"Mas?"
Seorang wanita dengan gaun tidur tengah berusaha membangunkan sang suami yang tengah mengigau dengan menepuk dada prianya agar segera bangun. Harusnya malam ini menjadi malam terindah usai mereka melewati malam pertama yang begitu ditunggu setelah sekian tahun sempat terpisah. Gumam tak jelas membuat Laras yang semula hampir terlelap dalam dekapan sang suami mulai terusik.
Ra, maaf.
Tangannya seketika berhenti mengguncang tubuh sang suami saat mendengar kata itu. Laras menegang, mulutnya terkatup rapat, terselip pandangan terluka di matanya. Ra? Ara? Bagaimana bisa setelah melewati malam indah dengannya, sang suami justru menyebut nama gadis lain di bawah alam sadarnya.
"Bisa-bisanya kamu mimpiin Ara, Mas."
Laras putuskan menjauh dengan kesal masuk dalam kamar mandi untuk membersihkan diri dan mendinginkan panas hatinya.
***
Sarapan telah terhidang ketika Ares keluar dari kamar mandi. Setelah resepsi kemarin, pria itu lebih memilih membawa sang istri pulang ke rumah mereka sendiri dengan dalih mereka bebas melakukan apa pun tanpa gangguan orang lain.
"Pagi, Sayang." Ares berusaha mengecup pipi Laras, namun wanita itu berusaha menghindar.
"Kamu kenapa? Malu ya?" Ares masih saja belum menyadari kejanggalan sikap Laras. Malu? apa yang perlu menjadi alasan untuk malu ketika mereka sudah sering melakukan hal seperti semalam saat mereka masih berpacaran dulu.
Laras tersenyum, lebih tepatnya memaksakan senyumnya, kemudian berkata, "Mas sarapan dulu, terus berangkat ke kantor, ini udah siang loh, biar minggu depan kita bisa berangkat bulan madu sesuai rencana kita."
"Ah iya, aku udah gak sabar nunggu minggu depan." Ares mengurai pelukannya pada Laras kemudian mendudukkan diri ke kursi tanpa menyadari perubahan ekspresi sang istri yang tak sedikitpun antusias dengan ucapan sang suami.
***
Di tempat berbeda, Ara yang tengah bersiap untuk berangkat kuliah justru dipusingkan dengan kedatangan si bos yang tiba-tiba mengetuk pintu rumahnya bertepatan dirinya yang hendak membuka pintu ingin keluar.
"Loh? Pak? Bapak ada perlu apa ya kemari?" Ara yang sudah merasa terburu-buru melupakan dengan siapa ia bicara sekarang.
Bukannya menjawab, Wira malah mengamati penampilan Ara dari atas ke bawah. Gadis itu nampak baik-baik saja, jauh dari yang ia pikirkan sejak semalam bahkan hingga membuatnya sulit terpejam. Siapa yang tidak patah hati berat jika dicampakkan dan ditinggal menikah dalam waktu yang berdekatan, apalagi jika ternyata ia dicampakkan demi wanita yang masih berhubungan saudara dengannya. Namun hal itu terbantahkan ketika pagi ini kenekatan Wira datang ke rumah Ara untuk memastikan kekhawatirannya justru malah mendapati Ara yang nampak segar tanpa ada kantung mata yang terlihat dibalik polesan sederhana di wajah manis gadis itu.
"Pak?" Lambaian tangan Ara tepat di depan wajah pria itu membuat Wira tersadar jika apa yang ia lakukan hari ini adalah kekonyolan. Terlalu konyol ketika ia mengabaikan kebiasaan berangkat ke kantor pagi-pagi hanya untuk memastikan keadaan gadis yang baru beberapa hari ia kenal.
Wira berdehem sejenak untuk menetralkan perasaannya antara malu dan konyol, melihat pada jam tangannya sekilah kemudian berkata, "Saya belum sarapan."
Ara hanya mengernyitkan dahi ketika mendengar penuturan pria itu. Apa hubungannya antara belum sarapan dengan mengetuk pintu rumahnya?
"Maksud Bapak, Bapak mau ikut sarapan di rumah saya? Maaf Pak, tapi ibu sudah berangkat kerja, sarapan yang dimasak ibu juga sudah saya makan buat sarapan tadi." Ara tersenyum tak enak hati, ibunya tak pernah memasak lebih hingga tidak akan lagi ada sisa makanan ketika mereka selesai makan.
"Kamu mau berangkat?" Wira bertanya lagi tanpa merespon ucapan Ara.
"Iya, Pak. Saya sudah buru-buru ini." Ara seketika ingat ia harus segera berangkat jika tidak ingin kena sanksi tidak boleh masuk kelas sesuai kesepakatan yang telah berjalan.
"Ayo." Wira berbalik, berjalan lebih dulu menuju mobilnya yang terparkir tepat di depan pagar rumah Ara.
Saat hendak membuka pintu mobilnya, gerakan Wira terhenti ketika Ara justru berjalan cepat melewati mobilnya menuju gang sempit.
Wira berdecak, melangkah cepat untuk mencekal tangan Ara kemudian sedikit menarik gadis itu menuju mobilnya dan bergegas mengemudikan kendaraannya keluar dari daerah tempat tinggal gadis itu. Ara yang masih terkejut dengan apa yang ia alami hanya menatap Wira heran, sementara Wira tanpa mengucapkan sepatah kata pun tetap tenang berkendara ke arah kampus Ara yang sudah ia ketahui dari biodata gadis itu yang tempo hari ia pelajari.
Orang ini sebenernya maunya apa, gerutu Ara dalam hati, kemudian pasrah menyandarkan punggungnya menatap lurus ke jalanan yang mereka lewati tanpa menyadari jika Wira sesekali melirik pada Ara melalui ekor matanya.
***
"Tumben datang siang," sapaan Ares Wira terima saat pria itu memasuki ruangannya sendiri.
"Ngapain ke sini?" Wira tak ada waktu untuk basa-basi sekarang, ia harus menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertunda karena mengantarkan Ara.
"Sabar, Bro. Aku ke sini cuma nau ngingetin aja, jangan sampai kamu main-main sama gadis yang kamu bawa kemarin. Dia sepupu istriku."
Mendengar ucapan Ares, fokus Wira kini beralih sepenuhnya pada pria yang telah duduk tepat di hadapannya itu. Sebuah smirk tercetak di bibir Wira, main-main? sejak kapan seorang Mahawira bermain-main dengan perasaan.
"Harusnya kamu ucapkan itu ke dirimu sendiri sebelum kamu memutuskan menjalin hubungan sama dia sebelum mencampakkan gadis itu demi Laras," sinis Wira bersidekap menyandarkan punggungnya.
Ares sedikit terkejut mendengar jawaban Wira, namun secepat mungkin ia kendalikan dirinya untuk lebih tenang. Sial, Wira tahu rahasianya.
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Cadangan
RomanceMutiara Anandya yang hampir bertunangan dengan Ares harus menelan kekecewaan serta patah hatinya ketika sang kekasih memilih membatalkan pertunangan tepat pada hari pertunangan mereka. Tak cukup sampai di sana, sebulan kemudian Ares kembali datang...