Bagian 16

3.4K 501 23
                                    

Wajah lelah menghiasi paras gadis yang baru saja menapakkan kaki dalam kamar. Meletakkan tas di atas meja belajar, Ara kemudian menarik kursi keluar, mendudukkan diri di sana. Netranya mengamati satu per satu deretan buku yang berjajar rapi, menyemangati dirinya sendiri bahwa apa yang dia lakukan sampai sejauh ini hanyalah demi bisa mengejar cita-cita serta mewujudkan keinginan orang tuanya terutama mendiang sang ayah yang ingin melihatnya mengenyam pendidikan tinggi.

Jemari lentik itu perlahan mulai menyentuh deretan buku-buku di depannya, hingga pandangannya terhenti pada sebuah bingkai mini yang tergeletak tak jauh dari sana. Sebuah senyum getir seketika tercetak di bibirnya tatkala mendapati sebuah potret yang nampak bahagia menghadap kamera. Ayah, andai beliau masih ada mungkin tak akan membiarkannya serta sang ibu berkerja sampai seperti ini. Ayahnya pasti akan selalu melakukan apa pun untuk mereka, menjadi tempat paling tenang dari rasa takut serta khawatir yang kapan saja menerpa. Pengandaian yang seketika bermunculan membuat air mata tanpa sadar berkejaran membasahi pipi gadis yang netranya masih saja terpaku pada bingkai yang ia pegang. Nyatanya semakin banyak pengandaian yang bermunculan, hatinya seakan kembali tersayat oleh rasa kehilangan. Ayahnya tak akan pernah kembali, meski hanya untuk memeluk dan menenangkannya saat ini.

Tok ... tok...

Sebuah ketukan menyadarkan Ara dari pikirannya sendiri. Bergegas ia letakkan bingkai itu di tempat semula, menghapus cepat air mata yang baru ia sadari sudah basah menetes dari pipinya meski ia tak yakin jejaknya tak akan tertinggal. Saat Ara akan beranjak, sang ibu sudah lebih dulu masuk serta mendekat padanya. 

"Belum tidur, Ra?" Bu Ratna meletakkan segelas susu tepat di hadapan Ara yang kembali terduduk.

"Belum Bu, mau ngerjain tugas dulu sebentar." Ara meraih sebuah buku asal, kemudian membukanya. Ia tak ingin ibunya mendapati matanya yang pasti terlihat sembab sekarang.

"Kalo capek, kamu fokus kuliah aja Ra. Ibu InsyaAllah masih bisa mengusahakan. Ibu gak tega liat kamu tiap hari pulang malem, belum paginya mesti kuliah. Kapan kamu istirahatnya, kamu juga perlu bergaul sama temen-temen kamu." Bu Ratna mengusap lembut surai hitam sang putri yang tanpa ia tau sedang berusaha keras menahan isak.

Ara menarik napas dalam, berusaha mengontrol perasaannya. "Ara enggak apa-apa kok, Bu. Kurang sebentar lagi, pasti ibu akan bangga liat Ara nanti," ucapnya meski tangannya masih menuliskan sesuatu di atas kertas yang ia katakan sebagai tugas.

Hanya terdengar helaan napas dari wanita paruh baya itu setelah mendengar jawaban sang puteri. Naluri keibuannya menangkap ada sesuatu yang disembunyikan Ara, namun ia tak ingin membuat Ara tak nyaman hal itu.

"Minum dulu susunya, Ra. Keburu dingin. Ibu ke kamar dulu. Jangan lupa isturahat." Bu Ratna sekali lagi mengusap kepala sang puteri, kemudian berlalu ketika Ara menganggukkan kepala sebagai jawaban.

Selepas mendengar pintu yang tertutup, Ara meletakkan bolpoinnya begitu saja. Tak ada tugas apa pun, ia terpaksa berbohong agar tak menambah beban pikiran ibunya ketika melihat apa yang ia lakukan sekarang.

***

Di tempat berbeda, suara dering telepon menyadarkan Wira yang masih bergelut dengan berkas pekerjaannya. Hari sudah larut malam ketika dirinya melihat pada jam dinding kamar, pria itu melihat pada nama penelpon, dahinya sedikit mengernyit, sebuah nama yang amat jarang ia hubungi semenjak peristiwa lalu.

"Halo," Wira meletakkan kertas yang ia baca, kemudian beranjak menuju balkon kamar.

Kamu tidak lupa janji kamu kan Wira? cerca suara dari seberang.

Wira hanya diam, menunggu apa yang akan dikatakan orang itu selanjutnya seraya menyugar rambutnya. Hingga sesaat kemudian pria itu nampak menyerah mendengarkan suara si penelpon.

"Besok, aku akan ke sana." Wira mematikan serta melemparkan ponselnya asal ke atas meja. 

Ia ingin berhenti, tapi kenapa seolah waktu tak mengijinkannya menghentikan semua ini.

Ara, sebuah nama yang kembali mengusik dirinya. Gadis yang juga secara tak sengaja ikut menyulut bayangan masa lalu yang sangat ingin ia lupakan. Apakah ini hukuman untuknya? Atau ada rencana lain Tuhan atas dirinya? Tuhan, Wira hampir lupa kapan ia terakhir beribadah. 

...

Gadis CadanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang