ini gue entah kenapa bisa ngeluarin semua unek-unek. Mungkin karena kami sama-sama orang asing yang nggak ada salahnya untuk melepas topeng. Jangan kaget gitu Fan, hubungan kami emang seaneh itu."
Aku terkekeh kemudian, mengingat makan siang yang kuhabiskan bersama Ao untuk membicarakan hal tidak penting. Seringnya sih, dia memarahiku karena terlalu bucin sama Indra. Yah meski aku masih bucin sampai sekarang.
"Gue nggak pernah merasa mengkhianati Indra. Maksud gue, hubungan dengan Ao itu bukan atas dasar perasaan suka atau cinta. Lebih kepada 'teman dekat'. Ternyata otak gue udah kusut banget, hati gue udah nggak cukup menyimpan semua beban ini. Gue baru nyadar aja, nggak semua hal bisa dibagi dengan pasangan. Ada kalanya, lo butuh orang lain yang berperan sebagai teman."
"Mbak Virgo, gue nggak pernah nge-judge lo. Karena gue sendiri ada rahasia yang nggak bisa dibilang baik-baik saja kondisinya ..." Tiba-tiba Tiffany tersenyum kecut. "Jadi lo nggak boleh ngerasa kayak gitu ya, Mbak. Mas Bram emang mulutnya bikin sakit hati, tapi please, lo jangan lepas kendali. Lo sama aja kalah kalau nggak berhasil melawan Mas Bram dengan tetap tenang."
Aku mengangguk karena menyadari Tiffany benar. Aku hanya sempat kesal tadi. Kini aku harus bersiap untuk menghadapi Ediana dan segala macam ocehannya. Maksudku, Bram kan anak kesayangannya dan aku anak tirinya. Sudah pasti aku yang akan kena masalah.
"Mbak, ngomong-ngomong si Aozora ini sekarang ke mana?"
Pertanyaan Tiffany menyadarkanku kembali. Aku mendongak menatap langit yang tiba-tiba berubah menjadi sedikit abu-abu. Ah, hujan sedang hobi turun akhir-akhir ini. Langit biru itu sudah hilang, menyisakkan udara yang bikin tidak enak hati.
"Pergi nggak tahu ke mana, Fan. Semoga dia cepat kembali. Karena gue mau ngasih undangan nikahan gue ke sahabat gue itu. Dia udah janji mau dateng soalnya."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Rooftop Secret [TAMAT]
Romansa-Virgo- Aku hanya ingin resign dan mencari pekerjaan dengan jam kerja lebih manusiawi. Kenapa malah ketemu laki-laki yang mau melompat dari rooftop, sih! -Ao- Aku hanya ingin mati dengan cara yang heboh. Biar orang-orang yang mengenalku akan kaget d...