Bagian 13

3K 562 23
                                    

Saat memasuki kafe tempatnya bekerja, Ara langsung mendapatkan pandangan aneh dari rekan-rekannya. Biasanya kedatangannya disambut ramah, kali ini suasana berubah menjadi canggung.

"Sore, Fir." Ara menuju lokermya seraya menyapa Fira yang sedang merapihkan loker milik gadis berkaca mata itu.

"Eh, Ra, kok udah masuk?" Fira menutup pintu lokernya kemudian memasang nametag pada seragamnya.

"Iya, udah tiga hari nih, gak enak kalo kelamaan." Ara mengeluarkan seragamnya dari dalam ransel.

"Lama juga enggak papa kali, Ra, Bos juga pasti enggak akan marah, eh aku duluan ya keburu rame pengunjungnya." Fira menepuk pelan pundak Ara kemudian berlalu pergi meninggalkan Ara yang merasa sedikit berbeda dengan sikap Fira padanya.

***

Kasak-kusuk di belakang mulai terdengar selama Ara bekerja, namun gadis itu memilih fokus meski sebenarnya ia sendiri merasa risih dengan hembusan kabar dan kesininsan dari beberapa pegawai perempuan padanya beberapa hari belakangan.

"Kamu bisa kerja nggak sih?" Seorang kasir wanita menegur Ara seraya melempar salinan bon pelanggan ketika data yang dia input tertukar.

"Maaf, Mbak. Tapi tadi Aku udah bener kok nyatetnya. Pesenan yang aku anter juga udah sesuai." Ara yang baru saja masuk ke dapur setelah selesai mengantar pesanan tak mengira hal ini akan terjadi. Gadis itu sudah mencoba menjelaskan saat pelanggan protes tadi, namun sepertinya si kasir tidak ingin mendengarnya.

"Halah! Jangan mentang-mentang kamu deket sama bos terus kerja kamu jadi seenaknya ya. Ingat, kalau sekali lagi ada salah kayak tadi, aku nggak akan segan-segan bikin kamu keluar dari sini." Tunjuk si kasir memperingati tepat di depan wajah Ara kemudian berlalu pergi, membuat Ara sejenak mematung di tempatnya.

"Kenapa, Ra?" Fira yang baru masuk ke dapur segera meletakkan nampan ketika berpapasan dengan si kasir yang berwajah kesal.

"Eh, enggak apa-apa kok Fir. Aku lanjut kerja lagi ya. Ada pelanggan datang," kilah Ara bertepatan saat ia mendengar denting lonceng kecil pintu masuk.

Ara berusaha sebaik mungkin dan berharap tak ada lagi kesalahan yang membuatnya bermasalah dengan pegawai lainnya, rasanya sungguh tidak nyaman.

"Ra, dipanggil Pak Pram." Tepukan pundak dari Fira membuat Ara yang baru saja menunggu pesanan pelanggan siap, mengernyit bingung.

"Ada apa?" Fira hanya mengendikkan bahunya tanda tak mengerti membuat Ara semakin bimbang, antara menunggu pesanan selesai atau segera menemui sang manajer karena sepertinya ada sesuatu yang penting hingga memanggilnya saat ia sedang bekerja seperti ini.

"Udah, sana, biar aku gantiin anter pesanannya. Pengunjung udah mulai sepi kok."

***

Semenjak keluar dari ruangan Pram, Ara yang tadinya bersemangat terlihat lebih diam. Teguran Pram membuatnya merasa tak nyaman, apalagi apa yang dituduhkan tidak seperti kenyataan sebenarnya.

Wira, pria itu bahkan kini tak nampak sedikitpun setelah kekacauan yang pria itu timbulkan beberapa hari lalu dengan membawanya ke kafe dan memintanya menunggu di ruangan yang hanya boleh dimasuki oleh pria itu saja.

"Hati-hati." Ara hampir saja menabrak seseorang saat ia hendak menuju dapur dengan wajah menunduk.

"Ke ruangan saya." Pria itu berlalu melewati Ara begitu saja yang masih bergeming di tempatnya berdiri.

Masalah apalagi sekarang, batin Ara seraya mengembuskan napas pelan. Perasaannya semakin tidak enak mendapati kedatangan pria itu secara tiba-tiba saat kafe menjelang tutup begini, tak biasanya.

***

"Duduk," titah Wira saat Ara terlihat menghampiri meja kerjanya.

Ara hanya menurut, tak bertanya apa pun hingga keheningan beberapa saat menemani mereka bersamaan Wira yang terlihat mengamati berkas dalam map.

"Tanda tangani di sini." Wira mengangsurkan sebuah bolpoin tepat di atas bagian kosong yang harus Ara tanda tangani.

"Tapi," Tangan Ara masih berada di atas pahanya, tersembunyi di bawah meja tanpa sedikitpun bergerak meraih bolpoin yang diberikan Wira. Matanya menatap ragu bergantian pada map dan bos yang kini mencondongkan badan mendekat padamya meski terhalang oleh meja.

"Baca saja, dan lebih baik tanda tangani."

Bola mata Ara bergerak perlahan mengikuti setiap baris yang tertuang di atas kertas putih, mencermati hingga pandangannya terhenti pada tiga poin yang Wira ketikkan di sana. Dahinya mengernyit, jantungnya berpacu cepat.

Untuk apa pria ini justru memintanya menandatangani kertas yang bahkan isinya tak masuk akal bagi Ara.

"Pak..." Belum sempat Ara melanjutkan ucapannya, Wira lebih dulu menyela,"Saya tau kamu sangat ingin menyelesaikan kuliah kamu. Lebih baik tanda tangani jika kamu masih memimpikan itu."

Bibir Ara terkatup rapat. Apa-apaan ini, kenapa pria ini justru ingin membawanya semakin jauh dalam lingkaran permasalahan.  Haruskah ia mengikuti permainannya? Ataukah merelakan semua yang selama ini ia usahakan hingga berakhir sia-sia?

...

Gadis CadanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang